|

Muslimah Reformis

Muslimah Mendobrak Bias

Judul Buku: Muslimah Mendobrak Bias

Editor: Prof. Dr. Siti Musdah Mulia
Penerbit: PT. Harkis Zaman Baru
Tahun Terbit: 2020
Jumlah Halaman: 491
ISBN: 978-623-98954-2-6

🧭 Tujuan Buku

Buku ini merupakan karya para peserta pelatihan Kepemimpinan Perempuan Muslimah Reformis yang diadakan selama dua tahun (2019-2020). Istilah mendobrak diambil dari slogan Peringatan International Women’s Day 2020. Bahwa perempuan harus berani mendobrak semua hal yang membelenggu kemerdekaannya menjadi manusia utuh. Tentu saja dalam upaya mendobrak itu perlu selalu mempertimbangkan cara-cara damai penuh keadaban.

Buku Muslimah Mendobrak Bias yang disunting oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia merupakan karya kolektif yang mengartikulasikan perlawanan intelektual terhadap bias patriarkal dalam pemahaman Islam. Melalui pendekatan hermeneutik feminis, para penulis dalam buku ini melakukan ijtihad progresif untuk menafsir ulang ajaran-ajaran agama agar sejalan dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Artikel ini merefleksikan isi dan semangat buku tersebut, serta menyoroti pentingnya keterlibatan perempuan dalam menafsirkan teks agama dan membangun wacana Islam yang membebaskan.

Wacana keislaman di Indonesia, sebagaimana di banyak negara Muslim lainnya, masih banyak diwarnai oleh tafsir-tafsir patriarkal yang membatasi peran dan hak-hak perempuan. Dalam banyak kasus, ajaran agama dijadikan legitimasi untuk mempertahankan ketimpangan struktural, seperti poligami, kekerasan domestik, pernikahan anak, dan marginalisasi perempuan dari ruang publik. Buku Muslimah Mendobrak Bias hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketimpangan ini, dengan menawarkan perspektif baru dalam menafsirkan Islam secara kritis, adil gender, dan kontekstual.

Perempuan harus mendobrak budaya patriarki dan tafsir misoginis karena keduanya adalah bentuk ketidakadilan yang menodai agama dan merendahkan martabat manusia. Islam yang adil, spiritualitas yang etis, dan masyarakat yang damai hanya bisa dibangun jika perempuan berdiri sebagai subjek aktif dalam menafsirkan ajaran agama dan membentuk budaya yang berkeadilan gender.

Buku ini merupakan karya kolektif yang bertujuan:

  • Menantang dan membongkar bias-bias gender yang telah mengakar dalam pemahaman keagamaan dan budaya masyarakat Muslim.
  • Menyuarakan pentingnya penafsiran Islam yang adil gender, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  • Memberikan ruang bagi suara perempuan Muslim untuk menyuarakan pandangan mereka atas persoalan sosial, hukum, agama, dan kehidupan keluarga.

🧩 Struktur dan Isi Pokok Buku

Buku ini terdiri dari sejumlah esai/karya ilmiah dari berbagai kontributor, yang terbagi dalam beberapa tema besar, antara lain:

  1. Teologi Keadilan Gender

Membahas bagaimana konsep Tuhan dalam Islam harus dipahami secara adil dan tidak membenarkan dominasi laki-laki. Mengkritisi tafsir-tafsir keagamaan yang menormalisasi ketimpangan gender.

  1. Keluarga, Perkawinan, dan Relasi Gender

Meliputi kritik terhadap praktik patriarki dalam rumah tangga, seperti poligami, kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan anak, dan subordinasi perempuan dalam institusi pernikahan.

  1. Perempuan dalam Ranah Publik

Mendorong partisipasi perempuan dalam politik, kepemimpinan keagamaan, dan ruang publik lainnya. Buku ini menolak tafsir-tafsir yang membatasi perempuan hanya di ruang domestik.

  1. Tafsir dan Hukum Islam

Mengajukan reinterpretasi terhadap teks-teks agama (Qur’an dan hadis) yang sering dimaknai secara bias terhadap perempuan. Mengusulkan pendekatan hermeneutik kontekstual dan pengalaman hidup sebagai sumber tafsir alternatif.

  1. Pendidikan dan Budaya

Mengedepankan pentingnya pendidikan kritis untuk membentuk kesadaran gender. Menggugat budaya patriarkal yang membentuk stereotip negatif terhadap perempuan.

Mengapa Perempuan Harus Mendobrak Budaya Patriarki dan Tafsir Misoginis?

1. Karena patriarki merusak martabat kemanusiaan perempuan

Budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior—lemah, tak berdaya, dan hanya pantas berada di ranah domestik. Dalam banyak masyarakat, hal ini telah menggerus hak-hak perempuan untuk menentukan pilihan hidupnya, mengekspresikan spiritualitasnya, dan berpartisipasi secara setara dalam ruang publik. Para penulis buku ini dengan tegas menyatakan bahwa patriarki adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip dasar kemanusiaan, yakni kesetaraan dan martabat.

“Para Muslimah Milenial Reformis mengeritik pedas betapa hancurnya peradaban manusia akibat terkikis oleh budaya patriarki sehingga menggerus kemanusiaan perempuan, baik di ranah domestik maupun publik.”

2. Karena tafsir misoginis lahir dari bias, bukan wahyu

Banyak ajaran keagamaan yang diterima secara turun-temurun ternyata bukan bersumber dari wahyu murni, melainkan tafsir para ulama laki-laki yang hidup dalam sistem patriarki. Tafsir ini sarat bias, misalnya soal kepemimpinan perempuan, hak waris, ketaatan istri, bahkan tentang legitimasi kekerasan rumah tangga. Buku ini menyatakan perlunya membangun kesadaran kritis dan literasi agama berbasis keadilan untuk melawan semua bentuk penafsiran yang tidak humanis terhadap perempuan.

“Bias juga harus dilawan dengan kesadaran tentang kesetaraan manusia sebagai prinsip dasar penciptaan dan kekhalifahan manusia laki-laki dan perempuan.”

3. Karena bias gender adalah pandemi global

Musdah Mulia menyebut bahwa bias berbasis gender, terutama terhadap perempuan, telah menyebar seperti pandemi. Ia bukan sekadar prasangka, tapi telah menjadi struktur yang mengatur sistem sosial, hukum, dan bahkan institusi keagamaan. Maka mendobrak bias bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan dan mencegah kekerasan yang lebih besar.

“Bias berbasis gender merupakan kejahatan dan pengkhianatan kepada manusia dan kemanusiaan.”

4. Karena Islam adalah agama yang membebaskan, bukan membelenggu

Buku ini mengusung semangat reinterpretasi Islam sebagai agama yang menebar kasih sayang, keadilan, dan kedamaian. Budaya patriarki dan tafsir misoginis bertentangan dengan misi dasar Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mendobrak keduanya berarti mengembalikan Islam ke ruh awalnya: agama yang membela mereka yang tertindas dan termarjinalkan.

“Agama harus menjadikan umat manusia lebih damai, sejahtera, dan bahagia, bukan sebaliknya.”

5. Karena perubahan tidak akan terjadi tanpa perempuan menjadi subjek tafsir

Perempuan harus mengambil posisi sebagai penafsir, pembuat keputusan, dan pemimpin gerakan keagamaan. Selama perempuan hanya menjadi objek dari tafsir yang dibuat laki-laki, maka suara dan pengalaman mereka akan terus diabaikan. Buku ini menyerukan pentingnya membentuk generasi Muslimah Reformis—yakni perempuan yang aktif, kritis, spiritual, dan berani menantang ketidakadilan.

“Jadilah Muslimah Reformis, agen moral yang menebar nilai-nilai kemanusiaan untuk rahmatan lil ‘alamin.”

6. Karena mendobrak bias adalah bentuk ibadah dan jihad moral

Gerakan melawan tafsir misoginis bukan sekadar aksi sosial, melainkan juga bentuk jihad intelektual dan spiritual. Dalam Islam, memperjuangkan keadilan adalah bagian dari ibadah. Maka setiap Muslimah yang mendobrak bias sedang menjalankan tugas sucinya sebagai khalifah di muka bumi.

 Kesimpulan

 

💬 Karakteristik Khas Buku Ini

  • Ditulis oleh para aktivis, akademisi, dan praktisi Muslimah progresif.
  • Pendekatannya berbasis feminisme Islam—yakni tafsir kritis yang tetap berakar pada nilai-nilai keislaman.
  • Menggunakan bahasa yang lugas, argumentatif, dan kontekstual.
  • Mengusung semangat ijtihaddan pembaruan dalam wacana keislaman.

🌱 Nilai Strategis

Buku ini penting:

  • Sebagai bahan ajar dan advokasi dalam pendidikan keislaman yang adil gender.
  • Sebagai dokumentasi pemikiran perempuan Muslim yang mendobrak hegemoni tafsir patriarkal.
  • Sebagai inspirasi gerakan sosial untuk keadilan dan kesetaraan di ruang-ruang keagamaan dan sosial.

 

Teologi Feminis Islam: Menafsir Tuhan secara Adil

Salah satu kontribusi paling penting dalam buku ini adalah dekonstruksi terhadap konsep ketuhanan yang selama ini dipahami secara maskulin. Para penulis mengajak pembaca untuk memahami bahwa Tuhan dalam Islam adalah Maha Adil dan tidak berpihak pada jenis kelamin tertentu. Dengan pemahaman ini, segala bentuk ketidakadilan atas nama agama menjadi tidak sah. Tafsir terhadap teks-teks suci harus selalu mengacu pada prinsip moral Islam yang utama: keadilan, kasih sayang, dan kesetaraan.

Membongkar Hegemoni Patriarki dalam Hukum Keluarga

Banyak bab dalam buku ini menyoroti persoalan relasi gender dalam keluarga. Kritik dilontarkan terhadap norma-norma hukum Islam klasik—termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI)—yang melegitimasi dominasi laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga. Praktik poligami, kewajiban taat istri, dan pelarangan istri bekerja menjadi contoh konkret dari bias struktural yang dijustifikasi oleh tafsir keagamaan. Penulis-penulis dalam buku ini mengusulkan reinterpretasi berbasis maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan luhur syariat) yang menjunjung keadilan dan maslahat.

Politik Pengetahuan: Mengapa Perempuan Harus Menafsir?

Muslimah Mendobrak Bias juga merupakan sebuah proyek politik pengetahuan. Para penulis menegaskan pentingnya perempuan untuk mengambil peran sebagai subjek aktif dalam produksi ilmu keislaman. Selama ini, tafsir agama didominasi oleh suara laki-laki yang tidak sepenuhnya merepresentasikan pengalaman hidup perempuan. Melalui tulisan-tulisan dalam buku ini, pengalaman perempuan—baik sebagai istri, ibu, korban kekerasan, maupun pemimpin—diangkat sebagai sumber epistemik yang sah dalam memahami ajaran Islam.

Pendidikan Kritis dan Kesadaran Gender

Beberapa tulisan juga menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan. Kesadaran kritis terhadap budaya patriarki hanya mungkin tumbuh jika perempuan (dan laki-laki) memperoleh pendidikan yang mendorong pertanyaan, diskusi, dan reinterpretasi terhadap teks dan tradisi. Pendidikan Islam tidak boleh lagi mengajarkan ketaatan membuta, tetapi harus membekali murid dengan kemampuan berpikir adil dan etis.

Penutup: Jalan Panjang menuju Islam yang Membebaskan

Muslimah Mendobrak Bias adalah suara-suara perempuan yang berani berbicara, menggugat, dan menafsir ulang. Ini bukan sekadar wacana akademik, tetapi juga bagian dari gerakan sosial yang menuntut perubahan struktural dalam masyarakat dan institusi keagamaan. Dengan mengintegrasikan pengalaman hidup, nalar kritis, dan prinsip-prinsip etika Islam, buku ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang berpihak pada keadilan—bukan patriarki.