|

Muslimah Reformis

Refleksi dan Respon Aktual terhadap Kebebasan Berekpresi bersama Prof. Musdah Mulia

Awal tahun ini kita sangat dikejutkan oleh berbagai keresahan yang terjadi. Mulai dari angka perkawinan anak meningkat, lalu media social yang dihebohkan dengan promosi perkawinan anak disebuah situs daring. Dalam situs tersebut terdapat narasi persuasif menikah pada usia 12-21 tahun dan orang tua sangat dianjurkan menikahkan anaknya pada usia tersebut. Situs Aisha Wedding begitu namanya itu juga menganjurkan nikah siri dan  poligami.  Tidak hanya itu sebelumnya pada 21 Januari 2021 lalu kita dikejutkan dengan sebuah unggahan Facebook salah seorang siswi yang mengaku dipaksa memakai jilbab saat berada di sekolah, kendati dirinya merupakan seorang non muslim. Siswi berinisial JCH itu menyatakan tidak bersedia mengikuti aturan memakai jilbab.

Prof. Musdah Mulia merasakan kegundahan dalam menyikapi intoleransi yang terjadi. Beliau mengadakan diskusi sekaligus refleksi untuk menjawab kegundahan banyak orang pada 27 Februari melalui Zoom Virtual Meeting. Acara ini dihadiri oleh orang-orang yang peduli  dan tentunya menginginkan adanya kebebasan berekpresi. Beliau menuturkan bahwa dalam Indeks Demokrasi Nasional terdapat penurunan nilai dalam gamasyarakat. Penurunan ini disebabkan oleh kurangnya nilai keadaban yang menyangkut hak-hak sipil di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari hak beropini, hak berekpresi, hak beragama dan berkepercayaan, dan hak berserikat/berkumpul yang kerap dialami oleh jurnalis dan pekerja buruh. Hal ini juga membuat Musdah Mulia mengimbau anak muda berani mengatakan tidak untuk mengamini kontruksi yang telah membudaya tersebut. Untuk mengurangi bentuk diskriminasi dan narasi intoleran diperlukan anak muda sebagai campaigner social media tentunya dengan narasi damai.

Seorang  Prof. Harastoeti Dibyo menceritakan pengalamannya ketika kelompok diskusinya yakni Religi dan Budaya Sunda. Beliau menceritakan mengenai bagaimana mempertahankan budaya berpakaian dan melawan kampanye jilbabisasi sebagai Islamisasi simbolik. Beliau juga menyebutkan bahwa ini merupakan tantangan sangat besar. Untuk melawan upaya-upaya tersebut kita perlu mencounter narasi maupun tindakani Jilbabisasi. Pengalaman lain datang dari Mascruhah, ia pernah dianggap sebagai seorang yang sekuler dikarenakan ekspresi berjilbab. Tidak hanya itu ia juga mengalami diskriminasi disebabkan menuliskan mengenai hak-hak LGBT. Hal ini sebenarnya terjadi karena benturan agama, social, politik dan budaya dalam masyarakat. Ia juga mengamati bahwa tak hanya terjadi pada dirinya namun kepada teman-temannya ketika SMA. Untuk mengurangi intoleransi dalam hn ceritak berekspresi ini kita harus memiliki rambu-rambu yang positif mengenai SKB 3 Menteri di sekolah, masyarakat sipil turut ikut serta melawan narasi radikalisme dan eksterisme serta berani melawan kontruksi social.

Pengalaman dan cerita lain datang dari Indira seorang pengacara public di LBH Padang. Ia menjelaskan bagaimana upaya LBH Padang dan Komunitas Pelita berjuang untuk melawan narasi intoleransi yang terjadi di Padang. Seperti yang telah mereka lakukan dengan member advokasi terrhadap kasus di SMK 2 Padang. Ia mehadap kasus di SMK 2 Padang. Ia menuturkan hal tersebut telah menjadi budaya yang berasal dari adat yang ditafsirkan secara ortodoks, banyaknya politisi elit yang menolak SKB 3 Menteri, secara social masyarakat Padang tidak ramah terhadap keinklusifan, bahkan mengamini tafsir tunggal bahwa perempuan muslim harus berjilbab. Ia mencoba menawarkan beberapa solusi dengan memberikan penguatan kepada Non Muslim, membangun dialog dengan tokoh inklusif seperti dosen-dosen di universitas, membuat narasi tanding dan melakukan pertemuan dengan dinas pendidikan untuk mengajak sekaligus membuat peraturan yang toleran terhadap non muslim.

Solusi yang hampir sama juga disampaikan oleh mba Nana seorang anggota AYSYB Jogjakarta. Ia menyebutkan bahwa akar masalah dalam masalah ini adalah intoleransi. Untuk mengurangi itu dengan pentingnya perubahan kurikulum penbedidikan, pembenahan Sumber daya manusia khususnya untuk  pengajar PAUD yang berasal dari ibu PKK yang kurang memahami isu toleransi dan perlunya redesain kurikulum. Diskusi dan refleksi ini menyepakati upaya untuk kebebasan ekspresi dengan beberapa upaya. Pertama, dengan membuka posko pengaduan (hotline) 911. Kedua, campaign petisi mengenai SKB 3 Menteri. Ketiga,mencounter narasi yang intoleransi dan diskriminatif. Keempat, melakukan audiensi dengan kementerian.

Rivani-Muslimah reformis