|

Muslimah Reformis

Stunting dan Patriarki, Apa Hubungannya?

“Penting! Ibu Pembelajar Bangkit Cegah Stunting”. Tagline seperti itu sering saya dengar setiap kali menghadiri posyandu atau seminar tumbuh kembang anak. Karena itu, saya berasumsi bahwa stunting adalah problem yang pasti diketahui oleh sebagian besar ibu-ibu di Indonesia. Bagaimana tidak, edukasi stunting yang dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari dokter, penyuluh posyandu sampai pak RT, selalu ditujukan kepada ibu. Gak usah jauh-jauh deh, silakan ketik kata stunting dan ibu di mesin pencari, pasti artikel yang muncul judulnya gak jauh-jauh dari “Pengetahuan ibu, penyebab terjadinya stunting”. Yah seputar itu.

Kenapa ya, Kalau bicara soal pekerjaan domestik rumah tangga dan urusan anak pasti yang terbayang pasti sosok ibu. Sehingga jika terjadi kesalahan di dalam pekerjaan domestik atau urusan anak, selalu ibu yang disalahkan. Kembali ke masalah stunting, apa benar penyebabnya semata-mata karena ibu yang kurang ilmu?

Saya jadi teringat cerita teman saya yang anaknya mengalami Speak Delay dan gizi buruk. Berat dan tinggi badannya tidak mencapai standar minimal sebagaimana anak-anak seusianya. Dia datang kepada saya mencurahkan kesedihannya dan rasa bersalahnya atas keadaan anaknya. Dia merasa gagal menjadi ibu. Saya hanya bisa mendengarkan dan menenangkan. Sepanjang dia bercerita barulah saya tahu bahwa teman saya ini menjadi korban KDRT oleh suaminya.

Saya tentu tidak menyangka. Saya ingat sekali di antara teman sepantaran kami, teman saya inilah yang paling cepat menikah. Bisa dikatakan pernikahannya termasuk pernikahan dini karena dipaksa orang tua yang ternyata karena alasan ekonomi. Yah, maksudnya supaya selesai tanggungan orangtuanya kalau anaknya menikah. Apalagi calon suaminya saat itu adalah laki-laki yang tergolong sudah mapan.

Namun siapa sangka, kemapanan itu tidak berlangsung lama. Momen di mana usaha suaminya bangkrut menjadi awal mula kekerasan itu terjadi. Kekerasan jangan melulu dibayangkan sebagai penganiayaan fisik semata ya, karena menurut UUPKDRT, ada empat macam kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Dalam kasus teman saya, dia mengalami KDRT Psikologis dan ekonomi. Suaminya memang tidak melakukan kekerasan fisik, namun dia berselingkuh dan tidak menafkahi. Acuh tak acuh terhadap istri dan anaknya.

Pilu hati ini mendengar ceritanya. Masalah finansial, domestik rumah tangga dan masalah anak semua dibebankan kepadanya. Sementara suami tidak peduli, bahkan berselingkuh dengan alasan istrinya tidak selalu bisa melayaninya. Ya bagaimana bisa melayani, istrinya sudah capek bekerja, mengurus anak dan urusan rumah, sementara suami ibaratnya hanya ongkang-ongkang kaki saja. Ketika anak mereka yang kecil mengalami stunting, suami dan seluruh keluarga justru menyalahkan teman saya sebagai ibunya.  Gregetan bener saya mendengar critanya.

Dari cerita teman saya ini setidaknya saya bisa menganalisis masalah stunting dari sudut pandang yang lain. Menemukan yang tersirat dari yang tersurat. Jika anggapan banyak orang masalah stunting adalah kurangnya pengetahuan sang ibu, menurut saya bukan itu akar masalahnya. Sistem Patriarki lah biang keroknya.

Mungkin memang benar Ibu yang tidak mempunyai pengetahuan atau kurang ilmu bisa menyebabkan anak stunting, tapi pertanyaannya, kenapa ada ibu yang gak punya pengetahuan? itu sebenarnya pertanyaan besarnya. Perempuan yang mempunyai privilege seperti mendapat akses Pendidikan, bisa membuat pilihan-pilihan dengan kesadaran, mempunyai suami yang support mungkin tidak kesulitan mendapatkan akses pengetahuan seputar anak dan parenting, termasuk masalah stunting.

Tapi bagaimana jika perempuan itu di posisi seperti teman saya yang saya ceritakan tadi? Boro-boro bisa membesarkan anak dengan baik, hak-hak dasarnya sebagai perempuan saja dia gak paham. Dari kecil dia dibesarkan dalam keluarga yang sangat patriarkis sehingga dia beranggapan bahwa perempuan itu ya harus nurut dan melayani. Ya masak, ya nyapu, ya ngurus anak. Pernikahan dini membuatnya tidak mempunyai akses pendidikan dan saya yakin pernikahannya terjadi tanpa kesiapan. Dan banyak perempuan bahkan tidak tahu bahwa mereka berhak lo menolak ketika dipaksa menikah dini oleh orang tuanya.

Dalam sistem patriarki seperti ini, perempuan dianggap tidak punya suara, harus tunduk patuh saja atas pilihan orang tua. Setelah menikah pun dituntut harus tunduk patuh kepada suami. Pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak dibebankan semuanya kepada perempuan. Belum lagi kalau perempuan tersebut juga bekerja untuk memenuhi finansial keluarga. Bayangkan, semua hal dilakukannya sendiri dan saat anak bermasalah seperti sakit atau bahkan stunting perempuan lagi yang disalahkan. Dibilang gak pinter, kurang ilmu dan gak peduli sama anak. Padahal, hei dia bahkan gak punya waktu untuk dirinya sendiri, kapan waktunya untuk memberdayakan diri?

Karena itu menurut saya masalah stunting ini harus dilihat dengan kacamata yang lebih luas. Ibu yang kurang ilmu bukan satu-satunya penyebab, ada penyebab yang lebih mendasar dari itu. Jangan hanya membebankan masalah pengasuhan anak kepada ibu saja, tetapi kepada kedua orang tua. Sebagaimana peran ibu, peran ayah juga harus dioptimalkan. “Bikinnya berdua, masak ngasuhnya gak mau berdua?” begitu kira-kira.

Perlu adanya kesalingan dalam rumah tangga. Ayah juga turut andil dalam menyelesaikan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, memasak atau mencuci dengan pembagian kerja yang didasarkan saling ridho tentunya. Dengan begini, ibu akan punya waktu untuk dirinya sendiri. Berdua bersama-sama memerdayakan diri untuk lebih aware terhadap pengasuhan anak. Ibu yang tidak lelah dan hatinya senang tentu akan lebih bisa mengkondisikan diri untuk memperhatikan anaknya. Bagaimana asupan makanannya, apa stimulus yang harus diberikan dan lain sebagainya yang tentu dibantu dengan ayah. Jadi orang tua itu ya dua orang, ibu dan ayah. Bukan hanya ibu saja. Jadi, fix ya, stunting bukan hanya soal ibu kurang ilmu, ada masalah komplek yang lebih dari itu.

Mari menggeser mindset kudet yang masih menganggap urusan anak dan pekerjaan rumah adalah kodrat perempuan. Bukankah manusia baik dia laki-laki ataupun perempuan diberikan mandat yang sama oleh Tuhan. Mereka sama-sama sebagai khalifah fil ardhi yang bertugas menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan. Dalam konteks stunting yang adalah kemudharatan, maka yang bertugas mencegah dan menghilangkannya ya keduanya, kali-laki dan perempuan. wujudkan kemaslahatan dalam keluarga dengan menciptakan relasi kesalingan yang adil dan setara. Yuk mulai dari keluarga kita.

Thau’am Ma’rufah