Buku Perempuan dan Politik karya Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada April 2005:
📘 Informasi Umum
- Judul: Perempuan dan Politik
- Penulis: Siti Musdah Mulia & Anik Farida id+14Belbuk+14BukaBuku+14The Conversation+5Wikipedia+5Journal UII+5
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
- Tahun Terbit: April 2005
- Halaman: ± 175 (ukuran sekitar 11 × 18 cm)
✍️ Latar Belakang Penulis
Siti Musdah Mulia adalah intelektual dan aktivis perempuan ternama di Indonesia, pertama menyandang gelar doktor dalam Pemikiran Politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah (1997). Ia menjabat sebagai profesor riset di LIPI, advokat hak-hak perempuan dan reformis dalam tafsir keagamaan. Karyakaryanya meliputi Muslimah Reformis (2005), Menuju Kemandirian Politik Perempuan (2008), dan banyak buku lainnya di bidang kesetaraan gender dan politik Islam
🧠 Pokok Bahasan Buku
- Tantangan terhadap Perempuan dalam Politik
Buku ini memulai dengan menggambarkan hambatan struktural, sosial, dan budaya yang dihadapi perempuan ketika terjun ke politik. Stereotip tradisional yang mengidentikan perempuan dengan sifat pasif dan lembut menjadi salah satu penghalang utama untuk berkuasa atau mengambil keputusan publik
- Politik sebagai Wadah Kesetaraan Gender
Musdah Mulia menegaskan bahwa Islam tidak melarang perempuan terlibat dalam politik. Dalam perspektif fikih siyasah (pendekatan hukum politik dalam Islam), keterlibatan perempuan sebagai pemimpin negara, anggota legislatif, pengurus partai, hingga jabatan yudikatif adalah sah dan bahkan dibutuhkan untuk kemaslahatan masyarakat
- Kepemimpinan Perempuan: Kasih Sayang dan Kelembutan
Menurut Musdah, perempuan membawa paradigma kekuasaan yang tidak maskulin—yakni kekuasaan berbasis kasih sayang dan solidaritas. Ia menyoroti bahwa politik perempuan tidak harus menghilangkan unsur feminitas, melainkan bisa menjadikannya nilai positif dalam membangun hubungan politik yang lebih manusiawi dan inklusif
- Perubahan Paradigma dan Advokasi
Musdah menyarankan beberapa strategi penting: membongkar mitos gender yang menahan perempuan, menafsir ulang teks agama tanpa bias patriarkal, serta memperjuangkan kebijakan publik dan kuota politik perempuan secara kritis dan sadar gender.
✅ Kesimpulan & Relevansi
- Buku ini menawarkan teori dan refleksi kritis tentang posisi perempuan dalam politik berdasarkan pemikiran Islam progresif.
- Menekankan bahwa kesetaraan gender dalam politik bukan hanya soal partisipasi, tetapi juga soal transformasi budaya dan interpretasi keagamaan.
- Sebagai referensi, cocok untuk akademisi, aktivis, dan siapa saja yang ingin memahami dinamika politik dan gender dalam konteks Indonesia halal-Islam.
Perempuan belum mendapatkan kesetaraan dalam bidang politik karena adanya hambatan struktural, kultural, dan simbolik yang bersifat sistemik dan saling terkait. Berikut penjelasan menyeluruh dan analitis:
🧱 1. Struktur Politik yang Maskulin dan Elitis
- Sistem partai politik masih didominasi oleh laki-laki dalam posisi pengambil keputusan.
- Perempuan sering hanya dijadikan pelengkap atau pemanis daftar caleg untuk memenuhi kuota 30%, tanpa dukungan nyataagar mereka terpilih dan berdaya.
- Partai jarang menyediakan pendidikan kader politik yang setarabagi perempuan. Rekrutmen politik sering berdasarkan jejaring patronase, dinasti, atau uang—yang cenderung lebih sulit diakses perempuan.
🎭 2. Budaya Patriarkal yang Membatasi Perempuan
- Banyak masyarakat masih meyakini bahwa peran utama perempuan adalah di ranah domestik, bukan publik.
- Stereotip negatifseperti “perempuan emosional”, “kurang rasional”, atau “tidak cocok memimpin” masih sangat kuat, bahkan di kalangan perempuan sendiri.
- Perempuan yang aktif di politik kerap mendapat label buruk: ambisius, tidak sopan, atau meninggalkan kodratnya.
🕌 3. Tafsir Agama yang Bias Gender
- Di banyak komunitas, agama digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan dalam politik: misalnya, keyakinan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin publik.
- Padahal, seperti dijelaskan oleh tokoh seperti Siti Musdah Mulia, teks agama harus dibaca secara hermeneutis dan kontekstual, karena banyak larangan itu bersumber dari tafsir patriarkal, bukan dari ajaran esensial agama itu sendiri.
📚 4. Rendahnya Literasi Politik dan Kepercayaan Diri
- Kurangnya pendidikan politik dan pengalaman organisasi membuat banyak perempuan merasa tidak kompeten atau tak percaya diri untuk terjun ke dunia politik.
- Kurikulum pendidikan formal juga jarang membentuk kesadaran kritis gender dan kewargaan aktif di kalangan perempuan sejak usia muda.
- Di komunitas akar rumput, perempuan sering tidak diberi ruang berpendapat dalam forum desa, RT/RW, hingga musrenbang.
💰 5. Politik Uang dan Biaya Tinggi
- Politik di Indonesia dikenal mahal: butuh dana besar untuk kampanye, logistik, dan jaringan.
- Akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi dan pendanaan kampanye masih lebih rendah dibanding laki-laki, sehingga menghambat mereka bertarung secara kompetitif.
🔁 6. Minimnya Representasi Inspiratif
- Kurangnya figur perempuan politisi yang menjadi panutandi tingkat lokal maupun nasional turut memperkuat persepsi bahwa politik adalah “bukan dunia perempuan”.
- Media juga sering menyoroti perempuan politisi dari sisi penampilan atau kehidupan pribadinya, bukan dari gagasan dan kualitas kepemimpinannya.
🧠 Ringkasan Kritis
| Faktor Penghambat | Dampak |
| Struktur partai maskulin | Perempuan sulit naik ke jabatan strategis |
| Budaya patriarkal | Perempuan dianggap tak layak memimpin |
| Tafsir agama bias gender | Legitimasi agama digunakan untuk membatasi perempuan |
| Literasi politik rendah | Minim kepercayaan diri dan partisipasi aktif |
| Politik uang | Perempuan kesulitan bersaing dalam kontestasi |
🎯 Kesimpulan
Ketimpangan politik bukan karena perempuan tidak mampu, tetapi karena sistem yang belum memberikan akses, ruang, dan dukungan yang adil. Untuk mencapai kesetaraan substantif, kita perlu:
- Reformasi partai politik dan pemilu
- Pendidikan politik berbasis gender
- Reinterpretasi agama yang progresif
- Kebijakan afirmatif yang dilaksanakan secara serius dan berkelanjutan
Seperti kata Musdah Mulia, “perempuan tak cukup hanya hadir dalam politik, tapi harus berdaya untuk mengubah arah politik itu sendiri.”
Untuk meningkatkan partisipasi perempuan secara substansial dalam bidang politik, diperlukan langkah strategis yang berbasis struktur, budaya, pendidikan, hukum, dan dukungan sosial. Tujuannya bukan hanya meningkatkan jumlah, tetapi memastikan perempuan berdaya, independen, dan berpengaruh dalam proses politik.
Berikut adalah langkah-langkah strategis yang holistik dan terukur:
- Reformasi Sistem Politik dan Partai
✅ Tujuan: Membuka akses struktural dan menghapus diskriminasi sistemik.
- Wajibkan partai politikmenyediakan kuota perempuan minimal 30% dalam struktur pengurus inti dan pencalonan legislatif.
- Evaluasi penempatan nomor urut caleg perempuan, agar tidak selalu ditempatkan di posisi tidak strategis.
- Bangun mekanisme akuntabilitas kuota, bukan sekadar simbolis, tetapi efektif dalam menghasilkan representasi perempuan yang menang.
- Dorong pendanaan politik yang adil gender, dengan alokasi khusus bagi pembinaan dan kampanye perempuan.
- Pendidikan Politik dan Kepemimpinan Berbasis Gender
✅ Tujuan: Meningkatkan literasi politik dan kapasitas perempuan.
- Selenggarakan pelatihan politik perempuanmulai dari akar rumput hingga tingkat nasional.
- Integrasikan isu kesetaraan gender dan hak konstitusionaldalam kurikulum pendidikan formal dan informal.
- Ciptakan inkubator kepemimpinan politik perempuan: program mentoring, magang politik, dan forum latihan debat kebijakan.
- Gunakan media digital dan sosialsebagai sarana pendidikan politik perempuan muda (misalnya podcast, kelas daring, kampanye visual).
- Revisi dan Implementasi Kebijakan Afirmasi
✅ Tujuan: Mendorong keadilan substantif, bukan sekadar formalitas.
- Perkuat dan implementasikan hukum kuota gender dalam semua lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
- Dorong regulasi yang menghukum partai yang tidak memenuhi kuota perempuan(misalnya, tidak dapat ikut pemilu atau kehilangan dana bantuan).
- Usulkan kebijakan yang memfasilitasi perempuan berpolitik, misalnya cuti kampanye bagi ibu bekerja, fasilitas ramah anak di arena politik, dan sistem kampanye bersih.
- Transformasi Budaya Patriarkal
✅ Tujuan: Mengubah cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan politik.
- Lakukan kampanye publikuntuk mematahkan stereotip bahwa perempuan tidak cocok memimpin atau berpolitik.
- Libatkan tokoh agama, adat, dan media untuk membangun narasi keagamaan dan kebudayaan yang mendukung kepemimpinan perempuan.
- Ciptakan ruang aman bagi perempuan untuk berbicara dan terlibat, terutama di komunitas yang konservatif.
- Dukungan Sosial dan Infrastruktur
✅ Tujuan: Memastikan keberlanjutan partisipasi perempuan dalam politik.
- Bangun solidaritas dan jaringan antarperempuan politisi lintas partai.
- Sediakan dukungan psikososial, terutama bagi perempuan yang mengalami kekerasan verbal, misogini, dan pelecehan politik.
- Bangun aliansi antara LSM, akademisi, jurnalis, dan kelompok masyarakat sipiluntuk mengawal keberpihakan terhadap perempuan dalam politik.
- Monitoring dan Evaluasi Berbasis Gender
✅ Tujuan: Menilai efektivitas program secara terus-menerus.
- Bangun sistem pemantauan keterlibatan perempuan dari pusat hingga daerah.
- Terapkan indikator partisipasi substantif: bukan hanya jumlah perempuan, tetapi juga posisi, kualitas gagasan, dan pengaruh kebijakan.
- Publikasikan laporan tahunan tentang Indeks Keadilan Politik Gender.
🧠 Penutup: Filosofi Strategis
Seperti ditegaskan oleh Siti Musdah Mulia, perjuangan politik perempuan bukan soal angka, tetapi:“Bagaimana menjadikan politik sebagai arena pengabdian kemanusiaan, bukan monopoli kuasa.” Jadi, pendekatan strategis harus menyasar akar masalah struktural dan budaya, sekaligus membangun kepercayaan diri dan solidaritas kolektif perempuan.
📌 Rekomendasi
- Bagi yang hendak memperdalam tema gender dan politik, buku ini sangat relevan sebagai pondasi pemikiran.
- Dapat dibaca bersama karyakarya sejenis Musdah Mulia lainnya, seperti Menuju Kemandirian Politik Perempuan (2008)dan Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (2007) untuk perspektif yang lebih luas.





