📘 Tentang Buku Muslimah Reformis (2004/2005)
Buku Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan karya Prof. Dr. Siti Musdah Mulia pernah diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2004 (beberapa katalog menyebut edisi pertama 2005, kemungkinan cetakan awal 2004 lalu terbit 2005), dan menjadi karya penting soal perempuan Muslim pembaru agama.
Identitas Singkat
- Judul:Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan
- Penulis:Siti Musdah Mulia
- Penerbit:Mizan (Bandung), cetakan pertamanya tahun 2004/2005
- Tebal:Sekitar 568 halaman dengan banyak bab dan indeks lengkap
🌸 Fokus Utama
Buku ini menyajikan gagasan tentang muslimah reformis — perempuan Muslim yang mengintegrasikan tauhid, spiritualitas, dan etika Islam inklusif dengan semangat kritis, rasional, dan humanis. Muslimah reformis di sini bukan hanya soal religiusitas privat, tapi aktif dalam bidang sosial, budaya, politik, pemberdayaan perempuan, dan perdamaian — bermuara pada nilai-nilai universalisme dan pluralisme.
Isu kesetaraan gender dalam Islam merupakan tema yang masih menyisakan kontroversi di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia menjadi medan tarik menarik antara tafsir keagamaan konservatif dan semangat pembaruan.
Dalam konteks ini, sosok Siti Musdah Mulia tampil sebagai intelektual perempuan yang mengusung paradigma Islam progresif dan reformis. Melalui karya monumentalnya, Muslimah Reformis (2004), Musdah menawarkan pembacaan ulang terhadap peran perempuan dalam Islam dengan pendekatan yang berbasis nilai-nilai etika, tauhid, dan hak asasi manusia.
Konsep Muslimah Reformis
Muslimah Reformis didefinisikan sebagai perempuan yang aktif, kritis, dan mandiri, berakar pada penghayatan tauhid. Tak hanya terfokus pada ritual, tapi juga pada aksi sosial yang merangkul nilai kemanusiaan universal dan pluralisme.
Menggugat Definisi “Perempuan Shalihah” Tradisional
Musdah menantang pemahaman pasif tentang “perempuan shalihah” yang sering dikonstruksi sebagai perempuan diem di rumah. Ia menegaskan bahwa perempuan shalihah sejati adalah yang aktif memperbaiki masyarakat dan diri, berdasarkan nilai tauhid yang menjunjung kesetaraan dan keadilan
Pendekatan Hermeneutik Kritis
Musdah melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan hadis) secara kontekstual—mengintegrasikan akal sehat, pengalaman hidup perempuan, dan semangat keadilan universal. Beberapa isu sensitif seperti pernikahan anak, poligami, kekerasan domestik, dan kepemimpinan perempuan direspon secara berani dan jernih
Kritik terhadap Fatwa dan Produk Hukum
Tulisannya juga mengkritisi fatwa MUI dan regulasi hukum seperti UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang cenderung patriarkal. Ia bahkan mengusulkan counter legal drafting sebagai alternatif hukum yang lebih adil genderal dalam masyarakat Indonesia—sebuah langkah berani yang memicu kontroversi
Gaya Penulisan yang Aksesibel dan Emosional
Musdah menulis dengan bahasa renyah, argumentatif, dan menyentuh. Tulisan-tulisannya tidak berat secara akademis sehingga mudah dicerna oleh pembaca luas, tanpa mengurangi kedalaman reflektifnya . Buku ini membangun narasi penting tentang modernitas, feminisme Islam, dan kepedulian sosial perempuan di Indonesia, sekaligus mendobrak tafsir tunggal keagamaan yang mengekang perempuan.
Buku Muslimah Reformis tidak hanya menawarkan kritik terhadap tafsir patriarkal, tapi juga menyajikan paradigma alternatif: Islam yang membebaskan, adil gender, dan responsif terhadap realitas sosial. Melalui pendekatan etika tauhid dan HAM, Musdah Mulia membuka jalan bagi generasi baru pemikir perempuan yang ingin membangun relasi baru antara teks, konteks, dan kehidupan. Gagasannya tetap relevan dalam perjuangan menegakkan keadilan gender di era modern.
Buku ini kemudian menjadi dasar bagi karya lebih besar berjudul Ensiklopedia Muslimah Reformis yang terbit pertama kali pada tahun 2020
📄
Rangkuman Tema Utama
- Perubahan Paradigma Muslimah:Dari model tradisional yang pasif menuju perempuan yang berdaya, berpengetahuan luas, dan menghargai HAM serta kesetaraan gender.
- Islam Sebagai Spirit Inklusif:Mengkritik tafsir tunggal yang membatasi perempuan; mempromosikan tafsir modern yang adil dan kontekstual.
- Pendidikan & Kesehatan Reproduksi:Menyoroti isu kematian ibu, pernikahan anak, dan pentingnya keluarga berencana serta kesehatan maternal sebagai bagian dari keadilan gender.
- Partisipasi Publik:Muslimah diminta aktif di ruang publik dan demokrasi untuk mendorong perubahan sosial yang lebih inklusif.
- Dekontruksi Model ‘Mar’ah Shalihah’:Menyajikan ulang konsep perempuan salehah yang penuh empati, cerdas, kritis, dan peduli lingkungan—selaras dengan nilai Islam rahmatan lilalamin.
✅ Signifikansi Buku
- Menjadi refrensi utamapemikiran feminis Islam progresif di Indonesia.
- Buku ini memberi landasan intelektual pada upaya mereformasi peran muslimahdalam konteks modern, baik secara spiritual maupun sosial.
- Dianggap pendahulu dari Ensiklopedia Muslimah Reformisyang lebih besar dan komprehensif, terbit sekitar 2020
KONSEP MUSLIMAH REFORMIS
- Konteks Lahirnya Gagasan Muslimah Reformis
Lahir dari pengalaman panjang sebagai akademisi, aktivis, dan anggota lembaga negara, Musdah memadukan keilmuan klasik Islam dengan analisis sosial-kritis modern. Ia tidak hanya mengkritik tafsir gender yang bias patriarkal, tapi juga membangun kerangka etis untuk pembebasan perempuan. Gagasannya mengacu pada prinsip dasar Islam: tauhid (keesaan Allah), yang melandasi kesetaraan semua manusia—tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, maupun kelas sosial.¹
- Tafsir Ulang atas Mar’ah Shalihah: Salah satu kontribusi utama Musdah adalah reinterpretasi konsep mar’ah shalihah (perempuan salehah). Dalam tafsir klasik, perempuan ideal digambarkan sebagai pasif, tunduk kepada suami, dan terbatas pada ranah domestik. Musdah membongkar konstruksi ini dan menyusun ulang makna “salehah” sebagai perempuan yang berdaya, kritis, cerdas, dan terlibat aktif dalam transformasi sosial.²
“Salehah bukanlah perempuan yang pasrah, melainkan perempuan mandiri, mampu menjadi mitra sejajar, baik dalam kehidupan domestik di rumah tangga maupun dalam kehidupan publik di masyarakat.”³
- Pendidikan, Kesehatan Reproduksi, dan HAM
Musdah memberikan perhatian serius pada isu-isu konkrit seperti pernikahan anak, kematian ibu melahirkan, dan akses pendidikan dan kepemimpinan bagi perempuan. Baginya, perjuangan perempuan Muslim harus bersentuhan langsung dengan realitas ketidakadilan struktural. Ia menolak dalih agama yang membenarkan diskriminasi dan mendesak negara menjadikan keadilan gender sebagai agenda konstitusional.⁴
- Muslimah dan Partisipasi Publik
Musdah memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang strategis: politik, ekonomi, pendidikan, dan keagamaan. Ia menegaskan bahwa politik Islam yang etis mensyaratkan partisipasi semua pihak, termasuk perempuan, dalam membangun masyarakat adil dan demokratis. Gagasan ini menjadi pijakan penting dalam gerakan feminisme Islam di Indonesia.⁵
Mengapa Gagasan Muslimah Reformis sulit diterima secara luas oleh masyarakat Islam Indonesia? Hal itu karena beberapa faktor yang bersifat struktural, kultural, teologis, dan politis. Berikut adalah penjelasan sistematisnya:
🧠 1. Dominasi Tafsir Keagamaan Patriarkal
Sebagian besar pemahaman keislaman di Indonesia masih merujuk pada tafsir klasik yang patriarkal, yang mengidealkan perempuan sebagai makhluk subordinat—tunduk kepada laki-laki, fokus pada peran domestik, dan dijauhkan dari kepemimpinan publik. Tafsir seperti ini diwariskan dari generasi ke generasi tanpa kritik.
Gagasan Musdah yang menafsir ulang ayat-ayat gender dalam Al-Qur’an lalu dianggap “menyimpang” karena tidak sesuai dengan pandangan dominan ulama tradisional, padahal sejatinya itulah pandangan yang paling sejalan dengan tujuan obyektif Islam atau maqashid syari’ah
🏛️ 2. Institusionalisasi Agama yang Konservatif
Lembaga-lembaga keagamaan besar seperti MUI, NU, dan sebagian tokoh Muhammadiyah masih didominasi pemikiran konservatif yang sulit menerima tafsir baru tentang relasi gender. Bahkan ketika Musdah menjabat di Departemen Agama dan menjadi pemrakarsa dalam penyusunan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI), ia mendapat penolakan keras. Beberapa kalangan bahkan menyebutnya “liberal” atau “sesat”, karena dianggap menabrak batasan fikih tradisional. Namun, gagasan CLD KHI kini dipelajari dibanyak universitas terkenal di dunia, seperti di Islamic Family Law, Universitas Harvard. Selain itu, gagasan pembaruan CLD KHI dianggap paling relevan dengan perkembangan zaman yang menghendaki implementasi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender.
📚 3. Rendahnya Literasi Kritis dan Gender
Pemahaman masyarakat luas terhadap hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan tafsir keagamaan progresif masih sangat terbatas. Literasi kritis dalam menafsir agama tidak diajarkan secara sistematis di pesantren maupun sekolah formal. Akibatnya, gagasan seperti Muslimah Reformis mudah disalahpahami sebagai gerakan “Barat” atau ancaman terhadap agama. Seharusnya, gagasan Muslimah Reformis dibaca sebagai upaya ijtihad membangun masyarakat yang berkeadaban sesuai prinsip-prinsip dasar Islam.
⚖️ 4. Politik Identitas dan Islam Populis
Dalam dua dekade terakhir, politik identitas berbasis agama semakin menguat. Banyak kelompok politik menggunakan isu-isu agama secara konservatif untuk meraih dukungan, termasuk mempertahankan simbol-simbol patriarkal. Gagasan Musdah yang inklusif, egaliter, dan berpihak pada minoritas justru bertentangan dengan arus populisme Islam yang eksklusif. Itulah bahayanya politisasi Islam.
❤️ 5. Resistensi terhadap Kepemimpinan Perempuan
Meski Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, banyak umat Islam masih belum menerima perempuan sebagai pemimpin agama atau otoritas keilmuan dalam tafsir Al-Qur’an. Musdah sebagai ulama perempuan seringkali diabaikan karena bias gender struktural. Bahkan keilmuan dan gelar akademisnya seringkali dianggap tidak cukup untuk menegaskan otoritasnya di forum-forum keagamaan.
✊ 6. Stigma terhadap Feminisme Islam
Istilah “feminisme Islam” yang menjadi fondasi pemikiran Musdah sering disalahpahami. Banyak yang menganggap feminisme adalah ideologi Barat yang bertentangan dengan Islam. Padahal, Musdah jelas menyatakan bahwa perjuangannya bersumber dari nilai-nilai Al-Qur’an seperti tauhid, ‘adl, rahmah, dan visi penciptaan manusia sebagai khalifah fil ardh serta misi amar ma’ruf nahi munkar.
Muslimah Reformis dan Tantangan Patriarki dalam Islam Indonesia
Ketika Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menerbitkan buku Muslimah Reformis (Mizan, 2004), ia tidak sekadar menulis tentang kesetaraan gender dalam Islam. Ia sedang menggugat tatanan patriarkal yang telah membungkus agama dengan selimut ketakutan terhadap perempuan berdaya. Buku itu seperti lentera di lorong gelap tafsir keagamaan yang maskulin dan eksklusif. Namun, seperti banyak tokoh pembaharu sebelum dan sesudahnya, Musdah tidak hanya disambut pujian—ia juga dihujani penolakan, bahkan stigma.
Pertanyaannya: mengapa ide-ide Muslimah Reformis sulit diterima secara luas oleh masyarakat Islam Indonesia?
Jawabannya terletak pada akar-akar struktural dan kultural yang membentuk cara kita memahami Islam. Sejak lama, tafsir keagamaan di Indonesia dibangun dan diwariskan oleh otoritas laki-laki, baik di pesantren, universitas, maupun lembaga fatwa. Mereka menyusun hukum, mengatur peran, dan memaknai ayat-ayat suci melalui lensa budaya patriarkal. Maka tidak mengherankan jika ketika seorang perempuan muncul dengan wacana kritis—yang menafsir ulang teks-teks suci demi keadilan gender—reaksinya adalah kecurigaan, bahkan penolakan.
Di tengah struktur sosial yang masih meminggirkan perempuan, gagasan Musdah tentang relasi suami-istri yang setara, kepemimpinan perempuan dalam politik dan agama, serta hak perempuan atas tubuh dan pilihannya sendiri dianggap melampaui batas. Padahal, semua itu berakar dari nilai-nilai Al-Qur’an tentang keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), dan kemuliaan manusia (karāmah insāniyyah).
Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita belum terbiasa membaca agama secara kritis. Literasi gender masih rendah, dan pendidikan keagamaan jarang mengajarkan metode tafsir yang kontekstual. Akibatnya, feminisme Islam seperti yang diperjuangkan Musdah justru dituduh membawa ide Barat atau bahkan sesat. Padahal, ia justru sedang membuka jalan agar Islam tetap relevan dengan tantangan zaman.
Lebih tragis lagi, di era ketika politik identitas berbasis agama menguat, suara-suara reformis justru dikalahkan oleh narasi populis yang konservatif. Semakin seorang tokoh berbicara tentang HAM, keberagaman, atau kesetaraan, semakin besar peluangnya untuk dibungkam atau disingkirkan.
Namun, sejarah membuktikan: perubahan besar selalu lahir dari mereka yang berani melawan arus. Muslimah Reformis bukan sekadar label, tapi gerakan spiritual, intelektual, dan sosial yang terus menyala di hati mereka yang percaya bahwa Islam adalah rahmat bagi semua, bukan hanya untuk laki-laki, bukan hanya untuk mayoritas.
Musdah Mulia mungkin tidak selalu diterima dengan tangan terbuka, tapi ide-idenya akan tetap hidup di ruang-ruang kuliah, forum kajian, mimbar perempuan, dan gerakan sosial yang terus bertumbuh.
Karena pada akhirnya, reformasi Islam bukanlah soal menang dalam debat, tapi tentang memenangkan keadilan dan kemanusiaan.
Ketika Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menerbitkan Muslimah Reformis (Mizan, 2004), ia sedang melawan arus besar tafsir agama yang selama berabad-abad membungkus Islam dengan nilai-nilai patriarki. Buku itu menyerukan pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan dari perspektif keadilan gender, mengusung visi Islam yang setara, adil, dan manusiawi bagi laki-laki maupun perempuan.
Mengapa gagasan progresif dan ide-ide Musdah sulit diterima oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia?
Pertama, karena dominasi tafsir agama yang konservatif dan maskulin masih sangat kuat. Tafsir semacam ini sudah mengakar dalam institusi pendidikan Islam, mimbar-mimbar dakwah, dan bahkan lembaga formal seperti MUI. Dalam cara pandang ini, perempuan masih sering diposisikan sebagai pelengkap laki-laki, ditentukan perannya dalam ranah domestik, dan dijauhkan dari otoritas keilmuan atau kepemimpinan publik.
Kedua, karena masyarakat belum terbiasa dengan literasi keagamaan yang kritis dan kontekstual. Gagasan Muslimah Reformis yang mengajak umat untuk berpikir ulang terhadap ayat-ayat tentang warisan, poligami, atau kepemimpinan perempuan sering kali dianggap sebagai bentuk penyimpangan, bukan ijtihad. Padahal, Musdah justru ingin menghidupkan semangat ijtihad sebagai bagian dari dinamika keilmuan Islam.
Ketiga, gagasan Musdah seringkali dibungkam dengan stigma “liberal” atau “barat”. Ini adalah respons defensif dari masyarakat yang belum memahami bahwa feminisme Islam bukanlah pengaruh luar, melainkan pembacaan ulang terhadap nilai-nilai luhur dalam Al-Qur’an—seperti tauhid, ‘adl, rahmah, dan karāmah insāniyyah. Semua nilai itu menjadi dasar perjuangan Musdah untuk menciptakan ruang hidup yang lebih adil bagi perempuan Muslim.
Keempat, politik identitas juga turut memperkeruh penerimaan terhadap ide-ide progresif. Dalam iklim sosial-politik yang menjadikan agama sebagai alat kekuasaan, suara perempuan yang menuntut kesetaraan seringkali dianggap sebagai ancaman. Gagasan Muslimah Reformis tidak sejalan dengan arus konservatisme populis yang ingin mempertahankan simbol-simbol tradisional demi legitimasi sosial.
Namun, sejarah membuktikan bahwa perubahan tidak selalu lahir dari mayoritas. Reformasi pemikiran Islam—baik oleh Ibn Rushd, Rifa’ah al-Tahtawi, Qasim Amin, hingga Musdah Mulia—selalu dimulai dari minoritas yang berani berpikir kritis. Mereka membuka jalan, menanam benih, meskipun kadang dipinggirkan. Tapi mereka meninggalkan jejak penting bagi masa depan Islam yang lebih inklusif dan adil.
Muslimah Reformis bukan sekadar buku, tapi sebuah gerakan yang mendobrak diamnya ketimpangan gender dalam Islam. Musdah memberi kita satu pesan penting: bahwa Islam adalah agama yang berpihak pada keadilan, dan bahwa perempuan Muslim punya hak yang sama untuk menafsirkan, memimpin, dan memperjuangkan perubahan sosial.
Gagasan Musdah mungkin belum diterima secara luas hari ini, tapi ia telah membuka pintu yang tidak bisa ditutup kembali. Pintu menuju Islam yang lebih berpihak pada manusia, tanpa memandang jenis kelamin.
Dalam konteks sosial keagamaan yang masih sangat dipengaruhi oleh struktur patriarki, Musdah dianggap “terlalu maju”. Ia berbicara tentang kesetaraan dalam keluarga, hak perempuan atas tubuh dan pilihannya, partisipasi politik perempuan, serta menantang praktik-praktik yang selama ini dibenarkan atas nama agama seperti poligami atau kekerasan domestik. Semua itu dilakukan bukan dengan logika Barat, tetapi dengan pendekatan tafsir yang berbasis pada nilai-nilai Al-Qur’an: tauhid, rahmah, ‘adl, dan karāmah insāniyyah (kemuliaan manusia).
Alhamdulilllah, dewasa ini gagasan-gagasan Muslimah Reformis hidup dalam kerja-kerja aktivis perempuan di pesantren, dalam kajian feminis di kampus-kampus, dalam gerakan keadilan hukum keluarga, bahkan dalam ruang-ruang dakwah digital. Ia menjadi bukti bahwa penafsiran agama tidak boleh dimonopoli oleh satu jenis pengalaman hidup saja.
Ketika perempuan menafsir agama, bukan berarti agama kehilangan kesuciannya. Justru sebaliknya—agama menjadi lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih membumi. Itulah warisan sejati Muslimah Reformis.
Kesimpulan
Gagasan Muslimah Reformis sulit diterima bukan karena tidak sesuai dengan Islam, melainkan karena bertentangan dengan kepentingan struktur patriarki, politik identitas, dan ketidaksiapan budaya masyarakat menerima otoritas perempuan. Namun demikian, ide-ide Musdah tetap menjadi cahaya kecil yang konsisten menerangi jalan panjang menuju Islam yang adil dan inklusif.






