|

Muslimah Reformis

Wisata Religi ke Bali

Dengan langkah terburu-buru aku pulang ke rumah. Tak sabar rasanya menyampaikan berita gembira kelulusanku, apalagi dengan nilai lebih baik dari nilai semester sebelumnya. Ibu dan ayahku sedang santai di ruang keluarga, begitu masuk aku langsung memeluk keduanya dengan kegembiraan yang meluap.

“Tami, ayah dan ibu sangat gembira kamu lulus SMP, dan hadiahnya adalah… liburan ke Bali.

Mendengar kata Bali, aku serasa terbang ke langit, sudah sekian lama kuimpikan pergi ke Pulau Dewata yang keindahannya hanya dapat kusaksikan lewat film dan video, Tami membatin.

Ibu kemudian melanjutkan: Kakak sepupumu, Topan sudah menunggu di Bali.

Pesawat yang kutumpangi mendarat di bandara I Gusti Ngurah Rai yang terletak di Denpasar, ibu kota Provinsi Bali. Topan dan adiknya Rara sudah menunggu di Pintu Kedatangan. Topan murid kelas 3 SMA, dia sangat aktif di organisasi pemuda, Youth for Peace, sebuah organisasi yang aktif mengampanyekan nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan. Adapun Rara sepantaranku, baru lulus SMP. “Tami, saya ingin membawamu keliling kota sebelum ke rumah agar bisa menyaksikan indahnya kota ini.” Tami pun merasa gembira karena memang itu yang diimpikannya dari dulu.

Begitu melewati bangunan dengan simbol keislaman, Tami melirik Rara, heran, kok di Bali ada Masjid? Aku kira di sini cuma ada Pura karena mayoritas penduduknya beragama Hindu. “Itulah uniknya Bali, meski mayoritas penduduknya beragama Hindu, namun agama lain dapat hidup dan berkembang tanpa rintangan. Masjid berdiri dengan berdampingan dengan Gereja, Vihara, Kelenteng dan Pura. Kak Topan sering mengajak saya ke acara-acara kaum muda maupun kegiatan keagamaan di berbagai rumah ibadah tersebut.” Tanpa diminta Rara menjelaskan.

Tami penasaran, lalu bertanya: apakah sebagai penganut Islam, boleh berkunjung ke rumah-rumah ibadah agama lain? Sambil tertawa Topan menjawab santai: tentu saja boleh. Rumah-rumah ibadah itu dibangun untuk tujuan kebaikan, antara lain agar manusia lebih mengenal Tuhan dan lebih giat melakukan amal kebajikan untuk kemaslahatan semua manusia, bahkan semua makhluk. Jadi, tidak ada larangan bagi siapa pun berkunjung ke rumah-rumah ibadah tersebut.

Tapi, kata ustadku, berkunjung ke rumah ibadah lain akan merusak akidah dan iman, ucap Tami.

Topan kali ini tak kuasa menahan tawanya sehingga terpingkal-pingkal. Rara pun menimpali, akidah dan iman kita menjadi rusak bukan karena berkunjung ke rumah ibadah, melainkan karena tak mampu mengontrol diri sehingga melakukan hal-hal yang dilarang agama, seperti memfitnah, menebar hoaks, mencuri, membunuh, membully, menipu, menghasut, memecah-belah persatuan dan melakukan hal-hal yang mencederai kehormatan seseorang. Hati Tami tersentuh mendengar penjelasan Rara.

Mobil tiba-tiba berhenti di depan sebuah patung besar. Bagai seorang pemandu, Topan menjelaskan: ini Patung Garuda Wisnu Kencana, sangat disakralkan umat Hindu, pembuatannya saja memakan waktu sekitar 28 tahun dikerjakan oleh seniman terkenal, Nyoman Nuarta. Turis dari seluruh dunia merasa wajib mengunjungi patung legendaris ini. Tami merasakan perasaan sejuk dan damai menatap patung Garuda tersebut. Setelah puas berfoto di sana, Topan memutar mobilnya mengarah ke rumah, dan orang tuanya sudah menunggu makan siang bersama.

Ayooo.. Tami istirahat dulu ya, sore nanti saya akan membawamu ke pesantren. Ahhh… yang benar kak, apa ada pesantren di Bali? Tanya Tami keheranan. “Jangan salah, meski Bali mayoritas beragama Hindu terdapat puluhan pesantren di sini” jawab Topan.

Sorenya, mereka bertiga sudah berada di dalam Pesantren Bina Insani berlokasi di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Mayoritas penduduk desa ini beragama Hindu dan itu tak menghalangi aktivitas pesantren. Terdapat 73 orang guru, 16 guru di antaranya beragama Hindu. Kebiasaan bertoleransi yang berkembang di Pesantren terbentuk sejak awal didirikan tahun 1990 oleh H. Ketut Immaduddin Djamal. Tami merasa asing mendengar nama pendirinya. Baru kali ini dia mendengar nama Ketut pakai haji. Tami, lalu sepuasnya berfoto di seluruh sudut pesantren. Dia ingin memiralkan foto-foto tersebut, paling tidak di lingkungan teman-temannya, agar tahu Bali bukan hanya destinasi wisata, tapi juga tempat kerukunan umat beragama.

Malam ini Tami tidur pulas, bukan hanya karena mencicipi aneka kuliner Bali yang terkenal lezat, tapi juga jiwanya seakan merasa “kenyang”. Keseokan harinya, Tami hanya pergi berdua dengan Topan, Rara ada acara di kelompok tari. Saya ingin membawamu berziarah ke masjid tertua di Bali. Tak berapa lama mereka sudah tiba di Masjid Nurul Huda, bangunan kokoh di tengah kampung Gelgel, Kabupaten Klungkung. Ini merupakan masjid pertama dan tertua di pulau Bali dibangun abad ke -14. Artinya, lima abad sebelum lahirnya negara Indonesia, masjid itu sudah ada. Tami tak hentinya berdecak kagum melihat keindahan interior masjid kuno itu.

Aku juga mau ke Gereja Kak Topan, ujar Tami. Yakin kamu mau ke Gereja?, gak takut ya imannya kendur? Topan sengaja menyindir. Ahhh… biasa saja, ibu pernah mengajakku ke Gereja ketika perkawinan puteri sahabatnya. Baiklah, kebetulan kakak mau mengarah ke sana, menghadiri ulang tahun sahabat lama, kata Topan. Karena jaraknya agak jauh, tanpa sengaja Tami tertidur pulas. Ayoo bangun…. kita sudah di depan Gereja. Tami mengusap matanya, dan segera terbaca tulisan: Paroki Tritunggal Mahakudus, Tuka.

Sebuah Gereja Katolik Roma berlokasi di Kabupaten Badung, diresmikan pada 14 Februari 1937.

Wahhh… sama tuanya dengan masjid tadi, sama-sama berdiri abad ke-14. Alangkah hebatnya para leluhur kita, sejak dahulu kala sudah mengenal beragam agama dan bisa lho mereka hidup rukun, damai, penuh penghormatan satu sama lain, kata Tami lirih.

Sesampai di rumah, ibu Topang menyambutnya di pintu, bagaimana plesirannya? Wahh….sangat menyenangkan tante, rasanya aku bukan pelesiran biasa, melainkan wisata religi. Rara segera menemui mereka dan mengajak makan malam. Ini ada bakso enak! Tami cobain deh pasti kepingin makan dua kali. Kelihatannya sih enak banget, apa istimewanya bakso ini?. Rara segera menjelaskan, bakso ini terbuat dari ikan segar, tidak terbuat dari daging sapi. “Kami di rumah ini sengaja tidak mengkonsumsi daging sapi sebagai bentuk solidaritas terhadap penganut Hindu.

“Sikap menghargai dan toleransi tidak bisa hanya diwacanakan, melainkan dipraktekkan dalam kehidupan bersama.” Terdengar penjelasan ibu Rara. Selain itu, ibu Rara lanjut menjelaskan: kami juga menghormati Hari Raya Nyepi, hari besar keagamaan bagi umat Hindu yang jatuh pada tahun baru Saka. Pada hari tersebut masyarakat Hindu berhenti dari semua kegiatan, umat Hindu menjalani Catur Brata penyepian dengan empat pantangan yaitu Amati Karya (tidak bekerja), Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Kami pun tanpa dipaksa berusaha mengikuti ajaran tersebut dengan penuh sukarela.

Setelah beberapa tahun mengamalkan hari Nyepi di sini, saya sadar bahwa kita manusia memang memerlukan jeda, semacam waktu untuk hening, meditasi dan introspeksi diri, serta berpikir kritis secara mendalam untuk mengevaluasi tujuan hidup di dunia. Dalam ajaran Islam dikenal muhasabah, semacam introspeksi diri agar manusia semakin mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Saya tidak perlu pindah agama untuk merayakan hari Nyepi, saya cukup merenungkan makna dan menghayati tujuan hari Nyepi yang secara substansial juga diajarkan dalam semua agama, termasuk Islam. Penjelasan ibu Rara sungguh membekas di hatiku, terimakasih Tuhan yang mempertemukan aku dengan orang-orang yang berpikiran terbuka dan toleran ini.

Tami, besok kita ke sanggar tari ya.., kamu juga harus belajar menari Bali. Manfaat tari sungguh luar biasa untuk kesehatan dan kelenturan tubuh sehingga bisa selalu segar dan bugar, baik jasmani maupun ruhani. Demikianlah berhari-hari Tami fokus mempelajari tari Bali, awalnya dia sangat kaku bergerak, tapi berkat kesungguhannya belajar kini Tami sudah menguasai tari Janger. Tarian khas Bali ini biasanya dilakukan anak-anak muda, para penari asyik mendendangkan nyanyian dengan judul yang sama dengan tariannya, yakni Janger. Lirik lagu Janger diadaptasi dari lagu sanghyang yang penuh kesakralan. Penari berpasang-pasangan, sekitar 10-15 pasang anak muda.

Sebelum kembali ke Jakarta, Tami harus ikut ke pantai Kuta. Organisasi kami besok akan menanam pohon bakau, ujar Topan dari ruang tamu. Topan menjelaskan: hutan bakau amat berguna untuk menjaga kelestarian pantai karena dapat mencegah abrasi dan erosi, mencegah intrusi air laut, tempat hidup satwa dan membantu pembentukan pulau. Tami merasa malu karena tidak mengerti banyak istilah yang disebutkan Topan terkait bakau, namun dia yakin maknanya pohon bakau itu penting. Dalam hati dia berjanji untuk belajar lebih banyak terkait lingkungan.

Tami kembali ke Jakarta karena liburan pun sudah berakhir. Hari pertama di sekolah, guru bertanya kepada murid-murid, apa saja yang kalian lakukan selama liburan? Tami mengangkat tangan lalu menjawab, liburan ke Bali bu guru! Maukah engkau bercerita tentang liburan itu agar teman-temanmu dapat pengetahuan tentang Bali. Ohhh… siap bu guru, kebetulan aku sudah menuliskan cerita tentang liburan dan tinggal membacanya sekarang.

Cerita Tami disambut antusias oleh seluruh murid, ruang kelas menjadi hening, sesekali terdengar decak kagum, dan begitu selesai, terdengar gemuruh tepuk tangan dari bu guru dan seluruh isi kelas. Cerita yang sangat inspiratif, penuh dengan pesan-pesan moral perdamaian, puji bu guru.

Dia pun melanjutkan: “Saya akan mengusulkan agar cerita ini menjadi bacaan wajib di sekolah.”

Wajah Tami berseri-seri penuh kegembiraan, alhamdulillah.