|

Muslimah Reformis

Wellbeing: Seni Bertahan Hidup di Masa Quarter Life Crisis

Quarter life crisis marak diperbincangkan oleh generasi yang akrab disebut echo boomers, lahir pada tahun 1990 hingga awal tahun 2000. Hal itu ditandai dengan peningkatan penggunaan media komunikasi dan teknologi digital. Namun, di masa transisi dari remaja menuju dewasa tersebut, mereka yang berusia 20-30 tahun mengalami krisis emosi atau sering disebut quarter life crisis. Fenomena itu cukup mengkhawatirkan, karena dominasi akan perasaan khawatir dan cemas dalam diri seseorang dapat menyebabkan stres bahkan depresi. Misalnya perasaan khawatir akan relasi, pekerjaan, kehidupan sosial, bahkan sesuatu yang belum terjadi.

Sebuah penelitian dari Gardens & Stapleton tahun 2012 mengenai quarter life crisis, menjelaskan bahwa tantangan besar yang dialami kelompok pada fase ini ialah seputar identitas, tekanan dari dalam diri sendiri, perasaan akan ketidakpastian, dan depresi. Melalui berbagai pengalaman yang saya temui, ketika membaca cerita teman-teman melalui postingan di media sosial misalnya ada yang galau dengan tujuan hidup, bingung dengan masa depan yang tidak tahu mau apa dan jadi apa, ragu dengan tanggung jawab yang datang sebagai orang dewasa, ingin punya mimpi tapi usahanya belum jelas, juga gelisah karena takut apa yang diinginkan tidak sesuai dengan ekspektasi. Dan masih banyak lagi cerita tentang masa quarter life crisis.

Quarter Life Crisis di Kaum Milenial

Salah satu penyebab krisis yang muncul pada milenial ialah teknologi yang membuat kemudahan dalam mengakses kehidupan dan informasi seseorang di media sosial. Hal ini menyebabkan individu sering tidak percaya diri dan cenderung membandingkan dirinya dengan yang dilihat dari media sosial saja. Padahal media sosial bukan satu-satunya cermin dari kehidupan seseorang.

Ketersediaan akses untuk melihat kehidupan orang lain, tidak membuat seseorang di masa quarter life crisis menguatkan potensi dirinya. Justru semakin membuat khawatir dengan hidupnya selama ini. Ketidakselarasan antara apa yang terjadi di publik atau eksternal diri yang kadang membuat individu pada fase ini menjadi tertekan sesuai dengan teori Billings, Hauser, dan Allen. Selain dipengaruhi oleh perkembangan ego, ekspektasi terhadap standar orang lain membuat rendahnya tingkat kepercayaan diri sendiri dan memaksa untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya.

Positive Mental Health untuk Mewujudkan WellBeing

Fase krisis yang cenderung lama salah satunya diakibatkan oleh rendahnya tingkat wellbeing. American Psychological Association (APA) mendefinisikan wellbeing sebagai keadaan seseorang yang memiliki rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental serta menjaga kualitas hidup yang baik. Individu yang memiliki wellbeing tinggi akan menjaga kesehatan mental dan fisik agar mampu mengatasi tantangan, mencapai kebahagiaan dan kepuasan dalam hidupnya.

Wellbeing menjadi salah satu alternatif seseorang membangun positive vibes melalui pengalaman masing-masing. Lebih lanjut sebagai penegasan terhadap diri sendiri bahwa apa yang dilakukan selama ini sudah cukup optimal. Dengan begitu seseorang akan mendapatkan perasan puas akan outcomes dari kerja keras dan usaha yang selama ini dilakukan.

Upaya untuk mengelola wellbeing dapat dilakukan dengan beberapa hal misalnya, Pertama, menjalin hubungan dengan orang lain. Erick Erikson dalam teori perkembangan Psikososial menyatakan adanya fase perkembangan intiman versus isolasi (intimacy versus isolation) di usia 20 an hingga 30 an tahun. Pada masa ini, individu menghadapi tugas perkembangan yakni membentuk hubungan akrab dengan orang lain. Keintiman tersebut digambarkan dengan penemuan jati diri sekaligus kehilangan diri dalam diri orang lain. Jika para milenial membentuk pertemanan yang sehat dan hubungan akrab dengan orang lain, keintiman akan tercapai, jika tidak, akibatnya adalah isolasi diri. Di masa quarter life crisis hubungan akrab juga dilakukan dengan berbagi pengalaman positif sehingga dapat memberi dukungan emosional.

Kedua, menjaga kesehatan fisik. Aktivitas fisik melalui olahraga dapat membantu tubuh mengelola suasana hati. Alison Woolery, seorang pakar kesehatan dari University of California, Los Angeles pun menunjukkan bahwa tiga belas dari 28 orang yang diteliti mengalami penurunan depresi secara signifikan berkat olahraga.

Ketiga, Mindfulness. Ia merupakan praktik yang membuat seseorang dapat lebih fokus terhadap situasi saat ini dan menerimanya tanpa menghakimi. Bishop dkk (2004) menunjukkan bahwa tingginya tingkat mindfulness dapat meningkatkan penerimaan diri dan menurunkan stres. Mindfulness juga dapat mengarahkan individu untuk berpikir mindful pada diri mereka secara sadar terkait masa kini dan memiliki penilaian yang matang dari keadaan sekitar. Dalam mindfulness, seseorang juga memperhatikan keadaan dan reaksi dirinya, sehingga mampu untuk mendeskripsikan pengalaman meski tanpa mengelaborasinya. Selain itu, dasar dari wellbeing ialah kebersyukuran (gratitude) artinya rasa syukur atas segala sesuatu yang telah atau belum diperoleh sehingga akan meningkatkan kebahagiaan saat ini dan harapan di masa yang akan datang.

Referensi :

Bishop, S., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, L., Anderson, N., Carmody, J., Segal, Z.V., Abbey, S., Speca, M., Velting, D., & Devins, G. (2004). Mindfulness: A proposed operational definition. Clinical Psychology:Science and Practice, (11): 230-241.

Stapleton , A., & Gardens, Q. L. (2012). Choaching Client through the Quarter Life Crisis What works? International Jurnal of Evidance Based Choaching and Mentoring(6), 131-145.

Suyono, T. A., Kumalasari, A. D., & Fitriana, E. (2021). Hubungan quarter-life crisis dan subjective well-being pada individu dewasa muda. Jurnal Psikologi, 14(2). 301-322.

Wahyudi, Adjie Pratama, Chung, Natasha. Salim, Varent Agustina, Rahmah, Dian Dwi Nur. (2020). Mindcast: Mindfulness podcast Meningkatkan Mindfulness Pada Burn-Out millennial Generation. Borneo Student Research. (1) 3. 1403-1408.