|

Muslimah Reformis

Urgensi Kesehatan Reproduksi dan Hambatan-hambatan yang Kita Hadapi

Ayu Alfiah Jonas

Sebuah kasus tragis kematian bayi viral lewat akun Tiktok seorang bidan bernama Laelatul yang berdomisili di Lebak, Banten. Peristiwa ini menantang dua “data serius” sekaligus. Pertama, Angka Kematian Bayi (AKB) yang diklaim menurun oleh Pemerintah Provinsi Banten. Kedua, Indonesia yang baru-baru ini menjadi contoh negara yang berhasil menurunkan AKB di Konferensi Tingkat Global untuk Pneumonia Kedya yang diselenggarakan di Madrid, Spanyol. Satu kasus menutupi fakta-fakta baik. Hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Data terbaru dari Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan AKB di Indonesia. Awalnya, AKB mencapai 28, namun kemudian menurun menjadi 16,8 per 1.000 kelahiran hidup antara tahun 2010 dan 2021. Angka Kematian Ibu (AKI) juga mengalami penurunan, dari 346 pada tahun 2010 menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2021. Dengan pencapaian ini, diharapkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 2030 untuk mengurangi kematian bayi dapat tercapai. Mungkinkah capaian ini terealisasikan sementara masih banyak kasus AKB di masyarakat yang luput dari jangkauan kita?

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Saat datang ke Klinik Bidan Eha Atitah, kondisi ibu dan bayi masih dalam keadaan baik. Detak jantung bayi masih terdeteksi dan kadar hemoglobin dalam batas normal. Namun, ketuban sudah pecah dan bayi harus segera dilahirkan. Bidan telah melewati langkah pemantauan dan memberikan saran untuk merujuk pasien ke rumah sakit, tetapi keluarga menolak dan memilih pulang untuk menunggu proses persalinan normal.

Dalam video yang tersebar, bidan telah berusaha meyakinkan keluarga untuk membawa pasien ke rumah sakit. Pihak-pihak seperti Puskesmas dan Polsek setempat juga terlibat, tetapi keluarga tetap menolak rujukan ke rumah sakit. Upaya pembujukan terus dilakukan pada tanggal 12 Juni. Pada malam hari tanggal 13 dan 14 Juni, bidan tetap datang ke rumah pasien untuk memeriksa kondisi bayi. Namun, dalam dua hari terakhir, detak jantung bayi tidak terdengar lagi. Akhirnya, pasien melahirkan pada tanggal 15 Juni dan sayangnya, bayi yang dilahirkan meninggal dunia, kemungkinan karena meninggal dalam kandungan.

Yang sangat mengkhawatirkan dari peristiwa ini adalah fakta bahwa suami dan mertua pasien memaksakan kelahiran normal daripada operasi caesar. Meskipun ketuban sudah pecah dalam waktu yang lama dan membutuhkan tindakan segera, mereka menolak bantuan dengan sangat kasar. Dalam video yang beredar, keluarga pihak laki-laki menolak membawa pasien ke rumah sakit dan lebih memilih bantuan dari seorang dukun beranak yang dikenal sebagai Paraji. Padahal, ibu dari pihak perempuan sebenarnya sudah mengizinkan anaknya untuk dirujuk ke rumah sakit.

Mungkin ada beberapa faktor yang menjadi penyebab masalah ini, seperti masalah ekonomi dan kurangnya pengetahuan. Selain itu, ada juga kepercayaan bahwa melahirkan secara normal dianggap lebih terpuji daripada melalui operasi caesar. Namun, keduanya sama-sama berisiko bagi nyawa ibu. Tidak ada metode yang lebih baik atau lebih buruk. Kita perlu membuka mata dan menyadari bahwa situasi yang kita hadapi saat ini berbeda dengan sebelumnya. Dulu, kita tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi kehamilan dan memprediksi kesehatan ibu hamil. Namun sekarang, kita memiliki teknologi yang memungkinkan kita melakukannya.

Yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah mempercayai para bidan, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya yang berjuang untuk mewujudkan hak-hak reproduksi, terutama bagi perempuan. Mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memberikan perawatan yang aman dan tepat. Kita perlu meyakini bahwa mereka berusaha untuk melindungi keselamatan ibu dan bayi. Dalam menghadapi masalah kesehatan reproduksi, penting bagi kita untuk mendukung upaya mereka dan memberikan kepercayaan kepada mereka.

Hambatan-hambatan yang Kita Hadapi

Pertama, dari kasus di Lebak ini, anggapan umum di masyarakat tentang preferensi berdasarkan jenis kelamin seseorang masih menjadi pandangan mayoritas. Pada umumnya, laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan, dan bahkan ada kecenderungan untuk memprioritaskan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pola pikir semacam ini sudah mendarah daging dalam budaya kita dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan sehari-hari, termasuk pendidikan, ekonomi, politik, bahkan pemahaman agama.

Hal ini bisa kita lihat dalam realitas di sekitar kita. Misalnya, dalam dunia pendidikan, terkadang ada pemilihan kesempatan dan sumber daya yang lebih banyak diberikan untuk laki-laki ketimbang untuk perempuan. Di dunia pekerjaan, masih ada kesenjangan gender dalam hal pemberian upah dan kesempatan karir. Dalam konteks politik, perwakilan perempuan masih kurang dibandingkan dengan laki-laki.

Kedua, memang benar bahwa masih ada pandangan di masyarakat yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah. Masyarakat cenderung melihat perempuan dari segi fisik dan postur tubuhnya. Mereka menganggap bahwa perempuan memiliki tubuh yang lemah, kecil, dan tidak berdaya. Dalam kasus ini, kita bisa membayangkan betapa tak berdayanya pasien ketika seluruh keputusan berada di tangan suami dan mertuanya.

Ketiga, terlihat jelas bahwa masih ada masyarakat yang berpegang pada pandangan bahwa hamil dan melahirkan adalah tugas khusus untuk perempuan. Mereka percaya bahwa perempuan harus menerima penderitaan, kesakitan, dan bahkan risiko kematian sebagai bagian dari tugas reproduksi mereka. Pandangan ini dianggap sebagai sesuatu yang alami dan seharusnya ditanggung oleh perempuan.

Akibatnya, penanganan terhadap kesakitan dan penderitaan yang dialami selama kehamilan serta upaya untuk mengurangi angka kematian ibu melahirkan masih kurang mendapatkan perhatian serius dari masyarakat, termasuk dari perempuan sendiri. Kelahiran normal daripada operasi caesar masih menjadi perdebatan. Perempuan masih belum sempurna bila belum menjadi ibu.

Keempat, masih ada pandangan di masyarakat bahwa masalah pengaturan kehamilan atau Keluarga Berencana (KB) sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan saja. Masyarakat masih kurang menyadari bahwa fungsi manusia dalam melanjutkan keturunan seharusnya menjadi tugas suci yang dibagikan antara laki-laki dan perempuan, bukan hanya menjadi tugas tunggak di mana hanya perempuan yang sepenuhnya bertanggung jawab.

Mengatasi keempat hambatan ini adalah tugas bersama kita sebagai masyarakat. Penting untuk mempromosikan kesetaraan gender, menghormati hak dan kepentingan perempuan serta anak perempuan, dan membangun kesadaran akan pentingnya penghapusan diskriminasi gender di semua aspek kehidupan kita.

Kita Semua Memiliki Hak-hak Reproduksi

Kesehatan adalah hak dasar yang penting bagi semua orang dan merupakan bagian integral dari kebahagiaan yang ingin dicapai oleh masyarakat Indonesia. Ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Salah satu aspek yang sangat penting dalam kesehatan adalah kesehatan reproduksi.

Kesehatan reproduksi mencakup kesehatan secara menyeluruh, baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau masalah fisik pada sistem reproduksi pria dan wanita, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Setiap individu berhak menerima pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif, dan terjangkau, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Pelayanan kesehatan reproduksi mencakup berbagai aspek, termasuk kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan dan penanganan infeksi menular seksual seperti HIV dan AIDS, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan masalah yang timbul akibat aborsi, serta isu-isu lain seperti infertilitas, kesehatan reproduksi pada usia lanjut, deteksi dini kanker pada saluran reproduksi, dan juga isu-isu seperti kekerasan seksual dan sunat perempuan.

Membahas tentang hak-hak reproduksi berarti membahas tentang berbagai aspek yang melibatkan hubungan antara perempuan dan laki-laki, baik dalam konteks domestik maupun publik. Lebih spesifik, pembahasan mengenai hak-hak reproduksi berfokus pada masalah perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan, dan pengasuhan anak. Ini juga termasuk diskusi mengenai aborsi, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, KB beserta metode kontrasepsi dengan segala permasalahannya, serta masalah perilaku seksual.

Data kesehatan yang memiliki perspektif gender masih jarang ditemui. Namun, melakukan analisis gender dalam bidang kesehatan adalah hal yang mendesak. Mengapa? Karena, data dan informasi yang diperoleh akan sangat membantu dalam merencanakan intervensi yang tepat, terutama untuk menarik perhatian pemerintah dalam menangani kasus-kasus kesehatan reproduksi.

Penelitian sosial yang melibatkan faktor-faktor non-medis dan non-biologis harus dilakukan secepatnya untuk menjelajahi fenomena kematian ibu. Sementara itu, untuk kepentingan para ibu dan perempuan pada umumnya, sangat penting untuk menyediakan informasi yang akurat dan memadai mengenai pelayanan kesehatan. Kualitas hidup perempuan yang rendah mendorong perlunya upaya pemberdayaan perempuan. Perempuan dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan peran mereka dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat dan negara.

Di beberapa negara seperti Swedia dan Norwegia, telah diciptakan peluang khusus, misalnya melalui affirmative action, untuk meningkatkan peran perempuan. Hasilnya, representasi perempuan dalam hampir semua bidang kehidupan sosial, kebangsaan, dan pemerintahan sangat signifikan. Namun, di negara-negara berkembang, terutama di wilayah dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam seperti Indonesia, upaya pemberdayaan perempuan tidak selalu berjalan mulus karena masih ada banyak hambatan yang harus diatasi.

Seberapa kuat kita melawan hambatan-hambatan tersebut?

*Beberapa poin dalam tulisan dikembangkan dari buku Muslimah Reformis for Millenial (2021) bagian Lindungi Hak Kesehatan Perempuan.