|

Muslimah Reformis

Sikap dan Pandangan Islam dalam Menyikapi Konflik Agama

Selama ini kita seringkali menyebut-nyebut era globalisasi, tetapi pemahaman tentang globalisasi itu tampaknya hanya sebatas lingkaran teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Kita kurang menyadari bahwa kita juga sedang berada dalam lingkaran globalisme dan pluralisme etnis dan agama.Kesadaran tentang hal ini amat perlu dibangun dalam rangka mengkaji kembali konsep-konsep keberagamaan yang selama ini sudah dianggap mapan dalam kehidupan umat beragama, termasuk Islam. Konsep-konsep dimaksud, misalnya konsep dakwah (misionarisme), konsep supersesionisme, dan konsep monopoli keselamatan eskatologis.Persoalannya adalah siapkah kita dengan berbagai pertanyaan kritis yang akan muncul, misalnya: Apakah kebenaran itu hanya dimonopoli oleh satu agama; Apakah kehadiran suatu agama berfungsi menggeser eksistensi agama sebelumnya; dan Benarkah setiap agama harus berlomba mencari pemeluk sebanyak-banyaknya?

 

Islam adalah Agama Cinta Damai

Dari segi penamaan, Islam berbeda dari agama samawi lain yang namanya dinisbatkan kepada nabi sang penerima wahyu. Nama Islam terambil dari akar kata salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Salah satu sifat Allah yang terpuji adalah as-salaam. Disebut demikian karena Dia Maha Sempurna, terhindar dari segala aib, kekurangan, dan kepunahan.

Islam secara teologis merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya mengandung  nilai-nilai universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia. Dari aspek kehidupan, ajarannya meliputi persoalan manusia sejak sebelum dilahirkan sampai ke saat kematian. Dari aspek hukum, meliputi berbagai persoalan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dari aspek psikologis, ajarannya memberikan ketenteraman lahir batin; dan dari aspek antropologi ajarannya ditujukan kepada semua bangsa dan masyarakat.

Islam amat menonjolkan ajaran persamaan antarsesama manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan derajat antarbangsa, warna kulit, keturunan, letak geografis, dan status sosial.[1] Kalaupun dalam perbedaan di antara mereka, perbedaan itu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, mendiskriminasi, dan bermusuhan, melainkan untuk tujuan yang luhur, yaitu saling mengenal dan sekaligus untuk menguji siapa yang lebih takwa kepada-Nya. Manusia hanya dibedakan dari aspek prestasi dan kualitas takwanya. Demikian ajaran yang termaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam.

Namun, ketika ajaran luhur itu turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, maka di sana-sini terjadi distorsi. Manusia seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak sama, manusia hanya diakui setara di hadapan Tuhan, tidak demikian di hadapan manusia. Diskriminasi atas dasar perbedaan warna kulit, status sosial, dan seterusnya tidak bisa dieliminir sepenuhnya.

Ajaran Islam, seperti termuat dalam kitab suci Al-Qur’an, sarat dengan muatan nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai basis konsep toleransi dan pluralisme keagamaan modern. Salah satunya dapat diambil dari QS, 5:48 ayat 48 Al-Maidah sebagai berikut:

 

…لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(48)

 

… Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami tetapkan hukum (syariah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki tentulah Dia menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitik). Namun, Dia hendak menguji kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunikan-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali, dan kelak Dia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan.

 

QS Ali Imran [3]:64):

 

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ(64)

“Katakanlah: “Wahai para pengikut kitab suci, marilah kita menuju kepada ajaran yang sama antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga, dan sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain selaku tuan-tuan selain daripada Allah…”.

 

Ajakan dalam ayat di atas sejalan dengan firman Allah yang lain berbunyi: …”bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun, [109]:6).

Penegasan tersebut merefleksikan satu komimen bahwa masing-masing umat beragama dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain.

Pengalaman sejarah Islam masa-masa awal membuktikan betapa besar resistensi kaum Musyrikin Makkah terhadap ajaran Islam, namun untuk menghadapi sikap resistensi yang berlebihan itu, Allah hanya memerintahkan kepada Nabi Saw. agar membacakan kepada mereka firman-Nya yang berbunyi:

 

…وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ(24) قُلْ لاَ تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلاَ نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ(25)قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ(26)

 

“…Sesungguhnya kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.. Katakanlah: Kamu tidak akan diminta mempertangung-jawabkan pelanggaran-pelangaran kami, sebagai-mana kami pun tidak akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kamu. Katakanlah: Tuhan kelak akan menghimpun kita semua kemudian Dia memberi keputusan di antara kita dengan benar, sesungguhnya Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS [34]:24-26).

 

Ayat di atas menyiratkan komitmen toleransi yang sangat tinggi. Nabi tidak diperintahkan menyatakan absolusitas kebenaran ajaran yang dibawanya, tetapi justru sebaliknya. Kandungan ayat itu menjelasan agar Nabi mengatakan: “mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu, mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu, karena di antara kita tidak pasti mana yang benar dan mana yang salah, maka kita serahkan saja pada Tuhan untuk memutuskannya karena Dialah yang Maha Benar.”

Bahkan, ada penegasan di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa keselamatan akan tercurah kepada semua pengikut kitab suci mana pun, asalkan mereka memiliki tiga syarat: percaya kepada Allah Swt., hari akhirat, dan berbuat baik. Penegasan dimaksud terbaca pada ayat berikut.

 

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ(62)

 

…”Sesungguhnya mereka kaum yang beriman (kaum Muslim), kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum Sabiin, dan siapa saja yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhirat, serta berbuat kebaikan, mereka semua akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka dan tiada rasa takut menimpa mereka dan mereka pun tidak perlu bersedih (QS Al-Baqarah [2]:62).

 

Cyril Glasse, seorang teolog terkenal, mengagumi isi ayat Al-Qur’an itu yang didalamnya disebutkan keselamatan bagi umat beragama lainnya, dan memandang pengakuan itu sebagai kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama.

Menyikapi Konflik Agama

Agama seringkali dituduh sebagai sumber masalah atas terjadinya berbagai konflik di masyarakat, termasuk konflik keagamaan yang akhir-akhir ini banyak merebak di tanah air. Oleh karena agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat berbahaya.

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, agama dapat menjadi faktor integrasi. Namun, dalam beberapa hal, agama sangat berpotensi sebagai faktor disintegrasi, mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Dalam kaitan ini, Ibnu Khaldun, pakar sosiologi Islam klasik, menegaskan bahwa perasaan seagama memang perlu ditumbuhkan, tetapi hal itu tidak cukup menjamin terciptanya perasaan memiliki kelompok (group belonging) atau kesatuan sosial.[2]

Dalam sejarah agama-agama ada dua fenomena agama yang menonjol. Pertama, agama selalu berkaitan dengan masalah sosial. Massa pengikut suatu agama pada awalnya selalu merupakan kelompok marginal dari masyarakatnya, lapisan yang didera deprivasi dan penindasan, serta terkucilkan. Kedua, agama merupakan sarana perubahan sosial. Karena itu, konflik-konflik agama lebih sering merupakan manifestasi dari konflik sosial yang mengeksploitasi simbol-simbol keagamaan.

Sejumlah kajian keagamaan menyimpulkan bahwa  pelanggengan konflik itu sama sekali tidak bersumber dari watak agama yang murni, melainkan berasal dari pemikiran, pemahaman, dan interpretasi keagamaan yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-historis dan sosio-politik. Karena itu, muncul pemikiran perlunya rekonstruksi penafsiran ajaran agama, termasuk Islam.

Tafsir atau pemahaman terhadap ajaran agama, khususnya Islam, sangat ditentukan oleh perspektif penafsirnya yang seringkali amat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, baik yang bersifat spiritual maupun yang berwujud material. Dalam ungkapan lain, penafsiran sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek, termasuk aspek ekonomi, politik, kultural, bahkan juga ideologi. Karena itu, dirasakan perlunya suatu metode penafsiran yang menggunakan analisis sosial terhadap ajaran agama, khususnya yang terkandung dalam teks-teks suci Al-Qur’an dan Sunnah, yang merupakan landasan dasar untuk memahami ajaran moral agama.

Umat Islam seringkali terperangkap pada pemahaman bahwa ajaran Islam lebih mementingkan pada hal-hal yang berhubungan dengan ketaatan individu, sehingga ajaran yang berkaitan dengan interaksi antarmanusia dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik terabaikan. Padahal, ketaatan individu sangat ditentukan oleh penegakan ajaran yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Akibat selanjutnya, terlihat bahwa tidak banyak prinsip-prinsip Islam yang berhubungan dengan sosial, politik, dan ekonomi yang terimplementasi di masyarakat.

Analisis terhadap sejumlah konflik keagamaan di tanah air menyimpulkan adanya dua faktor penyebab. Pertama, kekurangtahuan dalam bidang agama. Ironisnya, yang kurang tahu itu bukan hanya orang awam, melainkan juga para pemimpinnya. Umumnya mereka menganggap bahwa apa yang mereka tahu itu sudah mencakup seluruh ajaran agama  dan karenanya tidak perlu lagi belajar. Sikap serba tahu atau sok tahu inilah yang menjadi pangkal kehancuran umat beragama. Mereka menganggap pengetahuan mereka tentang agama itu sudah mutlak dan final sehingga tidak ada lagi yang perlu didiskusikan. Jika suatu golongan  menemukan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang mereka anut, maka dengan serta merta pendapat yang berbeda itu dianggap salah dan menyimpang.

Persoalannya, bagaimana menyadarkan umat yang berbeda agama ini bahwa berbeda pendapat itu bukanlah hal yang terlarang. Bukankah dalam Islam, misalnya diajarkan bahwa manusia itu diciptakan dengan bentuk dan rupa yang berbeda agar mereka saling mengenal dan mengasihi sehingga tercipta kerukunan di antara mereka (QS Al-Hujurat, [49]:13). Ajaran yang mengajak kepada kerukunan itu terdapat juga pada agama-agama lain. Setiap agama menginginkan agar pemeluknya dapat hidup rukun meskipun dengan orang yang berbeda agama.

Kedua, adanya ajaran misionarisme dari setiap agama. Ajaran ini mengharuskan setiap penganut agama, terutama para pemimpinnya, untuk menyebarkan dan mempropagandakan ajaran agamanya masing-masing kepada sebanyak-banyaknya manusia sehingga setiap agama  berlomba mencari penganut. Di dalam Islam, misalnya ajaran itu disebut dengan istilah  amar makruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan melarang kejahatan). Ajaran yang sama juga terdapat pada agama-agama lainnya. Dari ajaran seperti ini, umat Islam lalu memahami bahwa mereka harus giat melakukan dakwah menyeru manusia untuk masuk Islam, sebab jika tidak masuk Islam mereka dianggap kafir. Ada kesan bahwa setiap agama berambisi untuk memasukkan sebanyak-banyaknya ke dalam surga, dan sayangnya ambisi itu seringkali direalisasikan dalam bentuk paksaan, baik secara halus maupun secara terang-terangan.

Menarik dikemukakan di sini satu ayat Al-Qur’an yang intinya menyadarkan Nabi Saw. betapa dirinya tidak berpretensi untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya:

 

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ(99)

 

Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman? (QS [10]:99).

Akan tetapi, kelemahan manusia, antara lain karena semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga di antara mereka ada yang bersikap melebihi sikap Tuhan, yakni menginginkan agar seluruh manusia hanya memiliki satu agama, satu aliran, bahkan kalau bisa hanya ada satu pendapat.

Semangat yang tak terkendali inilah yang seringkali menyebabkan seseorang memaksakan pendapatnya yang absolut untuk dianut orang lain, padahal Tuhan sendiri memberikan kebebasan kepada setiap orang memilih jalannya sendiri. “Siapa yang ingin percaya, silahkan dan siapa yang menolak terserah”

Kembali kepada konsep amar makruf nahi munkar dan dengan mencermati ayat-ayat tadi dapat disimpulkan telah terjadi distorsi pemahaman. Konsep amar makruf nahi munkar pada dasarnya lebih menekankan pada makna kasih sayang, yaitu agar manusia saling mengasihi sesamanya. Sikap saling mengasihi di antara sesama manusia  inilah yang pada hakikatnya akan mewujudkan kebajikan dan melenyapkan kejahatan di masyarakat.

Menurut saya, konsep ini memang merupakan tugas yang harus dijalankan oleh agama, tetapi persoalannya bagaimana merumuskan tugas dakwah itu kembali agar dapat disesuaikan dengan prinsip toleransi dan penghargaan positif terhadap agama-agama lain sehingga tidak menimbulkan kecurugaan dan prasangka-prasangka negatif yang mungkin membawa kepada timbulnya berbagai konflik yang tidak diinginkan.

Pemahaman yang distortif terhadap konsep misionarisme dari agama ini kemudian terlanjur diperparah oleh berbagai kepentingan politis dari kelompok-kelompok tertentu. Masuknya berbagai pengaruh politik dalam kehidupan umat beragama di Indonesia setidaknya disebabkan oleh adanya tiga faktor. Pertama, adanya kecenderungan pada pihak-pihak tertentu, terutama yang memiliki wewenang dan kekuasaan, untuk menyalahgunakan kekuasaan atau wewenangnya; Kedua,  masih rendahnya pemahaman dan kesadaran umat beragama terhadap ajaran agama mereka masing-masing; dan Ketiga, fakta bahwa penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini masih sangat lemah dan seringkali pula bersifat diskriminatif.

Menyikapi berbagai konflik yang ada, tampaknya upaya dialog masih merupakan alternatif solusi yang tepat untuk mendewasakan umat beragama. Yang perlu ditingkatkan adalah kualitas dan insitas dari dialog itu sendiri. Para pemuka agama mestinya tidak perlu risih untuk berpolemik antara satu sama lainnya. Melalui polemik yang berjalan damai akan teruji kekuatan argumentasi masing-masing, dan pada gilirannya akan tampak ketepatan interpretasi masing-masing. Umat beragama pada dekade berikutnya akan mengambil manfaat dan banyak belajar dari polemik dan perbenturan pendapat itu.

Memang sering muncul kekhawatiran bahwa dengan terungkapnya kelemahan dan bahkan, kekeliruan dari pendapat-pendapat yang selama ini sudah dianggap mapan dalam kehidupan beragama masyarakat, akan menimbulkan keresahan dan kegelisahan. Justru seharusnya di sinilah letak tugas dan fungsi pemimpin agama mendampingi umatnya dalam proses keberagamaan mereka dan meyakinkan bahwa proses keberagamaan itu tidak pernah final dan selesai, melainkan berlangsung sepanjang hayat manusia.

Islam mengajarkan bahwa manusia pada hakikatnya berada dalam proses pencarian yang terus-menerus, sebagaimana tercermin dalam kalimat suci: ihdina as-sirath al-mustaqim  (tunjukilah kami jalan yang lurus) ayat yang dibaca umat Islam, paling tidak tujuh belas kali setiap hari. Seharusnya ayat ini menyadarkan umat Islam akan proses pencarian yang tidak pernah berakhir sepanjang hayat.

Berkenaan dengan perlunya dialog antarumat beragama, menarik dikemukakan di sini pernyataan Hans Kung, seorang teolog Kristen yang aktif mempromosikan dialog antaragama,  sebagai berikut: No peace among the nations without peace among religions. No peace among the religions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without the investigation the foundation of the religions.

Sebagai langkah awal perlu disosialisasikan pengertian bahwa agama pada dasarnya bukan merupakan tujuan hidup manusia, melainkan hanyalah sebuah jalan menuju Tuhan. Akan tetapi, kebanyakan penganut agama telah terlanjur memperlakukan agama sebagai tujuan, dan bahkan, tidak sedikit yang mempertuhankan agama.

 

Kesimpulan

Fungsi utama agama dalam konteks individual dan sosial adalah untuk memberikan rasa aman dan damai kepada pemeluknya. Agama diwahyukan kepada manusia agar mereka dapat menjalani hidup secara lebih baik dalam kebesaran Tuhan semesta alam. Demikian halnya dengan Islam, diturunkan Allah kepada manusia semata-mata untuk meningkatkan moral mereka. Islam juga befungsi untuk menciptakan situasi harmoni dan saling menghormati di antara anggota sesama umat beragama.

Ketika menyebut Islam perlu ditegaskan lebih dahulu pada tataran mana Islam itu dibicarakan; apakah pada tataran teks-teks sucinya ataukah pada tataran pemikiran atau interpretasi terhadap teks-teks suci tersebut. Yang pertama diakui sebagai wahyu yang bersifat mutlak, absolut, benar, kekal, dan tidak berubah, sedangkan yang terakhir tentu saja bukan wahyu, melainkan hasil ijtihad manusia dan karenanya bersifat relatif, tidak kekal, dan bisa berubah.

Hal ini perlu sekali ditegaskan karena seringkali seseorang mengklaim berbicara tentang Islam, padahal sesungguhnya yang dibicarakan itu bukanlah agama Islam itu sendiri, melainkan interpretasi dari otoritas pemilik agama.

Konflik agama yang terjadi selama ini sebenarnya lebih disebabkan oleh sikap kita yang seringkali membiarkan tindakan kezaliman dan ketidakadilan berlangsung di hadapan kita lantaran yang menjadi sasarannya bukan diri kita atau golongan kita. Seharusnya kita memegang teguh prinsip memusuhi segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan, siapapun pelakunya, apapun motifnya, dan di manapun tempatnya. Sebab, manakala kita membiarkan kezaliman dan ketidakadilan itu berlangssung maka suatu ketika dampaknya akan menimpa diri kita sendiri.

Sebagai penutup, mari kita renungkan bunyi hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut. “Akan datang suatu masa di mana seluruh umatku akan tertimpa azab bencana. Sahabat bertanya: Ya Rasul apakah ketika itu masih ditemukan orang-orang saleh, Nabi menjawab: “masih cukup banyak”, Ditanya lagi: “apakah orang-orang saleh itu juga akan tertimpa azab-Mu”, Nabi menjawab: “Ya, benar, para pelaku kezaliman akan ditimpa azab sebagai balasan terhadap perilaku mereka, sementara orang-orang saleh juga akan tertimpa azab lantaran ketidakpedulian mereka menghentikan kezaliman dan ketidakadilan tersebut.”

 

 

 

Catatan Kaki:

 

[1]QS Al-Hujurat, [49]:13.

[2]Soetjipto Wirosarjono, Jalan Menuju Toleransi Baragama di Indonesia, dalam Agama dan Pluralitas Bangsa, P3M, Jakarta, 1991, h.ix.