|

Muslimah Reformis

Kemuliaan Perempuan Dalam Islam

Informasi Publikasi:

  • Penulis: Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA
  • Penerbit: Elex Media Komputindo (Quanta)
  • Tahun Terbit: November 2014
  • Jumlah Halaman: sekitar 184–192 halaman

Buku Kemuliaan Perempuan dalam Islam karya Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada akhir 2014.

Buku ini merupakan panduan singkat dan praktis untuk memahami posisi dan kedudukan perempuan dalam Islam. Ditulis dengan bahasa lugas dan sederhana, buku dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis untuk memperkuat argumennya

Kemuliaan Perempuan dalam Islam bukan sekadar buku agama biasa, melainkan karya yang mengajak feminisme dalam kerangka Islam. Tulisan Musdah Mulia memberi wawasan bahwa agama seharusnya menjadi jalan pembebasan, bukan pengekangan gender. Perempuan tidak hanya diberi hak—tapi juga dicetak untuk menjadi agen perubahan dengan harkat dan kemampuan penuh.

Musdah Mulia dalam banyak karyanya, termasuk Kemuliaan Perempuan dalam Islam, menekankan bahwa: Tafsir bukan wahyu. Tafsir bisa keliru. Maka tugas intelektual Muslimah adalah membaca ulang teks-teks suci dengan akal sehat, nurani, dan kesadaran sosial.

Menegaskan kemuliaan perempuan dalam masyarakat patriarkis adalah: Langkah pembebasan dari warisan budaya yang menindas; Jalan menuju keadilan sosial dan spiritual; sekaligus Tanggung jawab etis umat Islam untuk menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Jadi, buku ini bukan hanya untuk perempuan, tetapi untuk keseimbangan dan kemanusiaan semua pihak.

Mengapa kemuliaan perempuan perlu dikedepankan dalam masyarakat patriarkis seperti di Indonesia?

  1. Masyarakat Patriarkis Merendahkan Posisi Perempuan

Masyarakat patriarkis menempatkan laki-laki sebagai pusat otoritas, sementara perempuan:

  • Dianggap lemah, emosional, dan tidak layak memimpin
  • Dibatasi ruang geraknya di publik dan rumah
  • Diatur hidupnya oleh norma-norma kultural dan tafsir agama yang bias gender

Dalam konteks ini, gagasan tentang kemuliaan perempuan menjadi tindakan melawan struktur sosial yang tidak adil. Ia menegaskan kembali nilai-nilai Qur’ani yang sesungguhnya menghormati perempuan.

  1. Islam Mengangkat Martabat Perempuan

Musdah Mulia sering mengutip ayat seperti: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.” (QS. Ali Imran: 195). Sesungguhnya, Islam datang untuk menghapus sistem jahiliyah yang mengubur bayi perempuan hidup-hidup dan merendahkan martabat mereka. Maka ketika masyarakat kembali menindas perempuan atas nama tradisi atau agama, itu adalah pengkhianatan terhadap spirit Islam.

  1. Keadilan Gender Bukan Ancaman, Tapi Tujuan Moral

Kemuliaan perempuan perlu ditegaskan karena keadilan gender:

  • Bukan agenda Barat, tapi tuntutan etika Islam
  • Bukan menghapus perbedaan biologis, tapi menuntut perlakuan setara atas dasar kemanusiaan
  • Bukan merusak keluarga, tapi justru memperkuat relasi saling menghargai dan mendukung

Musdah menyatakan:“Perempuan tidak minta diistimewakan. Mereka hanya menuntut diperlakukan sebagai manusia seutuhnya.”

  1. Perempuan Harus Menjadi Subjek Sosial, Bukan Objek

Dalam masyarakat patriarkis:

  • Perempuan sering hanya dijadikan simbol moralitas (harus menjaga kehormatan, menutup aurat, tunduk)
  • Tapi jarang diakui sebagai pengambil keputusan, pembuat tafsir, atau pemimpin komunitas

Menonjolkan kemuliaan perempuan berarti memberi ruang:

  • Untuk perempuan berpikir, berbicara, dan memimpin
  • Untuk menafsirkan agamadari pengalaman perempuan sendiri
  • Untuk mengubah struktur sosial yang menindas
  1. Generasi Muda Butuh Narasi Islam yang Membebaskan

Generasi milenial dan Gen Z perempuan di Indonesia hari ini:

  • Tumbuh dalam era digital yang terbuka
  • Kritis terhadap otoritas
  • Ingin makna agama yang relevan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan

Jika Islam tetap dipersepsikan sebagai ajaran yang membatasi perempuan, maka akan terjadi alienasi. Maka narasi tentang kemuliaan perempuan adalah jembatan antara tradisi Islam dan nilai-nilai zaman.

  1. Mengoreksi Tafsir Patriarkis Adalah Tugas Intelektual dan Spiritual

Dalam masyarakat patriarkis seperti Indonesia, banyak praktik tidak adil justru dilegitimasi oleh tafsir agama:

  • Larangan perempuan jadi pemimpin
  • Pembatasan hak waris
  • Normalisasi kekerasan rumah tangga
  • Penggunaan dalil “nusyuz” untuk mendiamkan istri kritis

Inti Pemikiran dan Nilai Utama

  1. Pembebasan dari Stigma Jahiliyah

Islam menghapus citra lama yang merendahkan perempuan—sebagai makhluk inferior, hina, atau kotor. Sebaliknya, perempuan dalam Islam diproklamasikan sebagai manusia mulia yang memiliki harkat dan martabat

  1. Kesetaraan yang Esensial

Semua manusia—perempuan dan laki-laki—diciptakan dari unsur yang sama (nafs wahidah) dan dipanggil menjadi khalifah di muka bumi. Mereka memiliki tanggung jawab yang setara: amar makruf nahi munkar serta membangun masyarakat damai dan sejahtera (baldatun thayyibah)

  1. Penolakan terhadap Diskriminasi

Buku ini menjelaskan bahwa Islam menolak:

  • segala bentuk ketimpangan gender
  • budaya patriarkal, feodal, dan jahiliyah
  • sistem tiranik, despotik, dan totaliter
    Islam mendorong eliminasi diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan
  1. Peran Perempuan dalam Politik dan Masyarakat

Sejarah Islam mencatat peran aktif perempuan di ranah politik dan sosial—seperti saat mereka berangkat bersama delegasi terhadap Rasulullah, atau kasus Ummu Hani yang memberi jaminan atas nama komunitas. Ini menunjukkan bahwa perempuan masa awal Islam memiliki kebebasan politik dan sosialisasi yang nyata.

  1. Tujuan: Perempuan Berkualitas dan Bermartabat

Agar perempuan dapat menentukan pilihan hidup dengan cerdas—sesuai pesan moral agama—maka mereka harus menjadi sosok yang:

  • berkualitas
  • berilmu
  • terampil
  • berakhlak baik
    Hal ini penting agar peran mereka di masyarakat dan keluarga semakin berarti

 

Lalu, mengapa perempuan selalu dikucilkan dalam ajaran Islam yang dipahami oleh mayoritas umat?

Jawaban atas pertanyaan ini perlu dibedakan secara tegas antara:
🔹 ajaran Islam otentik sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah,
dan
🔹 tafsir manusia yang dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan politik—sering kali patriarkis.

Berikut penjelasannya secara sistematis dan argumentatif:

  1. Islam Itu Membebaskan, Tapi Tafsirnya Dikuasai Laki-Laki

Al-Qur’an mengajarkan kesetaraan spiritual dan tanggung jawab moral antara laki-laki dan perempuan:“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan… maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. Al-Nahl: 97)

Namun, sejarah penafsiran Islam didominasi oleh laki-laki:

  • Ulama laki-laki yang menafsirkan teks dari sudut pandang sosial-budaya mereka
  • Dalam masyarakat patriarkis, nilai-nilai gender bias dianggap wajar dan bahkan ilahi
  • Tafsir tersebut kemudian dibakukandalam hukum fiqh klasik, menjadi bagian dari sistem pendidikan, fatwa, dan dakwah

Akibatnya, Islam dipahami publik bukan sebagai ajaran pembebasan, tapi justru sebagai justifikasi struktur patriarki.

  1. Budaya Patriarki Menyusup dalam Tafsir Agama

Menurut Musdah Mulia, banyak umat Islam tidak bisa membedakan antara nilai Islam dan nilai budaya. Contohnya:

  • Larangan perempuan menjadi pemimpin→ lebih didasari budaya Arab tribalistik
  • Anggapan perempuan sebagai aurat→ lahir dari tradisi misoginis, bukan dari Al-Qur’an
  • Fatwa-fatwa yang membatasi perempuan keluar rumah atau berpendapat→ warisan politik otoriter, bukan prinsip keadilan “Agama sering dijadikan topeng untuk mempertahankan dominasi laki-laki.” — Musdah Mulia
  1. Doktrin Agama Disosialisasikan secara Bias

Mayoritas umat Islam tidak membaca langsung sumber Islam, melainkan:

  • Mendengar ceramah atau khutbah yang didominasi tafsir konservatif
  • Mengakses buku fiqh klasik tanpa pendekatan kritis
  • Tumbuh dalam sistem pendidikan agama yang tidak membuka ruang refleksi kritis

Ini menyebabkan umat menerima pemahaman tentang perempuan yang:

  • Melekatkan inferioritas dan subordinasisebagai kodrat
  • Menganggap tafsir ulama sebagai absolut, selevel wahyu
  1. Perempuan Dikisahkan Secara Selektif dalam Narasi Keislaman

Kisah-kisah perempuan agung seperti:

  • Khadijah (pengusaha sukses)
  • Aisyah (ilmuwan dan pemimpin intelektual)
  • Ummu Salamah (perumus kebijakan politik)

…jarang ditampilkan dalam narasi dakwah. Sebaliknya, perempuan dikisahkan sebagai:

  • Penggoda
  • Pengikut
  • Istri yang harus patuh

Konstruksi ini mengkerdilkan agen perempuan dalam sejarah Islam.

  1. Minimnya Pendidikan Kritis terhadap Teks dan Tafsir

Mayoritas umat belum diajarkan untuk:

  • Membedakan antara wahyu dan tafsir
  • Melihat konteks historisturunnya ayat
  • Menggunakan maqāṣid al-sharī‘ah(tujuan etis syariat) untuk memahami hukum Islam

Akibatnya, tafsir literal dan legalistik yang menyingkirkan perempuan tetap dominan. Tafsir ini mengutamakan “kepatuhan” perempuan atas nama agama, bukan kesalingan, keadilan, atau kasih sayang.

  1. Perempuan Dihalangi Jadi Penafsir dan Pemimpin Agama

Selama berabad-abad, akses perempuan ke lembaga-lembaga keagamaan sangat terbatas:

  • Tidak diberi ruang di pesantren sebagai pengasuh utama
  • Jarang diangkat menjadi mufti atau kiai otoritatif
  • Fatwa dan tafsir disusun tanpa suara dan pengalaman perempuan

Padahal, tanpa pengalaman perempuan, tafsir agama cenderung bias dan timpang.

 Kesimpulan

Perempuan dikucilkan bukan karena Islam mendiskriminasi, tapi karena tafsir terhadap Islam dibangun dalam sistem sosial yang patriarkis.

Jalan keluarnya bukan meninggalkan Islam, melainkan:

  • Membaca ulang Islam secara kontekstual, progresif, dan etis
  • Mendorong partisipasi perempuan dalam ijtihad dan kepemimpinan
  • Mendidik umat Islam agar melek tafsir dan sadar akan bias patriarki

Sebagaimana dinyatakan Musdah Mulia: “Islam adalah agama pembebasan, bukan penindasan. Maka perempuan Muslim harus bangkit menjadi subjek sejarah dan penafsir kebenaran.”