|

Muslimah Reformis

Seperti Apa Intepretasi Agama yang Tidak Adil Gender??

 

Saat mendengar kata gender, masih banyak orang mengidentikkannya dengan perbedaan jenis kelamin. Apakah jenis kelamin dan gender itu sama? Jawabannya adalah tidak. Jenis kelamin atau seks merupakan pembagian jenis kelamin secara biologis yang bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan. Sedangkan gender adalah kontruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat meliputi perbedaan peran maupun tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan. Gender sendiri bersifat lokalitas, maksudnya dapat berbeda tergantung tempat dan masyarakatnya.

Mengetahui definisi dan karakteristik gender dapat membantu untuk memahami dan menganalisis penyebab ketidakadilan gender. Salah satu karakteristik gender adalah bersifat lokalitas, yang dipengaruhi budaya dan tradisi masyarakat setempat.

Bagaimana cara budaya bekerja dalam melanggengkan keadilan atau ketidakadilan gender? Budaya merupakan hasil kesepakatan masyarakat pada masa lampau yang diyakini sebagai titah sakral, sehingga wajib ditaati sebagai pedoman hidup. Tidak menjadi masalah sepanjang budaya yang diyakini tidak menghasilkan ketidakadilan gender. Masalahnya, banyak ajaran budaya yang melanggengkan ketidakadilan gender. Contoh, di masyarakat Jawa terdapat istilah “konco wingking”. Istilah ini menganggap perempuan hanya cocok mengerjakan tugas domestik dan hanya mampu menjadi ‘teman belakang’ suami. Budaya ketidakadilan gender sudah terjadi di masa kolonial. Pada masa itu, perempuan tidak diberi kebebasan dalam berpendidikan. Lalu, R.A. Kartini, sebagai pejuang keadilan membebaskan perempuan dari belenggu kebodohan akibat budaya patriarkal.

 

Tafsir Agama Yang Keliru

Budaya dan konstruksi masyarakat inilah akar dari ketidakadilan gender. Selain budaya, agama atau aliran kepercayaan pun turut melanggengkan ketidakadilan gender. Padahal, agama apa pun tidak memerintahkan atau menyetujui praktik ketidakadilan gender. Semua agama membawa misi perdamaian. Perdamaian ini bersifat universal, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, gender, agama, atau bangsa. Jadi, jika ada yang mengatakan bahwa agama tidak adil gender, maka itu bukanlah agama itu sendiri, tetapi interpretasi orang terhadap ajaran agama.

Interpretasi atau penafsiran yang keliru pada agama biasanya dilatarbelakangi oleh budaya, kepentingan politik, dan ekonomi. Contoh interpretasi terhadap An-Nisa,’ 34 yakni, “ laki-laki itu qawwam bagi perempuan …”. “Qawwam” oleh beberapa ulama ditafsirkan sebagai pemimpin. Tafsiran ini dijadikan dasar bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, baik pemimpin dalam keluarga ataupun pemimpin pemerintahan. Ulama lain menafsirkan qawwam dengan arti pelindung. Maksudnya, laki-laki bertanggung jawab penuh untuk melindungi perempuan. Tafsiran ini seakan memberikan interpretasi bahwa perempuan adalah makhluk lemah. Qawwam dalam surat an Nisa’ tersebut mustinya dipahami dengan spirit keadilan gender yakni sebagai pengayom keluarga. Artinya, lelaki harus lebih bertanggungjawab terhadap keluarganya, bukan melarang atau membatasi kesempatan perempuan menjadi pemimpin.

Contoh lain, teks kegamaan dalam agama Kristen yang keliru adalah dalam teks kejadian 2: 18 : “Aku akan menjadikan penolong yang sepadan dengan dia”. Beberapa penafsir mengartikan teks ini sebagai suatu amanat yang menetapkan perempuan sebagai pembantu laki-laki. Hal ini tentunya diskrimatif dan tidak adil gender. Penafsiran yang tidak adil gender seperti ini pada akhirnya menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior.

 

Cara Kritis Membaca Tafsir Agama

Lantas, bagaimana generasi milenial menyikapi interpretasi ajaran agama yang tidak ramah gender tersebut? Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengkritisi interpretasi keagamaan yang keliru. Cara tersebut tentunya dengan prosedur dan sumber rujukan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pertama, melakukan pengkajian ulang atas teks-teks keagamaan tersebut. Dalam tahapan ini, kita dapat mencari tahu mengenai sebab-sebab diturunkannya teks keagamaan tersebut.  Pengkajian ulang sebab turunnya teks keagamaan ini berfungsi untuk menelisik kondisi sosio-historis yang terjadi ketika teks itu diturunkan. Dengan begitu, kita dapat menginterpretasikan ulang teks tersebut sesuai situasi dan kondisi di masa kini. Hal ini sesuai dengan prinsip teks keagamaan, bahwa kitab suci agama bersifat universal dan tidak temporal.

Kedua, mengkaji ulang latar belakang, sosio historis, dan kecenderungan mufasir (para penafsir teks agama) dalam menafsirkan teks keagamaan. Hal ini penting karena memengaruhi hasil interpretasi mereka. Apakah terdapat kepentingan politik atau ekonomi saat menafsirkan teks agama tertentu? Semuanya terjawab pada tahapan ini.

Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, tafsir agama dapat memengaruhi dan melanggengkan ketidakadilan gender maupun sebaliknya. Maka, penting melakukan reinterpretasi atau pengkajian ulang teks keagamaan. Tentu hal ini melibatkan banyak pihak, terutama kita sebagai generasi milenial. Generasi yang sepatutnya kritis dan melek terhadap hal-hal yang menimbulkan ketidakadilan pada satu orang atau kelompok tertentu. Itulah tugas Muslimah Milenial Reformis.

 

oleh: Rabiatul Adawiyah

Editor: Wiwit Musaadah