Menjadi manusia merupakan sebuah keistimewaan. Bagaimana tidak manusia memiliki posisi sangat spesifik dan terhormat, yaitu menjadi khalifah fil ardh. Posisi terhormat itu, antara lain dijelaskan dalam surah al-Baqarah, 2:30:
Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai khalifah di bumi.” Malaikat berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal mereka nantinya hanya akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih, memuji dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ayat tersebut menjelaskan, tujuan utama penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) adalah menjadi khalifah (pemimpin, pengelola, menejer) dalam kehidupan di bumi. Dalam tata bahasa Arab, kata khalîfah tidak merujuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Dengan demikian, semua manusia dari suku apa pun, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi sebagai khalifah dan akan mempertanggung-jawabkan tugas kekhalifahan itu kelak di hadapan Allah Swt.
Dalam konteks individual, tugas khalifah, antara lain mampu menata dan mengelola pikiran, hati dan syahwat. Pertama, mengelola dan menata pikiran agar selalu berfikir positif, tidak berfikir negatif sehingga terhindar dari perilaku buruk sangka dan terjauhkan dari semua perbuatan zalim yang mencederai sesama.
Kedua, mengelola hati atau qalbu agar selalu berprasangka baik kepada sesama manusia, selalu peduli dan punya rasa empati kemanusiaan sehingga ringan tangan menolong kelompok yang tertindas dan marjinal. Dengan mengelola hati kita akan memiliki passion atau kepedulian terhadap sesama, juga kepada sesama makhluk Tuhan.
Ketiga, mengelola syahwat agar mampu menghindarkan diri dari perbuatan tercela, seperti zina, incest, pedofili, pelecehan seksual, serta semua bentuk hubungan seksual yang tidak terpuji. Mengelola dan menata syahwat sangat penting diajarkan pada anak-anak, apalagi ketika mereka menjelang usia remaja. Sebab, pada masa pancaroba tersebut anak-anak menghadapi gempuran godaan dan rayuan, terlebih lagi melalui sosial media dan internet.
Dalam konteks sosial, tugas khalifah adalah amar ma’ruf nahy munkar (melakukan perbaikan moral masyarakat dengan upaya-upaya transformasi dan humanisasi). Upaya transformasi dan humanisasi maksudnya adalah upaya-upaya perbaikan dan peningkatan kualitas diri manusia ke arah yang lebih baik, lebih positif dan konstruktif.
Upaya transformasi dan humanisasi tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan edukasi, seperti pendidikan dan pelatihan, penyampaian informasi dan publikasi yang berguna, serta advokasi dalam bentuk mencerahkan masyarakat atau membela kelompok-kelompok yang mengalami penindasan dan perlakukan tidak adil, seperti kelompok miskin, minoritas, perempuan dan anak, difabel (kelompok cacat) dan Odha (penderita HIV/Aids) dan sebagainya.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh, yakni sebagai agen perubahan moral. Hanya satu kata kunci yang memungkinkan manusia: perempuan dan laki-laki mampu mempertanggungjawabkan fungsinya sebagai khalîfah. Kata kunci itu adalah ketakwaan, bukan keutamaan keturunan (nasab), jenis kelamin tertentu, dan bukan pula kemuliaan suku.
Tugas berat dan penting tersebut tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis yang lain melakukan hal sebaliknya. Sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan yang sama, laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’rûf nahyi munkar. Hal itu dijelaskan dalam ayat berikut:
Dan orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian lain. mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( al-Taubah, 9: 71)
Al-Qur’an sama sekali tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu. Tidak ada keistimewaan khusus bagi laki-laki atau perempuan, semua setara di hadapan Tuhan, yakni sama-sama sebagai hamba Allah dan sama-sama berfungsi sebagai khalifah Allah. Setiap orang akan diberi pahala sesuai amal kebaikan masing-masing, dan yang menilai perbuatan manusia hanya Allah semata, bukan manusia.
Musdah Mulia