|

Muslimah Reformis

Sosok Musdah Mulia-Pemenang NABIL AWARD

Pengantar

A Courageous Woman adalah istilah paling tepat bagi sosok Musdah Mulia. Istilah itu pertama kali diberikan oleh Condoleeza Rice, Menteri Luar negeri Amerika Serikat,[1] kemudian Majalah Mata Baca[2] dan Harian Jakarta Post.[3] Asfinawati, direktur LBH Periode 2006-2009 dengan tegas mengatakan: “Musdah selalu bertarung tepat di tengah medan pertempuran, menohok isu hitam-putih-abu-abu tanpa ragu dan tidak pernah berputar-putar atau lari dari inti masalah. Saat mendengar bahwa Musdah (lagi-lagi) mendapat penghargaan untuk kerja-kerja keberpihakannya, saya tersadar bahwa mereka yang berjauhan ternyata kadang-kadang lebih mampu menilai, merasakan, menghargai. Sebaliknya, mereka yang berjarak hanya beberapa kilometer darinya, belum tentu menyadari tidak mudahnya menjadi Musdah yang berdiri di garda depan, terbuka untuk dijadikan sasaran apa pun, dan sudah berada dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk mundur.” Tidak salah jika Todung Mulya Lubis menyebut Musdah sebagai sosok muslimah yang mau dan berani bersuara, yang menjadikan Islam sebagai ‎komunitas yang teduh, dialogis, dan inklusif.[4]

Sebagai seorang akademisi, Musdah tidak berkutat di menara gading  perguruan tinggi, dia lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai aktifis memperjuangkan hak-hak asasi kelompok perempuan serta kelompok rentan dan minoritas di tengah-tengah masyarakat. Dia adalah contoh akademisi yang mau turun gunung menjadi aktifis dalam memperjuangkan kelompok minoritas. Meski berhadapan dengan kekuasaan yang mencoba menghambatnya ia tak pernah gentar, demikian ungkapan Lies Marcoes Natsir, seorang aktifis feminis Indonesia.[5]  Luthfie Assyaukanie, Deputi Direktur Freedom Institute memberikan testimoni berikut: “Saya mengenal Musdah bukan hanya sekedar sebagai seorang sarjana dengan artikulasi yang jernih, tapi juga sebagai seorang intellektual yang berani dan tangguh dalam mempertahankan argumen-argumennya. Di tengah miskinnya pembelaan terhadap kaum perempuan Islam, Musdah berdiri paling depan membela hak-hak kaumnya dan meluruskan pandangan-pandangan keliru tentang perempuan.”[6]

Berbeda dengan umumnya aktifis feminis, meski sangat berani, Musdah dalam kesehariannya tampak ramah dan lembut, bahkan terkesan sangat feminin. Namun, dia tak pernah gentar dan tidak mengenal kompromi menghadapi siapa pun demi memperjuangkan ide-ide keislaman yang humanis dan ramah terhadap perempuan, serta akomodatif terhadap kelompok non-Muslim. Musdah adalah seorang sarjana dan aktifis perempuan yang bersikap kritis dan berani menantang arus mayoritas. Meskipun beresiko dihujat oleh banyak orang, ia tak pernah surut memperjuangkan apa yang dianggap benar.[7]

Dia tak gentar berdiri paling depan mengusung perubahan kebijakan publik yang diskriminatif terhadap kelompok rentan dan minoritas. Semua itu dilakukannya dalam konteks mewujudkan Islam yang ramah dan rahmatan lil alamin sekaligus membangun bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, pluralisme dan HAM, berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan berpijak pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

 

Latar belakang keluarga, karya dan aktivitas

Siti Musdah Mulia. Lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Putri pertama pasangan H. Bustamin Abdul Fatah dan Hj. Buaidah Achmad. Ibunya, merupakan gadis pertama yang menyelesaikan pendidikan di Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), Pare-Pare. Adapun ayahnya pernah menjadi tokoh penting dalam gerakan Negara Islam pimpinan Abdul Kahar Muzakkar yang kemudian dikenal sebagai gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Sepanjang hidupnya, sang ayah berjuang mewujudkan Negara Islam Indonesia. Ditelusuri lebih ke atas, silsilah keluarganya sangat kental dengan kehidupan Islam. Kakek dari Ayahnya, H. Abdul Fatah seorang mursyid ternama di lingkungan jamaah Tarekat Khalwatiyah.[8]

Setelah menamatkan SD di Kosambi, Jakarta Utara, Musdah melanjutkan pendidikan pada Pondok Pesantren Al-As’adiyah, pesantren tertua di Sulawesi Selatan. Di sinilah Musdah mulai menggeluti ilmu-ilmu keislaman klasik melalui kitab-kitab kuning seperti umumnya pesantren tradisional. Setelah tamat pendidikan pesantren sampai ke tingkat Ma’had Ali, Musdah melanjutkan S1 di UIN Alauddin, Makassar dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastera Arab. Selanjutnya meneruskan pendidikan ke S2 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta mengambil jurusan Sejarah Pemikiran Islam dan S3 di tempat yang sama, jurusan Pemikiran Politik Islam. Untuk penulisan disertasinya, Musdah melakukan penelitian di Al-Azhar University, Kairo, Mesir.

Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dikenal sebagai intelektual Muslim moderat dan aktif menyuarakan perdamaian. Dia juga aktifis perempuan yang bersikap sangat kritis terhadap berbagai pandangan yang tidak rasional dan tidak humanis, khususnya dalam isu-isu agama.

Karya-karyanya dikenal sangat vokal menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan berupa keadilan, demokrasi, pluralisme dan kesetaraan gender. Di antaranya, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan (2005); Perempuan dan Politik, Gramedia (2005); Islam and Violence Against Women, LKAJ, Jakarta (2006); Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press (2007); Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Yogyakarta (2010); Muslimah Sejati, Nuansa Cendekia (2011); Membangun Surga di Bumi: Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam, Gramedia (2011); Mengupas Seksualitas, Serambi (2015); Ensiklopedia Muslimah Reformis (2019). Selain itu, menulis puluhan entri dalam Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, dan Ensiklopedi Al-Qur`an, serta sejumlah artikel disajikan dalam berbagai forum ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri.

Menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sejak 2008 dan anggota Women Shura Council (Majelis Ulama Perempuan yang bermarkas di New York) sejak 2013. Tahun 2004 sampai sekarang, menjadi Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace), sebuah organisasi lintas iman yang aktif mempromosikan hak kebebasan beragama melalui dialog agama. Tahun 2000-2003 menjadi Kepala Litbang Kementerian Agama R.I. Bersamaan dengan itu merangkap sebagai staf Ahli Menteri Negara Urusan HAM bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (2001-2003). Lalu menjadi staf Ahli Menteri Agama R.I bidang Hubungan Kerjasama Internasional (2003-2007). Pernah aktif di sejumlah ormas pemuda, keagamaan dan perempuan, seperti PMII, KNPI, Fatayat NU, Muslimat NU, Majlis Dakwah Islamiyah, Majlis Ulama Indonesia Pusat.

Atas upayanya memperjuangkan penegakan demokrasi dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan, pada tahun 2007 Musdah menerima penghargaan International Women of Courage Award 2007 mewakili Asia Pasifik dari pemerintah Amerika Serikat. Penghargaan tersebut diberikan bersamaan dengan peringatan International Women Days di Gedung Putih Washington oleh Menlu Amerika Serikat, Condoleeza Rice. Kemudian akhir tahun 2009 Musdah juga menerima penghargaan Woman of The Year 2009 dari pemerintah Italia. Penghargaan ini diberikan atas kiprahnya memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas serta upayanya yang kuat untuk menghapuskan hukuman mati. Berikutnya, menerima penghargaan Yap Thiam Hien Human Rights Award (2008) karena membela kaum rentan dan minoritas di Indonesia. Lalu  Plangi Tribute to Women dari Kantor Berita Antara (2009) sebagai penghargaan atas jasanya menebar pemikiran pencerahan untuk penguatan literasi masyarakat; NABIL Award (2012) karena vokal menyuarakan prinsip kebangsaan dan hak kebebasan beragama demi terwujudnya Indonesia yang adil, maju dan beradab.

Tahun 2013 menerima penghargaan dari organisasi Himpunan Indonesia Untuk Ilmu-Ilmu Sosial sebagai ilmuwan yang melahirkan karya-karya berpengaruh dalam bidang ilmu sosial di Indonesia. Berikutnya, penghargaan The Ambassador of Global Harmony (2014) dari Anand Ashram Foundation karena tekun memperjuangkan kebhinnekaan dan pluralisme beragama. Terakhir, menerima penghargaan Humanity Award dari International Forum for Peace and Human Rights (2019) atas kiprahnya merajut perdamaian dan upaya penegakan HAM di Indonesia. Beberapa penghargaan lain tidak disebutkan di sini.

Musdah adalah perempuan pertama meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997), dengan disertasi: Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal. Dia juga adalah perempuan pertama yang dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan (1999) dengan Pidato Pengukuhan: Potret Perempuan Dalam Lektur Agama: Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Masyarakat Egaliter dan Demokratis).

Kehadirannya sebagai pemikir Islam, aktifis perempuan, peneliti, konselor, dan penulis membawa angin sejuk dan damai bagi mereka yang tertindas dan terdiskriminasi. Namun tidak jarang pula atas keberanian, keteguhan, kegigihan, dan konsistensinya melawan berbagai tindakan ketidak-adilan, dan kekerasan, Musdah harus menelan pil pahit berupa cacian dan hujatan atas dirinya. Sebagai pemikir dan aktivis sosial, Musdah selalu menggunakan cara berpikir kritis dan rasional dalam melihat berbagai persoalan, terutama ancaman terhadap keberagaman Indonesia. Dia juga gigih memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender, membela hak-hak kelompok minoritas, dan aktif melakukan dialog antaragama.

 

Memperjuangkan kesetaraan jender melalui implementasi tauhid

Meskipun sering dihujat sebagai antek Barat, Musdah sesungguhnya jauh dari tuduhan itu. Simak saja buku-buku yang ditulisnya terkait kesetaraan jender, seperti Muslimah Reformis terbitan Mizan (2004), Keadilan dan Kesetaraan Jender: Perspektif  Islam (2007), Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami, Meraih Ridha Ilahi (2011),  jelas terbaca kegigihannya menawarkan perspektif baru dalam memperjuangkan kesetaraan jender. Memang betul konsep kesetaraan jender sangat gencar diperjuangkan para feminis Barat, tetapi bagi Musdah ide dan konsep kesetaraan jender memiliki akar kuat dalam ajaran Islam. Bahkan, menurutnya ide kesetaraan jender dapat ditelusuri dari konsep tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam.

Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.

Bagi Musdah, Islam sebagai agama pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk eksplorasi dari nilai-nilai kemanusiaan adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dimata Allah. Yang membedakan  di antara manusia hanyalah taqwanya dan itu hanya Tuhan berhak menilai, bukan manusia.

Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah dan tidak ada anak dan titisan Tuhan pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia nomor satu dan manusia nomor dua. Manusia pada hakikatnya sama. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka rakyat tidak boleh mempertuhankan pemimpin, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasan dan istri tidak boleh mempertuhankan suami. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.

Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Tauhis adalah spirit dan energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, dan kezaliman. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Kekuatan tauhid pada diri  beliau membuatnya berani membela mereka yang teraniaya dan terlemahkan secara struktural dan sistemik (al-mustadh’afîn), seperti perempuan, budak, dan anak-anak.

Sejarah mencatat sejak zaman Mesir kuno, Yunani kuno, Romawi kuno, Hindu, dan Cina kuno, sampai masa turunnya Islam, perempuan tidak dianggap sebagai manusia yang setara dengan laki-laki. Bahkan haknya pun ditentukan oleh laki-laki. Selama berabad-abad, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Sebagian lagi justru menganggap hal itu sebagai takdir Tuhan. Begitu kuatnya pandangan ini, sehingga sisa-sisa pengaruhnya masih ada sampai sekarang. Kenyataan ini membuat laki-laki menjadi pihak yang diuntungkan. Sebaliknya, perempuan menjadi pihak yang terzalimi. Dengan ajaran tauhid, Rasul mengikis semua adat tradisi dan budaya jahiliyah yang tidak kondusif bagi penegakan ajaran Islam, seperti budaya patriarkal dan budaya feodal. Sebaliknya, melalui ajaran tauhid, Rasul memperkenalkan budaya egalitarian yang memandang semua manusia setara. Tentu saja gagasan besar Rasul tentang ide persamaan mendapatkan tantangan yang luar biasa dari kelompok musyrikin Arab yang selama ini mendapat keuntungan dari tatanan budaya yang tidak manusiawi itu.

Tauhid mempersaudarakan laki-laki dan perempuan ibarat saudara kandung. Mereka tidak boleh saling menyakiti dan merendahkan. Mereka harus bekerja sama, saling menolong dan bahu-membahu demi tercapainya cita-cita bersama. Rasulullah saw. bersabda,  “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum laki-laki.”  (H.R. Abu Daud dan al-Tirmidzi). Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Kata “saudara” mengandung arti kesetaraan, kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas hak, pembelaan atas orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib dan sepenanggungan. Persaudaraan juga menghapuskan kata “aku”, sehingga setiap orang yang bersaudara akan bergerak bersama dengan semangat dan jiwa “kita” demi kemaslahatan bersama.

Makna mendalam dari sabda Nabi di atas merupakan semangat yang harus mendasari setiap gerak langkah masyarakat yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa ibarat saudara, laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam seluruh aspek kehidupan agar cita-cita masyarakat bisa tercapai dan dirasakan manfaatnya oleh semua. Laki-laki tidak boleh meninggalkan atau memandang sebelah mata kepada saudaranya yang perempuan. Demikian juga perempuan tidak boleh apatis dan asyik dengan dirinya sendiri sehingga tidak tahu apa yang dilakukan oleh saudaranya yang laki-laki. Dalam semangat persaudaraan ini, laki-laki dan perempuan didorong untuk bersama-sama dan bekerja sama menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridha Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr (Q.S. Saba’, 34:15).

Bagi Musdah, pemuliaan perempuan dalam Islam dinyatakan dalam aksi konkret membuka akses dan partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, terutama dalam pendidikan dan politik. Penghormatan terhadap perempuan dalam Islam dinyatakan dalam bentuk pengakuan Islam yang sangat jelas terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan sama dengan saudara mereka yang laki-laki. Meskipun ada perbedaan biologis di antara keduanya, namun dalam esensi kemanusiaannya sama dan setara, yaitu sama-sama diharapkan menjadi khalifah fil ardh (pengelola kehidupan di dunia). Islam memberikan peluang dan kebebasan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berkiprah dalam ruang publik serta tanggung jawab yang sama dalam membina kebahagiaan keluarga. Keduanya harus menjadi subyek yang bertanggungjawab dalam kehidupan, baik di ranah domestik maupun di ranah publik.

Karena itu, Musdah mengkritisi berbagai kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang muncul di era reformasi, seperti berbagai peraturan di Aceh, khususnya Qanun Khalwat,  perda kewajiban berjilbab di sejumlah daerah, perda larangan keluar malam bagi perempuan. Bagi Musdah, semua bentuk kebijakan itu bertentangan dengan esensi Islam. Sebab, dalam semua peraturan itu, jelas perempuan hanya diposisikan sebagai obyek hukum dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Seringkali, menurut Musdah, upaya memuliakan perempuan dalam implementasinya malah mengontrol dan meminggirkan perempuan, bahkan mengabaikan hak-hak reproduksi perempuan. Perempuan harus sadar dan mengerti dengan baik tentang semua hak dan kewajibannya yang asasi, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia utuh.

Selanjutnya, Musdah menawarkan konsep Muslimah Reformis. Menurutnya,  Muslimah Reformis adalah perempuan beriman, berakhlak mulia, berpendidikan, berwawasan inklusif, dan beramal saleh. Muslimah Reformis pasti selalu aktif  dalam aksi konkret membangun dan memberdayakan masyarakat menuju terciptanya tatanan mayarakat yang adil, damai dan sejahtera.[9]

Membaca berbagai tulisan Musdah terkait isu kesetaraan jender dalam perspektif Islam, sangat jelas apa yang diinginkannya, yaitu membangun kesetaraan jender dalam masyarakat Muslim berdasarkan ajaran tauhid, bukan berdasarkan asumsi logika semata seperti ditawarkan para feminis Barat. Nabila Lubis, guru besar pada UIN Syarif Hidayatullah mengakuinya. Menurutnya, Musdah adalah sosok langka dan aset yang dimiliki bangsa ini. Perhatian Musdah menyadarkan kaum perempuan akan hak dan kewajibannya yang sangat besar. Sebagai peneliti di Litbang Departemen Agama dia juga menggagas sebuah tim pemberdayaan perempuan. Harapan yang besar akan kemajuan kaum perempuan terlihat dari sikapnya yang selalu ikut berbahagia jika ada perempuan sukses dan berprestasi. Dan harapan saya dengan segala kelebihannya Musdah akan mampu menjadi pembanding para feminis Barat.[10]

Terkait dengan undang-undang keluarga, Indonesia memiliki dua bentuk undang-undang, yaitu UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Instruksi Presiden pada Tahun 1991. Kompilasi inilah yang menjadi pedoman para hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perdata terkait perkawinan dan keluarga. Musdah mencoba menawarkan konsep kesetaraan jender dalam relasi keluarga dengan mengusung suatu draft alternatif bagi amandemen pembaruan Kompilasi Hukum Islam yang kemudian dikenal luas dengan nama Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI).

Dalam sebuah wawancara dengan Maria Amirudin, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Musdah Mulia menegaskan mengapa perlu merevisi KHI. Menurutnya, sebagian besar isi KHI sudah tidak relevan dengan konteks masyarakat Islam Indonesia. Isi KHI mencerminkan pandangan ulama abad ke-9, abad pertengahan yang penuh dengan nilai-nilai patriarkal,  sehingga isinya mungkin relevan untuk masanya, cocok untuk masa itu, tapi kondisi masyarakat kita sudah mengalami dinamika yang luar biasa dan menghendaki hukum-hukum baru yang lebih maju. Selain itu, pandangan keislaman dalam KHI belum mengadopsi budaya lokal yang berkembang di masyarakat.[11]  CLD KHI adalah hasil penelitian dan kajian kritis atas KHI yang ditawarkan oleh Tim Pembaruan Hukum Islam bentukan Tim Pokja PUG Departemen Agama. Rumusannya mirip KHI, terdiri dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

CLD KHI adalah rumusan hukum Islam model baru disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana terbaca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia, mengadvokasikan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan, menyuarakan pandangan yang humanis, pluralis dan demokratis. Isinya menawarkan suatu bentuk hukum perkawinan ideal, yaitu hukum perkawinan yang adil, pluralis dan demokratis berbasiskan ajaran Islam yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal. Tujuannya tidak lain adalah membangun perkawinan bahagia penuh cinta kasih (mawaddah wa rahmah) yang ditandai dengan perilaku suami-isteri yang santun (mu’asyarah bil ma`ruf), saling menghargai, saling memahami, dan saling melengkapi menuju kebahagian abadi di dunia dan di akhirat kelak.

CLD KHI menperjuangkan agar tidak ada lagi dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada lagi perkawinan terpaksa,  tidak ada lagi perkawinan anak-anak, tidak ada lagi perkawinan sirri (perkawinan “bawah tangan”), tidak ada lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab, tidak ada lagi perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah jika dicatatkan (registered marriage).

Sebagai sebuah tawaran yang dirumuskan berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian, tentu draf ini tidak mengklaim dirinya sebagai rumusan final yang harus diterima secara absolut oleh semua pihak, melainkan hendaknya dilihat sebagai sebuah ijtihad mempromosikan ajaran Islam yang hakiki mengenai perkawinan, ajaran yang mengedepankan cinta kasih dan penghargaan kepada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, perlu dilihat sebagai upaya mencari solusi atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat Indonesia. Pada intinya, draf itu bertujuan memberdayakan perempuan dan mewujudkan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak asasi perempuan sebagai manusia seutuhnya, seperti tertuang dalam  konstitusi dan perundang-undangan serta konvensi  internasional tentang anti diskriminasi terhadap perempuan yang dikenal dengan CEDAW. Melalui CLD inilah komunitas Islam Indonesia dapat mempromosikan ajaran Islam yang ramah terhadap perempuan dan sekaligus rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).

Sangat disayangkan banyak pihak menolak mentah-mentah pandangan Musdah dalam KHI dengan mengatasnamakan kemurnian syariat Islam. Meskipun begitu, dengan pendirian yang sangat teguh dan penuh tanggung jawab Musdah berani mempertanggungjawabkan secara intelektual melalui berbagai forum ilmiah. Sebetulnya penyusunan draf CLD KHI adalah penugasan dari Departemen Agama. Posisi saya sebagai ‎Koordinator Tim Pengarusutamaan Jender (PUJ) Departemen Agama punya surat ‎pengangkatan dari Menteri Agama. Ketika muncul reaksi keras dari sebagian anggota masyarakat terhadap draf itu, saya ‎sendirian menghadapi kelompok-kelompok yang memprotes meskipun sebetulnya ‎pengkajian itu tugas institusi.‎ Ternyata ada blessing in dissguise (karunia tersembunyi) dalam kasus itu. Saya menjadi dikenal luas, ‎walaupun saya sama sekali tidak punya pikiran menjadi terkenal.‎ CLD itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. ‎Ketika saya mempresentasikan draft itu dalam pertemuan para feminis se-dunia di Barcelona, Spanyol, 2008 banyak yang terperangah ‎karena dalam draf itu banyak hal baru dan aspeknya luas.‎ Dari kejadian itu saya belajar bahwa orang harus bertanggung jawab dan harus punya komitmen pada ‎yang dia lakukan. Tidak rugi punya prinsip dalam hidup. Tuhan tidak buta.[12]

Sebagian besar reaksi dan kritik kelompok penolak CLD KHI diungkapkan dengan kalimat yang sangat keras dan menggunakan kata-kata yang kasar, seperti hukum iblis, hukum komunis, dan hukum syetan.[13] Hanya ada satu tanggapan terhadap CLD KHI yang sistematis dan argumentatif, yakni buku berjudul Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam.[14] Di lain pihak tidak sedikit pula yang mendukung  langkah Musdah menyusun CLD KHI, seperti Abdul Moqsith Gazali, Dosen UIN Syarif Hidayatullah. Menurutnya, modifikasi hukum keluarga ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat poligami, nikah beda agama, iddah, waris beda agama, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah kemanusiaan, yang terjadi malah merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan. Dengan demikian, jelaslah CLD KHI tetap bertumpu pada ayat universal Al-Quran berupa keadilan, kemaslahatan, pluralisme, HAM, dan kesetaraan jender. Akhirnya, semoga CLD KHI secara perlahan menjadi perangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan yang menjunjung nilai kemanusiaan, menghargai hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.[15]

Berbagai bentuk dukungan kemudian bermunculan satu demi satu. Nurul Arifin, aktifis Partai Golkar mengakui CLD KHI sebagai sesuatu yang revolusioner, sebuah upaya untuk menanamkan semangat kesetaraan jender dan pluralisme yang harus dimulai sejak sekarang.[16] Bahkan, Ulil Abshar-Abdalla, aktivis JIL menjelaskan, …It’s very radical not only for Indonesia but also for all Muslim countries, if not the world. It would be a significant revolution in Islamic law, if the House of Representatives passes it.[17] Dengan bahasa yang berbeda, Masdar F Mas’udi, salah seorang Ketua PBNU, meski tidak sepakat dengan pengharaman poligami dalam draf CLD KHI, ia tetap memberikan apresiasi. Menurutnya, CLD KHI akan memperoleh tantangan yang keras dari mayoritas Muslim, sebab persoalan perkawinan dan kewarisan adalah bagian hukum keluarga yang paling sensitif karena menyentuh langsung urusan masyarakat.[18]

Berbeda dengan sikap Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menolak CLD KHI, Moeslim Abdurrahman, tokoh Muhammadiyah  yang dikenal progres malah mengapresiasi. Menurutnya, Islam memang sangat mendorong umatnya untuk melakukan ijtihad tentang fikih agar sesuai dengan perubahan sosial. CLD KHI adalah bagian dari ijtihad kolektif tentang hukum Islam yang disesuaikan dengan perubahan sosial di Indonesia dewasa ini.[19] Jaya Suprana, selaku Pimpinan Pusat kelirumologi memberikan apresiasi yang tinggi terhadap karya CLD KHI karena telah mengklarifikasi beberapa kekeliruan dan salah tafsir terhadap gagasan dan ide-ide tentang institusi perkawinan. Lebih lanjut ia juga mengatakan, CLD KHI telah memberikan pencerahan bagi masyarakat dalam memahami arti perkawinan secara lebih baik dengan mengedepankan nilai-nilai Islam yang substansial dan kompatibel dengan prinsip hak asasi manusia.[20] Bentuk apresiasi lain, Musdah selaku Koordinator Tim PUJ memperoleh sejumlah penghargaan atas perjuangan tersebut, di antaranya, sebagai Tokoh 2004 versi Majalah Tempo,[21] Kelirumologi Award (2009) dari Lembaga Pusat Studi Kelirumologi Indonesia, dan International Women of Courage Award (2007) dari Pemerintah Amerika Serikat.[22]

 

Mempromosikan Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan

Sebagai cendekiawan Muslim, Musdah sangat gigih mempromosikan Islam yang ramah dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dia mulai dengan mengajak kita memahami Islam dengan benar. Menurutnya, Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Islam diyakininya sebagai agama yang menjanjikan harapan hidup yang lebih baik: menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Karena itu, bagi Musdah, manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh.

Islam memandang manusia secara optimis dan positif, yakni sebagai makhluk paling mulia dan bermartabat (Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra`, 17:70). Konsep ini sangat penting, terutama dalam kaitan dengan pemahaman terhadap teks-teks suci keagamaan. Bahwa manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang amat penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam menafsirkan teks-teks tersebut.

Umat Islam hampir sepakat mengenai pentingnya ijtihad, yaitu penggunaan akal pikiran dalam memahami hukum-hukum Tuhan. Ijtihad merupakan suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Sebab, menurut Wahhab Khallaf, pakar hukum Islam ternama, meskipun Al-Qur’an mengandung ketentuan hukum yang cukup rinci, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.[23]  Akan tetapi, masalah paling mendasar dalam pemahaman keagamaan mayoritas umat Islam adalah mereka terlanjur meyakini kebenaran teks sebagai sesuatu yang mutlak dan abadi sehingga mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkret. Mereka terpaku pada makna-makna literalis tanpa menghiraukan konteks ajaran dan bahkan mengabaikan tujuan dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yakni kemaslahatan umat manusia.  Ironisnya, mayoritas umat Islam meyakini bahwa semakin ketat memegangi makna literalis teks dipandang sebagai semakin dekat dengan Islam, sebaliknya semakin jauh seseorang meninggalkan makna tekstual tersebut dipandang semakin jauh dari Islam.

Dalam banyak tulisannya, Musdah menegaskan, Islam diturunkan bukan untuk kemaslahatan dan kepentingan Tuhan sebab Dia Maha Kuasa, Dia Maha Sempurna dan tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, Islam lebih banyak diamalkan untuk “menyenangkan Tuhan” sehingga hampir-hampir tidak menyisakan manfaat bagi kemanusiaan. Karena itu diperlukan ijtihad yang menggunakan analisis sosial untuk merekonstruksi ajaran Islam sehingga kondusif dengan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.

Islam mengapresiasi nilai-nilai universal HAM

Meski tidak sedikit ulama memandang konsep HAM bertentangan dengan nilai-nilai Islam, namun Musdah dengan penuh keyakinan mengakui bahwa nilai-nilai HAM tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pandangannya yang jernih dan tegas terkait isu HAM terbaca dalam bukunya, Islam dan HAM: Konsep dan Implementasi (2010). Menurut Musdah, memang betul istilah HAM belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab di abad ke-7 Masehi, namun prinsip-prinsip penghormatan pada manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas. Inti ajaran Islam adalah tauhid, yakni mengajarkan kepada manusia bahwa hanya ada satu pencipta, yaitu Tuhan. Selain Tuhan yang ada hanyalah makhluk. Karena itu, hanya Tuhan yang mutlak disembah, dipuji dan diagungkan serta tempat menggantungkan seluruh harapan dan kebutuhan. Di antara makhluk ciptaan Tuhan manusialah makhluk yang paling sempurna (Q.S. al-Isra’, 17:70) dan karena itu makhluk lain patut memberikan penghormatan kepadanya sebagai tanda pengabdian kepada Sang Pencipta. Manusia adalah makhluk yang bermartabat dan harus dihormati tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dan ikatan primordial lainnya. Yang membedakan di antara manusia hanyalah prestasi takwanya (Q.S. al-Hujurat 49:13) dan bicara soal takwa hanya Allah swt. yang mampu memberikan penilaian.

Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah menjaga kelangsungan hidupnya, nyawanya tidak boleh dihilangkan (QS. 27:33; 5:32), juga fisik dan psikisnya tidak boleh disakiti untuk alasan apapun (QS. 5:45). Semua manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan tanpa pembedaan. Hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari menjelaskan secara gamblang: “Sesungguhnya darahmu (life), hartamu (property), dan kehormatanmu (dignity) adalah suci, seperti sucinya hari ini (haji wada’) di bulan ini, dan negerimu ini sampai engkau bertemu Tuhanmu di hari akhir nanti (HR. Bukhari).

Bahkan lebih jauh dari sekedar retorika. Nabi sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam tersebut pada intinya menggarisbawahi lima hal pokok sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yaitu prinsip persaudaraan dalam Islam, semua umat Islam yang berasal dari berbagai latar belakang adalah bersaudara; prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari beragam suku, agama, dan bahasa harus saling membantu dalam menghadapi lawan; prinsip melindungi yang teraniaya; prinsip saling menasehati; dan prinsip kebebasan beragama. Prinsip-prinsip tersebut didasarkan pada ajaran Islam, seperti QS. Al-Baqarah, 2:256 (tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun, 1-6 (pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus, 99 (larangan memaksa orang memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai kalimatun sawa’); dan al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong kepada non-Muslim yang tidak memusuhi dan tidak mengusir mereka). Sayangnya, ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai humanisme, pluralisme, dan inklusifisme itu tidak banyak disosialisasikan di masyarakat sehingga tidak heran jika wajah masyarakat Islam di berbagai wilayah tampak lebih sangar dan tidak bersahabat, sangat jauh dari potret yang ditampilkan umat Islam generasi awal, khususnya di masa Nabi dan Khulafa Rasyidin, yang penuh toleransi, persahabatan, dan persaudaraan.

Untuk meyakinkan bahwa ajaran Islam akomodatif terhadap kemaslahatan manusia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) mencoba merumuskan tujuan dasar syariat Islam atau yang disebutnya dengan maqashid al-syari’ah, yakni pertama, memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs). Bagaimana mungkin manusia dapat beramal saleh kalau dia sendiri tidak memiliki kehidupan. Kedua, memelihara kebebasan beropini dan berekspresi (hifz al-aql). Ketiga, memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din). Keempat, menjamin hak reproduksi (hifz an-nasl) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Kelima, menjamin hak properti (hifz al-maal), yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, serta hak memperoleh jaminan perlindungan dan kesejahteraan. Kelima hak dasar itulah yang kemudian dikenal dengan al-kulliyah al-khamsah. Artinya, seluruh keberagamaan manusia dibangun untuk melindungi kelima hak dasar tersebut. Oleh karena itu, jika ditemukan ajaran agama yang bertentangan dengan pemeliharaan lima hak dasar tadi, maka ajaran tersebut perlu direvisi dan diinterpretasi ulang demi menjawab tuntutan kemaslahatan manusia. Berdasarkan rumusan kelima hak dasar tersebut terlihat betapa ajaran Islam yang diwahyukan pada abad ke-7 Masehi sangat apresiatif dan akomodatif terhadap nilai-nilai HAM sebagaimana terangkum dalam Deklarasi Universal HAM yang diproklamirkan PBB pada tahun 1948. [24]

Dalam upayanya memperjuangkan penegakan nilai-nilai HAM Musdah tidak hanya berwacana di ruang seminar, melainkan terjun langsung ke tengah masyarakat melakukan advokasi. Budi Tanuwibowo, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu mengatakan: “Sesuai namanya Musdah Mulia adalah perempuan yang amat mulia. Mulia akhlaknya, mulia hatinya, mulia pemikiranya, dan mulia segala tindak tanduknya. Dibalik keteguhan, ketegaran, dan keberaniannya, ia mempunyai hati yang tulus, empati yang tinggi, dan tangan selalu terbuka, yang selalu siap membantu perempuan yang tertindas, umat yang terpinggirkan, dan manusia yang tidak berdaya dilindas oleh ketidakadilan. Mencermati jejak langkahnya, membuat kita amat optimistis akan nasib Indonesia masa depan. Semoga akan lahir banyak Musdah baru bagi kesuburan kehidupan yang egaliter, bebas dari stigma dan bermartabat. Meski ia tampak perkasa, namun kelembutan sebagai perempuan tetap muncul dengan pesona dirinya.[25]

Hartoyo, aktifis LGBTIQ dan Sekjen Ourvoice mengatakan: “Keberanian Musdah memperjuangkan kemanusiaan yang lintas batas, khususnya kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender dan transeksual, intersex, dan queer (LGBTIQ), merupakan tindakan yang jarang dilakukan oleh tokoh-tokoh pluralisme di Indonesia, bahkan di dunia sekalipun. Harapan saya ini akan menjadi inspirasi oleh banyak orang untuk bicara keberagaman seksual dalam konteks yang lebih luas. Saya yakin ada banyak tantangan dalam memperjuangkan keadilan untuk gerakan hak keberagaman seksualitas ke depannya. Tapi, keberanian dan konsistensi ibu Musdah membuat perjuangan itu tetap berkobar sampai detik ini.[26] Neng Dara Afifah, Komisioner Komnas HAM mengakui: “Musdah telah bekerja keras untuk gagasan-gagasan keadilan jender dan pluralisme. Ia juga mngetahui tentang akibat dari perjuangan itu, karena agaknya ia sudah siap dengan tantangan yang harus dihadapi. Harapannya, apa yang ia lakukan menginspirasi kalangan muda untuk meneruskan jejaknya.”[27]

 

Membangun Indonesia yang demokratis dan pluralis

Berbeda dengan banyak pemikir Islam, Musdah sangat aktif  mempromosikan interpretasi keislaman yang sejuk dan kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan penghargaan kepada manusia dan kemanusiaan. Dengan lantang dia selalu menegaskan bahwa sebagai warga negara Indonesia tidak ada kesulitan mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab baginya, ideologi Pancasila yang merupakan pedoman dalam pengelolaan kehidupan negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Saya bisa menjadi seorang Indonesia yang baik sekaligus juga seorang Muslim yang taat.   Menanggapi isu negara Islam yang lantang disuarakan kelompok islamis di tanah air sejak tumbangnya Orde Baru, Musdah menawarkan suatu pandangan alternatif tentang negara Islam seperti terbaca dalam bukunya Negara Islam. Islam tidak memberikan petunjuk yang langsung dan rinci tentang bagaimana seharusnya umat Islam mengatur urusan negara. Karena itu, sepanjang sejarah Islam muncul berbagai bentuk dan rumusan tentang negara Islam. Islam cukup meletakkan landasan dasar (al-mabadi’ al-asasiyyah) atau ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesama. Landasan itulah yang kelak menjadi pedoman manusia di dalam mengelola berbagai kehidupan, termasuk kehidupan politik. Landasan asasi itulah yang menjadi pedoman atau acuan bagi tata kelola pemerintahan menurut Islam.[28] Dalam pandangan Musdah, berbicara tentang negara atau pemerintahan, umat Islam tidak boleh hanya terpaku pada satu bentuk. Apakah pemerintahan itu berbentuk otoriter ataukah perwakilan? Kerajaan atau republik? Demokrasi atau despotis? Sebab, di dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku (nizam muqarrar atau nizam tsabit).[29] Islam hanya menegaskan sejumlah prinsip yang harus dipenuhi sebagai landasan Negara Islam, yaitu prinsip persaudaraan, prinsip persamaan, dan prinsip kebebasan, dan ketiga prinsip tersebut tetap mengacu kepada intisari Islam yakni ajaran tauhid.[30]

Banyak kalangan menilai positif terhadap ijtihad Musdah Mulia dalam isu kenegaraan, khususnya dalam konsep negara Islam yang sampai saat ini persoalan tersebut masih menuai persoalan dan belum terselesaikan. Kehadiran pemikiran Musdah Mulia soal negara Islam ini tentu menjadi sesuatu yang ditunggu kelompok progresif yang mendambakan persaudaraan, persamaan, dan kebebasan dalam bernegara. Salah satunya, Franz Magnis-Suseno, mengatakan: “Sejak 65 tahun debat tentang negara Islam tetap berlangsung di Indonesia. Karena itu sudah waktunya disertasi Musdah Mulia yang membahas pemikiran politik Haikal tentang negara Islam dibuka bagi publik lebih luas. Haikal termasuk pemikir muslim abad ke-20 paling tajam dan menantang. Pemikirannya tentang Islam dan demokrasi perlu diperhatikan oleh siapa saja yang mau bicara secara bertanggung jawab tentang kenegaraan Islami.”[31]

Bachtiar Efendy juga menguatkan pandangan terdahulu dengan menjelaskan: “Salah satu persoalan yang hingga kini belum selesai bagi sebagian komunitas muslim adalah isu hubungan antara Islam dan negara. Sudah banyak pandangan diajukan mengenai hal ini, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim. Musdah Mulia dengan membahas pemikiran Husain Haikal memperkaya pengetahuan kita tentang persoalan tersebut.”[32] Sementara itu, Luthfi Assyaukani menyatakan konsep negara bangsa merupakan kreasi baru orang-orang modern, padahal Islam lahir jauh sebelum konsep ini dikenal. Akibatnya, rujukan terhadap konsep negara Islam berpindah-pindah dan tumpang tindih antara dua peradaban: Islam dan Barat. Lebih lanjut beliau menuturkan, Musdah Mulia memberikan gambaran yang gamblang tentang konsep negara Islam dan perdebatan di seputar gagasan kontroversial ini. Dengan merujuk Husain Haikal, seorang pembaharu Muslim dan penulis produktif asal Mesir, Musdah menyimpulkan bahwa Negara Islam adalah sintesa kreatif antara bentuk negara sekuler dan negara teokrasi.[33]

Dalam kaitan ini, Toeti Heraty, guru besar bidang filsafat di Universitas Indonesia mengemukakan: “Yang perlu kita pahami dari ulasan Musdah Mulia adalah politik Islam kontemporer sebenarnya menyajikan tiga alternatif hubungan negara dan agama. Yang telah ditolak NKRI (Piagam Jakarta) adalah pola tradisionalis, yang dikhawatirkan adalah pola sekularis, dan jalan keluar adalah pola reformis. Memang pemahaman ini memberikan kelegaan, sesuai gagasan Haikal, budayawan Mesir. Islam tidak semata-mata tentang manusia dan Tuhan, bukan pula agama paripurna yang rinci mengurus kenegaraan, tapi kembali pada tiga prinsip dasar persaudaraan, persamaan, dan kebebasan yang memadai sebagai landasan pengaturan hidup kenegaraan.”[34]

Keberanian Musdah mengkritisi pemikiran sebagian umat Islam untuk mendirikan negara Islam yang teokratis di Indonesia mendapat apresiasi dari banyak pihak, di antaranya dari pakar hukum dan advokat senior, Adnan buyung Nasution. Dia mengatakan: “Saya angkat topi pada Musdah Mulia yang dengan kejelian intelektual dan komitmennya senantiasa berjuang untuk kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia. Ia dengan gigih menolak pembajakan interpretasi ajaran Islam dalam makna sempit. Dengan mengangkat pemikiran Muhammad Husain Haikal, seorang doktor ilmu hukum yang progresif dan pemikir politik Islam dari Mesir, Musdah menyampaikan pesan bahwa seorang yang bertauhid justru harus terus berikhtiar bagi persaudaraan, persamaan, dan kebebasan.”[35]

Negara sekuler sekalipun boleh mengurus soal-soal agama. Dalam banyak instrumen hak asasi manusia internasional, misalnya, disebutkan bahwa negara sekuler boleh mengurus ranah privat terkait dengan agama menyangkut lima hal. Pertama, menyangkut public order. Kedua, menyangkut public health. Ketiga, menyangkut public safety. Keempat, menyangkut public moral. Dan kelima, tidak boleh mengganggu hak orang lain.[36] Demikianlah Musdah tidak pernah berhenti bersuara dan berkarya demi terwujudnya perdamaian, pluralisme dan demokrasi untuk kesejahteraan semua manusia tanpa kecuali.

 

Oleh: TIM Peneliti NABIL