|

Muslimah Reformis

Ibadah Umrah sebagai Upaya Transformasi Diri Menuju Kesalehan Hakiki

Oleh Musdah Mulia

Pendahuluan

Beberapa dekade terakhir, ibadah Umrah mengalami ledakan popularitas yang luar biasa. Jika dahulu Umrah lebih jarang dilakukan karena faktor biaya dan jarak, kini Umrah telah menjadi fenomena massal. Paket perjalanan dengan promosi “umrah murah” atau “umrah plus wisata ke Turki, Mesir, Dubai” menjadi pemandangan umum. Tidak sedikit pula umat Islam yang menunaikan Umrah berulang kali, bahkan lebih sering dibandingkan haji.

Fenomena ini patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Di satu sisi, meningkatnya animo berumrah menunjukkan gairah keagamaan umat Islam. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar: apakah Umrah masih dipahami sebagai ibadah yang transformatif, ataukah bergeser menjadi sekadar wisata religi dan simbol status sosial?

Umrah sebagai Ibadah

Mayoritas ulama berpendapat Umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu (istitha‘ah), sementara sebagian ulama menyebutnya sunnah muakkadah.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

 وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…”(QS. Al-Baqarah [2]: 196).

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ ٩٧   Ali Imran 97

Kata mampu di sini mencakup fisik, keamanan, dan finansial. Artinya, orang yang tidak mampu tidak dibebani kewajiban.

Ayat ini menegaskan bahwa Umrah adalah bagian dari syiar Islam yang harus dijalankan dengan niat ikhlas. Tujuannya bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan penyucian jiwa, ketundukan total kepada Allah, dan peneguhan solidaritas umat. Rasulullah SAW bahkan menyebut Umrah sebagai penghapus dosa. (HR. Bukhari-Muslim). Dengan demikian, esensi Umrah bukan hanya menyelesaikan rangkaian ritual, tetapi juga menghasilkan perubahan akhlak, memperkuat spiritualitas, dan menumbuhkan kepedulian sosial.

Urutan Tertib Ibadah Umrah
1. Ihram dari Miqat
  • Mandi, memakai pakaian ihram (laki-laki dua kain putih; perempuan pakaian menutup aurat tanpa cadar/kaos tangan).
  • Niat: “Labbaika ‘umratan”(Ya Allah, aku sambut panggilan-Mu untuk Umrah).
  • Membaca talbiyah: “Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk, laa syarika lak.”
2. Thawaf di Ka’bah (7 putaran)
  • Mulai dari Hajar Aswad(sudut Ka’bah).
  • Putaran berlawanan arah jarum jam.
  • Disunnahkan mencium atau menyentuh Hajar Aswad (jika memungkinkan tanpa menyakiti orang lain).
  • Bacaan tidak ditentukan khusus; bisa doa, dzikir, atau membaca Al-Qur’an.
3. Shalat 2 Rakaat di Belakang Maqam Ibrahim
  • Setelah thawaf, disunnahkan shalat 2 rakaat.
  • Rakaat pertama membaca Al-Fatihah + Al-Kafirun.
  • Rakaat kedua membaca Al-Fatihah + Al-Ikhlas.
4. Minum Air Zamzam
  • Sunnah minum air Zamzam sambil berdoa memohon kebaikan dunia dan akhirat.
  • Nabi SAW bersabda: “Air Zamzam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.”(HR. Ibnu Majah).
5. Sa’i antara Shafa dan Marwah (7 kali)
  • Dimulai dari bukit Shafa, berakhir di Marwah.
  • Hitungan: Shafa → Marwah = 1, kembali Marwah → Shafa = 2, begitu seterusnya sampai 7 kali.
  • Di area lampu hijau, laki-laki disunnahkan berlari kecil (raml).
6. Tahallul (bercukur)
  • Laki-laki: dianjurkan mencukur habis (halq), boleh juga memendekkan (taqsir).
  • Perempuan: cukup memotong ujung rambut sepanjang 1–2 ruas jari.
7. Selesai Umrah
  • Setelah tahallul, jamaah keluar dari ihram dan larangan ihram selesai.
  • Umrah pun selesai dengan sempurna.
Ringkasannya
  1. Ihram (niat + talbiyah)
  2. Thawaf 7 kali
  3. Shalat 2 rakaat di Maqam Ibrahim
  4. Minum air Zamzam
  5. Sa’i antara Shafa–Marwah (7 kali)
  6. Tahallul (cukur rambut)
  7. Selesai Umrah
Persiapan Umrah yang Lengkap
1. Persiapan Spiritual (Ruhani)
  • Niat ikhlas:Umrah semata-mata karena Allah, bukan gengsi atau wisata.
  • Taubat nasuha:membersihkan diri dari dosa sebelum berangkat.
  • Bekal ilmu:mempelajari manasik Umrah agar ibadah sah dan khusyuk.
  • Doa & dzikir:memperbanyak doa agar perjalanan diberkahi.
  • Dalil: “Ambillah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”(QS. Al-Baqarah [2]:197).

2. Persiapan Fisik: Menjaga kesehatan: olahraga ringan, periksa medis, vaksinasi (jika disyaratkan). Membawa obat pribadi sesuai kebutuhan. Melatih diri dengan berjalan kaki agar siap thawaf dan sa’i.

3. Persiapan Ilmu Manasik: Mengetahui rukun, wajib, dan sunnah Umrah. Memahami larangan ihram. Menghafalkan doa-doa penting, meski boleh berdoa dengan bahasa sendiri. Dalil: “Ambillah dariku manasik kalian.” (HR. Muslim).

4. Persiapan Administrasi: Paspor & visa. Tiket perjalanan dan akomodasi. Uang secukupnya untuk kebutuhan dasar. Asuransi perjalanan (jika ada).

5. Persiapan Mental & Sosial: Membiasakan sabar, disiplin, dan saling tolong-menolong dengan sesama jamaah.

  • Menata hati agar tidak mudah marah atau tersinggung.
  • Menyelesaikan amanah di rumah sebelum berangkat:
  • Melunasi utang.
  • Menitipkan nafkah keluarga.
  • Meminta doa restu orang tua dan kerabat.
6. Persiapan Perlengkapan
  • Pakaian ihram (laki-laki) / pakaian muslimah yang syar’i.
  • Alas kaki yang nyaman.
  • Masker, perlengkapan mandi, sajadah kecil, dan botol minum.
  • Buku doa atau panduan manasik.
7. Persiapan Hati Saat Pulang
  • Menjaga istiqamah setelah Umrah.
  • Menghidupkan suasana keluarga dan masyarakat dengan semangat ibadah.
  • Tidak menjadikan Umrah hanya sebagai kebanggaan, tetapi sebagai energi perubahan akhlak dan sosial.
Pesan Etika Jamaah Umrah: Menjadi Tamu Allah dengan Akhlak Mulia

1. Jaga Lisan: Hindari marah, debat, apalagi kata-kata kasar. Dalil: “Barangsiapa berhaji tanpa rafats (ucapan keji) dan fusuq (maksiat), ia kembali seperti hari dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari & Muslim).

2. Hormati Sesama Jamaah: Antri dengan sabar, jangan dorong-dorongan. Ingat, semua jamaah memiliki tujuan yang sama: ibadah.

3. Rendah Hati: Jangan pamer ibadah atau belanja. Jangan merasa lebih mulia dari jamaah lain.

4. Jaga Kebersihan: Buang sampah pada tempatnya. Ingat, kebersihan bagian dari iman.

5. Sopan di Masjidil Haram & Nabawi: Hindari berisik, tertawa keras, atau ngobrol saat orang lain shalat/berdoa. Hargai kesucian tempat.

6. Doakan, Jangan Saling Cela: Saat berdesakan, maafkan dan doakan sesama. Ingat, Allah menguji kesabaran di tengah keramaian.

Godaan selama Umrah

Godaan Shopping: Pasar di Makkah & Madinah memang menggoda, tapi jangan habiskan waktu di sana. Ingat: barang bisa dibeli di mana saja, tapi waktu ibadah di Tanah Haram sangat terbatas. Nabi berpesan: “Dua nikmat yang sering dilalaikan manusia: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari).

Fenomena Selfie Berlebihan: Boleh mengabadikan momen secukupnya, tapi jangan mengganggu kekhusyukan. Jangan sampai thawaf, sa’i, atau doa berubah jadi sesi foto. Ingat: di Tanah Haram kita menjadi tamu Allah, bukan turis. “Umrah bukan hanya thawaf dan sa’i, tetapi juga belajar sabar, rendah hati, dan menjaga akhlak. Pulang bukan hanya membawa pahala, tetapi juga akhlak mulia yang menjadi bekal hidup.”

Hukum Berutang untuk Umrah

Para ulama berbeda pendapat: Pendapat mayoritas (jumhur): tidak dianjurkan bahkan bisa makruh, jika berutang akan memberatkan diri dan keluarga. Karena syaratnya adalah istitha‘ah. Jika harus berutang, berarti belum mampu. Sebagian ulama: boleh berutang jika yakin bisa melunasi dengan mudah tanpa menzalimi diri sendiri atau keluarganya. Misalnya, ada penghasilan tetap yang cukup untuk membayar. Karena Allah tidak menuntut ibadah Umrah dari mereka yang belum mampu.

Jika orang miskin harus berutang untuk Umrah, itu bertentangan dengan semangat syariat. Islam tidak pernah membebani di luar kemampuan. Nabi SAW bersabda:“Apabila aku perintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhari-Muslim).

Sayangnya, di masyarakat ada tekanan sosial: “malu belum pernah Umrah atau Haji.” Akibatnya, ada orang miskin rela berutang atau menjual harta pokok hanya demi status sosial. Padahal hal ini tidak sesuai dengan maqashid syariah: menjaga jiwa, menjaga harta, dan menjaga keluarga. Lebih utama bagi orang miskin untuk:

  • Mencukupi kebutuhan keluarga terlebih dahulu.
  • Menyelesaikan utang jika sudah ada.
  • Bersedekah sesuai kemampuan. Lebih mulia seorang miskin yang sabar, jujur, dan dermawan dengan sedikit hartanya, daripada seorang kaya yang bolak-balik Umrah tetapi lupa pada tanggung jawab sosialnya. Amal Pengganti Bagi yang Belum Mampu

Orang yang tidak mampu tetap bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan amal yang sama nilainya dengan Umrah, antara lain:

  • Shalat di masjid dengan berjamaah.
  • Menolong sesama, bersedekah, menyantuni yatim dan dhuafa.
  • Menuntut ilmu dan mengajarkannya.

Pesan Sosial dan Spiritual

  • Jangan terjebak pada prestise sosial: bolak-balik Umrah untuk “gengsi” sementara tetangga kelaparan.
  • Jangan merasa hina bila belum Umrah; Allah menilai ketulusan dan amal saleh, bukan status perjalanan.
  • Lebih utama membantu fakir miskin, membiayai pendidikan anak yatim, atau menyelesaikan utang sendiri daripada memaksakan Umrah dengan hutang.

Umrah Berulang bagi Orang Kaya: Antara Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial

1. Keutamaan Umrah: Rasulullah ﷺ bersabda: “Umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim). Jadi, Umrah berulang ada pahalanya, terutama bila diniatkan sungguh-sungguh mencari ridha Allah. Penting memperbanyak dzikir, doa, dan istighfar selama di Tanah Suci.

2. Bahaya Formalisme Ritual: Umrah bisa kehilangan makna jika hanya jadi “wisata religi” atau sekadar status sosial. Padahal Allah tidak butuh jumlah perjalanan, tetapi hati yang tunduk dan amal yang nyata.

3. Skala Prioritas dalam Ibadah

  • Ibadah mahdhah (ritual)seperti Umrah penting.
  • Ibadah ghair mahdhah (sosial)seperti menolong miskin, menyekolahkan anak yatim, atau membangun rumah sakit juga ibadah yang lebih dibutuhkan masyarakat. Nabi ﷺ bersabda: “Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Thabrani).

4. Cermin untuk Orang Kaya

  • Jika Allah sudah beri rezeki berlimpah, gunakan Umrah sebagai penguat spiritual.
  • Tetapi setelah itu, alihkah sebagian hartauntuk:
  • Memberdayakan fakir miskin.
  • Mendukung pendidikan anak-anak kurang mampu.
  • Menyelesaikan masalah sosial di sekitar. Dengan begitu, Umrah menjadi sumber energiuntuk melahirkan amal sosial yang lebih luas.

Penutup

Umrah berkali-kali dengan biaya ratusan juta rupiah bisa menjadi bentuk israf jika pada saat yang sama umat masih diliputi kemiskinan, ketimpangan pendidikan, dan masalah sosial lainnya. Sementara harta yang seharusnya bisa dialokasikan untuk beasiswa anak yatim, pembangunan sekolah, atau bantuan kesehatan, justru habis untuk perjalanan yang lebih mirip wisata.

Al-Qur’an sebenarnya telah mengingatkan bahwa ibadah sejati tidak boleh berhenti pada simbol, melainkan harus berbuah pada akhlak dan kepedulian sosial.“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi kebajikan ialah beriman kepada Allah… serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta…”(QS. Al-Baqarah [2]: 177).

Ayat ini jelas menegaskan bahwa kesalehan ritual harus menyatu dengan kesalehan sosial. Jika ibadah berulang-ulang dilakukan tanpa lahirnya solidaritas kemanusiaan, maka yang terjadi hanyalah kesalehan simbolik yang hampa.

Umrah yang benar-benar berhasil (mabrur) tidak diukur dari berapa kali seseorang melakukannya, melainkan dari sejauh mana ia menjadi pribadi yang lebih ikhlas, lebih sabar, lebih jujur, dan lebih peduli pada sesama.

Sekali Umrah yang berkualitas lebih mulia daripada sepuluh kali Umrah yang hanya meninggalkan foto, cendera mata, dan status sosial.

Maka, mari kita membaca fenomena ini dengan jernih: bukan untuk melarang Umrah berulang kali, tetapi untuk mengingatkan bahwa esensi ibadah adalah perubahan diri dan transformasi sosial. Jika tidak, kita hanya akan terjebak dalam “kesalehan semu” yang jauh dari pesan Al-Qur’an dan teladan Nabi.

Banyak orang melaksanakan Umrah, tetapi tidak semuanya bisa dikatakan berhasil atau mabrur. Para ulama menekankan bahwa ukuran keberhasilan ibadah Umrah bukan sekadar selesai thawaf, sa’i, atau tahallul, melainkan apakah ada perubahan nyata dalam diri dan perilakunya setelah pulang dari tanah suci.

Jadi, ukuran keberhasilan Umrah bukanlah berapa kali seseorang melaksanakannya, melainkan apa yang berubah dalam hidupnya setelah kembali. Jika setelah Umrah seseorang semakin taat kepada Allah, semakin mulia akhlaknya, dan semakin peduli pada sesama, maka itulah tanda Umrah yang mabrur. Semoga kita semua mendapatkan umrah yang mabrur dan menjadi insan kamilah berakhlak mulia, amin Ya Rabbal ‘Alamin.