|

Muslimah Reformis

Urusan Dapur: Antara Kodrat Perempuan Ataukah Konstruksi Sosial?

“Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, karena kodratnya di dapur, sayang jika sekolah tinggi-tinggi tapi tidak bekerja!” jawab seorang ibu ketika saya tanya soal alasan mengapa tidak menyekolahkan anak perempuannya sampai jenjang kuliah padahal secara ekonomi cukup mapan. Saya rasa jawaban seperti ini banyak kita temui di berbagai kalangan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.

Pertanyaannya bagaimana bisa urusan ‘dapur’ dilekatkan dengan kodrat perempuan? bukankah laki-laki juga bisa melakukannya? Bahkan keduanya bisa saling bekerja sama untuk mengurusnya. Pun soal berpendidikan tinggi tidak melulu juga harus bekerja setelahnya, perempuan boleh memilih untuk mengurus domestik selama itu menjadi pilihan sadar perempuan atas dasar kesalingan dalam keluarga.

Yang salah justru anggapan bahwa itu sebuah ‘kodrat’ yang tidak bisa diganggu gugat oleh perempuan, karena pemaknaan kodrat perempuan pada urusan domestik sangatlah keliru. Sama halnya seperti ungkapan kalimat ‘perempuan lemah’ atau ‘perempuan irasional’ dan banyak lagi.

Kebanyakan masyarakat selalu melekatkan perempuan dengan sifat feminin, sehingga sering diasosiakan pada pekerjaan ranah domestik seperti merawat anak, memasak dan membereskan rumah. Begitu pun dengan laki-laki, selalu dilekatkan pada sifat maskulin, seperti ‘laki-laki pemberani’ atau ‘laki-laki kuat’ dan banyak lagi. Sehingga sering diasosiasikan pada pekerjaan publik, seperti bekerja, urusan politik dan lain-lain.

Padahal baik itu sifat maskulin ataupun feminin, tidak sama sekali melekat pada salah satu jenis kelamin, keduanya milik siapa saja  baik itu perempuan ataupun laki-laki yang dikonstruk oleh masyarakat menjadi feminin atau maskulin. Namun pada dasarnya setiap manusia memiliki sisi feminin atau maskulinnya. ‘Apakah perempuan baperan?’ Ada yang baperan, tapi tidak semuanya dan itu tidak bisa digeneralkan.

Kekeliruan tersebut tidak terlepas dari pemaknaan ‘kodrat’ yang salah kaprah, dimana hal-hal yang sebenarnya konstruk tapi dimaknai sebagai pemberian Tuhan yang tidak bisa digaganggu gugat. Salah satu contohnya seperti istilah “kodrat perempuan itu di dapur” atau “kondrat perempuan itu dipimpin”. Lalu apakah sebenarnya makna kodrat perempuan?.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata kodrat setidak-tidaknya terkait dengan (1) Kekuasan (Tuhan); (2) Hukum alam (3); Sifat asli/bawaan. Maka arti kata ‘Kodrat’ adalah hal-hal yang melekat pada seseorang sejak lahir, bukan hal yang dilekatkan orang lain. Berarti kodrat perempuan adalah hal-hal yang berkaitan dengan organ reproduksi perempuan, yaitu hanya melahirkan, menyusui, menstruasi, nifas dan mengandung.

Kekeliruan dalam memaknai ‘kodrat’ perempuan, tidak terlepas juga dari anggapan bahwa seks sama dengan gender, ataupun anggapan gender berkaitan erat dengan seks. Padahal keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan tidak saling berkaitan. Kebanyakan masyarakat jika diatanya soal “seks itu apa?” dan “gender itu apa?” jawabannya sama yaitu “jenis kelamin”, jadi bagaimana sebenarnya perbedaan keduanya?.

Seks adalah perbedaan perempuan dan laki-laki dilihat dari struktur tubuhnya (biologis), sifatnya pemberian dari Tuhan. Misalnya laki-laki memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperi rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki sel telur, dan memiliki vagina.

Gender merupakan perbedaan perempuan dan laki-laki dilihat dari peran sosialnya, sifatnya konstruk dari masyarkat. Misalnya laki-laki bekerja dan perempuan mengurus domestik, karena ini adalah konstruk sosial maka bisa berubah dan diubah.

Jadi kesimpulannya seks dan gender adalah dua hal yang berbeda dan tidak saling berhubungan. Maka artinya seks (jenis kelamin) tidak bisa menjadi acuan gender (peran sosial), karena jika hal tersebut terjadi maka akan timbul ketidakadilan gender, dimana segala bentuk peran sosial didasari pada ‘ia memiliki penis atau vagina’. Bukankah lebih adil jika melihat peran sosial berdasarkan kemampuan personalnya?.

Sebenarnya tidak ada masalah dalam hal pembagian peran sosial jika didasari pada ‘akses pilihan yang setara’ antara perempuan dan laki-laki. Namun yang sering terjadi, pembagian peran sosial tersebut didasari pada jenis kelamin biologis, perempuan haru A tok dan laki-laki haru B tok, sehingga menimbulkan ketidakadilan gender pada perempuan seperti marginalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, pelebelan buruk, dan kekerasan.

Jadi dari dulu sampai sekarang kodrat perempuan itu hanya lima, yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, nifas dan menyusui. Selain dari itu adalah konstruk sosial, termasuk memasak dan merawat anak. Jika masih ada anggapan bahwa ‘kodrat perempuan itu di dapur’ sesungguhnya dia tidak paham makna kodrat sebenarnya.

Oleh: Hoerunnisa

Editor: Wiwit Musaada