|

Muslimah Reformis

Mengapa Perempuan Lebih Religius? (Pengalaman Ibadah bersama Jemaah Lajnah Imaillah)

Oleh: Musdah Mulia

Menerjang kegelapan malam, menerobos kabut tebal berselimut debu, menghadang cuaca dingin yang menusuk persendian, serombongan perempuan berjalan beriringan, melangkah pasti dengan penuh kedamaian, mereka abai dengan semua kondisi alam yang mencekam. Jam di tangan menunjukkan pukul 03.00 waktu Qadian, sementara waktu Subuh pukul 06.20, lebih lambat dari waktu Jakarta, dan biasanya matahari terbit pukul 07.40. Pantas saja langit demikian kelam, meski terlihat lampu-lampu penerang jalan, belum cukup memberikan cahaya.

Para perempuan dengan baju dingin tebal berlapis-lapis, berjalan penuh gairah menuju satu tujuan, yaitu Masjid Mubarak. Terlihat wajah-wajah berseri penuh bahagia, cuaca dingin dua derajat celcius tak mampu menggerus semangat ibadah mereka. Kerinduan spiritual membuncah, menggelorakan tekad, tak mudah menyerah pada rintangan apa pun. Itulah kekuatan keyakinan, dan begitulah bekerjanya agama.

Kondisi tersebut tidak bisa dijelaskan secara rasional dengan dalil-dalil logika. Kepercayaan dan keimanan tak membutuhkan penjelasan kritis dan analisis filsafat, cukup dihayati dan diamalkan sesuai keyakinan. Saya meyakini, agama sepenuhnya adalah jalan menuju Tuhan. Dengan beragama diharapkan manusia menjadi lebih manusiawi, lebih mengedepankan sifat-sifat kemanusiaan, seperti keadilan, kejujuran dan cinta-kasih. Karena itu, mari menjadikan agama sebagai mata air yang mengalirkan cinta-kasih, kedamaian dan kebahagiaan bagi semua manusia.

Beribadah dengan khusyuk dalam keheningan

Masjid Mubarak merupakan masjid pertama didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah tahun 1883. Masjid ini terletak di distrik Gurdaspur, Qadian di Punjab, salah satu negara bagian India. Kota ini terkenal sebagai tempat kelahiran Mirza Ghulam Ahmad dan Jemaat Islam Ahmadiyah yang didirikannya. Tidak heran jika jemaat Ahmadiyah menganggap Qadian sebagai kota suci setelah Makkah dan Madinah. Mereka juga menjadikan Masjid Mubarak sebagai tempat suci ketiga menyusul Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Setelah perluasan beberapa kali, masjid Mubarak kini mampu menampung jamaah dalam jumlah cukup besar. Walau demikian, tetap saja tempat bagi perempuan tidak lebih besar dari tempat para lelaki. Kondisi ini bertentangan dengan semakin tingginya semangat beragama kaum perempuan.

Setibanya di area masjid, kami diarahkan menuju pintu khusus untuk perempuan. Kami membuka alas kaki dan sebagian langsung mengambil tempat untuk memulai shalat.  Sebagian lagi berjalan menuju tempat wudhu sebelum bergabung dengan jemaat lainnya. Di masjid kami merasa lebih hangat sehingga dapat menunaikan ibadah dengan nyaman. Saya memerhatikan mereka segera melakukan shalat tahajud dengan khusyuk karena itu merupakan salah satu ajaran penting, seperti terbaca dalam baiat mereka.

Suasana spiritual di Masjid Mubarak terasa seperti melaksanakan umrah dan haji. Di sini berkumpul para perempuan, berasal dari berbagai negara. Mereka memiliki bahasa dan tradisi berbeda, warna kulit berbeda, cara berpakaian berbeda, termasuk ketika shalat. Meski pada umumnya mereka tidak saling mengenal, namun kesamaan keyakinan sudah cukup membuat mereka bersikap ramah, penuh respek satu satu sama lain. Semua keberagaman di antara mereka melebur dalam satu identitas, perempuan Ahmadiyah.

Para perempuan Ahmadiyah tergabung dalam satu organisasi, disebut Lajnah Imaillah. Organisasi ini, antara lain menghimpun perempuan Ahmadi agar memiliki komitmen selalu menjaga dan menjalankan dengan sekuat tenaga sepuluh syarat baiat dalam setiap langkah hidupnya. Menarik dicatat, salah satu baiatnya berbunyi: Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa mendirikan shalat Tahajud, dan mengirim salawat kepada Junjungan Yang Mulia Rasulullah saw. dan memohon ampun dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukurinya dengan hati tuIus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan. Penting pula diketahui bahwa setiap baiat dalam Ahmadiyah selalu dimulai dengan dua kalimat syahadat: Saya bersaksi, bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah, Tuhan yang Maha Esa dan tidak ada sekutu baginya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Kelompok Ahmadiyah tidak menulis pujian terhadap Nabi Muhammad dengan singkatan saw, seperti umumnya dilakukan, melainkan menulisnya dengan lengkap, yaitu Shallalahu ‘alaihi wasallam. Hal itu sebagai penegasan bahwa yang mereka imani sepenuhnya adalah Rasulullah saw, seperti umat Islam lainnya.

Ketika shalat tahajud, umumnya mereka melakukan sujud terakhir cukup lama. Sujud lama di akhir shalat juga kebetulan menjadi tradisi saya selama ini, karena yakin itulah momen paling sakral. Di saat itulah saya biasanya menumpahkan semua kerinduan pada Sang Pencipta. Seolah saya tak mau berpisah dengan-Nya. Pada detik-detik ini saya menghaturkan semua puja-puji, permohonan maaf atas semua khilaf dan dosa, dan memanjatkan segala doa untuk kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Bukan hanya doa untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang tua, para sesepuh dan semua keluarga. Bahkan juga, terselip doa untuk kelompok tertindas dan untuk kemashlahatan semua manusia. Hanya saja, saya biasanya melakukan hal itu ketika shalat tahajud dalam kesendirian, bukan ketika berada dalam keramaian seperti di masjid.

Tak peduli kondisi keramaian, beberapa jemaah perempuan begitu lama sujud sambil menangis sesenggukan. Pengalaman spiritual seperti ini biasanya saya alami ketika berada di sekitar Baitullah di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Selain shalat tahajud dan lainnya, sebagian melakukan tadarus Al-Qur’an. Ketika terdengar azan subuh, semua bersiap shalat berjamaah. Sayang sekali kami tak bisa melihat imam shalat karena berada di tempat berbeda bersama jemaat lelaki. Usai shalat sebagian langsung bergegas pulang. Tidak seperti tradisi di lingkungan Nahdhatul’ Ulama, zikir dan doanya panjang setelah shalat.

Satu keunikan di lingkungan Ahmadiyah, mereka umumnya berdoa dalam keheningan, demikian juga ketika shalat, selain suara imam, tak terdengar suara apa pun. Hening dan senyap! Terus terang, saya suka keheningan, karena itu salah satu ciri kerendahan hati. Mestinya dalam beribadah kita menjaga agar jangan berisik, berusaha tidak mengganggu ketenangan dan kenyamanan orang lain.

Agama sepenuhnya untuk kemanusiaan

Love for All hatred for None, slogan inilah yang membuat saya jatuh cinta pertama kali pada Ahmadiyah, dan itu terjadi tahun 2000. Sejak itu, saya tertarik mempelajari ajaran Ahmadiyah, bahkan, harus belajar Bahasa Urdu untuk memahami pandangan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad. Ketika itu saya memimpin ICRP, organisasi lintas iman yang sangat aktif memperjuangkan hak kebebasan beragama bagi semua kelompok di Indonesia, khususnya bagi  minoritas agama, termasuk Islam Ahmadiyah.

Setiap tahun Jemaat Ahmadiyah berkumpul di Qadian menyelenggarakan kegiatan keagamaan tahunan bernama Jalsa Salana. Kegiatan ini dihadiri ribuan orang berasal dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka bukan hanya menghadiri kegiatan resmi Jalsa Salana yang kegiatan intinya berlangsung selama tiga hari, melainkan juga melakukan ziarah dan kunjungan ke tempat-tempat yang mereka anggap suci. Di antaranya, rumah kelahiran Mirza Ghulam Ahmad, tempat turunnya wahyu, tempat beliau bermeditasi dan aktivitas spiritual lainnya, tempat baiat pertama, tempat mengajar pertama, makam beliau dan keluarganya serta para wali dan tokoh-tokoh yang berjasa. Selama di Qadian, para jemaah selalu shalat berjamaah, khususnya di Masjid Mubarak, melaksanakan Shalat Tahajud dan berbagai ibadah lainnya. Selain jemaah Ahmadiyah, juga hadir sejumlah tamu yang khusus diundang dari berbagai negara, seperti kehadiran saya di sini. Kami peserta dari Indonesia ditempatkan di Wisma Indonesia bernama Saraye Ayoob, nama ini dinisbahkan kepada pendakwah Ahmadiyah generasi pertama di Indonesia.

Berbeda dengan umat Islam arus utama, jemaat Ahmadiyah memiliki kewajiban meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw, walaupun bukan nabi pembawa syari’at. Syari’at yang dianut Jemaat Ahmadiyah adalah syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Karenanya, mereka hanya percaya kepada kitab suci Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Selain sebagai nabi yang tidak membawa syari’at, Mirza Ghulam Ahmad juga diyakini sebagai Nabi Ummati, yakni Nabi yang sekaligus umat   Nabi Muhammad saw. Di samping itu, juga diyakini sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau’ud semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal ma’ruf (segala hal yang baik). Mereka menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan ataupun ikatan kerja. Konsep keimanan ini agak sulit dimengerti oleh mereka yang bukan pengikut Ahmadiyah.

Sebagai orang yang memperjuangkan hak kemerdekaan beragama, saya bisa memahami dan menghargai kepercayaan mereka. Ini hanyalah persoalan tafsir terkait apa yang dimaksudkan dengan nabi terakhir (khataman nabi). Bagi kalangan mainstream, tidak ada lagi nabi setelah Rasulullah saw. Berbeda dengan Ahmadiyah, mereka mengakui ada nabi setelah Rasulullah walaupun tidak membawa syari’at. Karena itu kalimat Syahadat dan Shalawat mereka tidak berbeda dengan umat Islam mayoritas. Menurut hemat saya, sepanjang mereka tidak memaksakan keyakinan tersebut kepada orang lain, di mana letak salahnya? Kita tidak dipaksa percaya kepada keyakinan mereka, demikian sebaliknya. Mari meyakini kepercayaan masing-masing, dan yang terbaik di antara kita adalah orang yang paling banyak memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada sesama dan semesta alam.

Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan pesantren dan menjalani kehidupan sosial di lingkungan Nahdhatul Ulama, saya merasa berada dalam perjalanan yang sama (the same journey) dengan jemaat Ahmadiyah. Bukankah agama hanyalah jalan menuju Tuhan? Mengapa kita harus mendebatkan atau mengklaim kebenaran sendiri dengan menegasikan kebenaran lainnya? Biarlah Sang Pencipta bekerja menorehkan rahmat dan karunia kepada para hamba-Nya. Kita hanya perlu lebih mengkhusyukkan ibadah dan doa, berharap kita semua termasuk golongan hamba-hamba yang beriman sesuai kehendak-Nya.

Agama sepenuhnya untuk manusia, bukan untuk Tuhan! Yakinlah, Tuhan tidak memerlukan apa pun dari semua makhluk ciptaan-Nya, Dia Maha segalanya. Itulah mengapa keberagamaan seseorang harus berimplikasi pada kemanusiaan. Artinya, wujud kesalehan seseorang seharusnya bukan hanya bersifat individual, melainkan juga memberikan dampak sosial dengan membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya.

Saya begitu yakin, seseorang yang beragama secara penuh atau memiliki spiritual yang kuat bukan hanya mampu mengedepankan sikap humanis penuh kasih sayang, melainkan juga memiliki sikap toleransi dan respek kepada semua manusia yang berbeda agama dan kepercayaan, bahkan juga terhadap mereka yang tak beragama sekalipun. Hanya Tuhan berhak menghakimi manusia! Selama berwujud manusia, kita cukup berfastabiqul khairat sesuai perintah Al-Qur’an. Berkontestasi melakukan kebaikan sambil menjalin silaturahim, kolaborasi dan komunikasi yang hangat dan intens di antara kita.

Mengapa lebih banyak perempuan?

Selama dua minggu mengikuti kegiatan spiritual Ahmadiyah, saya melihat lebih banyak perempuan daripada lelaki. Perempuan terlihat lebih aktif dalam banyak hal. Misalnya, ketika shalat lima waktu, terutama shalat subuh di Wisma, perempuan selalu lebih dulu siap di tempat menunggu imam yang pastinya harus lelaki. Para perempuan terlihat memiliki ikatan solidaritas yang kuat dan sangat sigap memberikan bantuan kepada sesama. Perempuan Ahmadiyah terlihat otonom, berdaya dan mandiri. Buktinya, beberapa di antara mereka hadir di sini dengan upaya sendiri, tidak ikut rombongan. Kebanyakan datang tidak bersama suami atau muhrimnya. Mereka merasa mendapatkan perlakuan yang adil di lingkungan Ahmadiyah, meski Huzur (panggilan buat Khalifah Ahmadiyah) tidak memberikan kesempatan bagi perempuan menjadi imam atau mubaligh.

Peningkatan semangat perempuan dalam beragama dikonfirmasi oleh hasil penelitian Pew Research Center tahun 2007. Perempuan ternyata lebih religius dalam berbagai cara dibandingkan laki-laki, antara lain lebih sering berdoa dan lebih percaya kepada Tuhan. Perempuan cenderung lebih terbuka mengenai persoalan pribadi, dan perempuan juga lebih mempunyai hubungan yang erat daripada laki-laki. Hal itu mengarahkan kepada kedekatan hidup spiritual mereka. Lihat saja buktinya di Indonesia, kita menyaksikan hampir semua majlis taklim dan acara keagaman selalu didominasi perempuan.

Sejumlah faktor menguatkan pendapat mengapa perempuan lebih religius. Di antaranya, komunitas keagamaan dapat menyediakan jaringan sosial yang kuat. Komunitas keagamaan bagi banyak perempuan menyediakan kenyamanan, memperjelas tujuan hidup, dan jaringan pendukung, terutama ketika menghadapi tantangan sosial di mana mereka mungkin merasa kurang berdaya atau tidak memiliki kendali.

Faktor penyebab lainnya sering dikaitkan dengan peran perempuan sebagai pengasuh dan penekanan pada pemeliharaan nilai-nilai dalam banyak agama. Biasanya, seseorang beralih ke agama karena alasan mencari makna hidup, kedamaian, atau jawaban atas pertanyaan mendasar kehidupan, seperti hakikat keberadaan manusia, penderitaan, dan moralitas. Bagi banyak orang, agama memberikan rasa kebersamaan, kerangka moral, tapi juga penghiburan, khususnya di masa-masa sulit dimana kondisi ini paling sering dialami perempuan. Bahkan, perempuan sering melihat agama sebagai cara unik untuk menanamkan nilai-nilai dan moral positif pada anak-anak mereka.

Salah satu kelebihan perempuan Ahmadiyah adalah partisipasi dan kontribusi mereka yang nyata dalam kehidupan keagamaan berupa kewajiban membayar candah, di luar kewajiban zakat. Candah dari Bahasa Urdu Chandah adalah semacam konsep filantropi di lingkungan Ahmadiyah.  Serupa dengan infak dan sedekah, tapi ini untuk kepentingan sosial dan keagamaan yang sudah ditentukan besaran kadar, waktu dan lembaga pengelolanya. Tujuan awal candah dicanangkan oleh Mirza Ghulam Ahmad untuk menyebarkan ide-ide kemahdiannya yang pada saat sekarang tujuan itu sudah lebih luas. Adapun jenis-jenis pendistribusian antara lain bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial, baik nasional maupun internasional, juga lembaga sosial kemanusiaan (humanity first), dakwah dan upaya perbaikan lingkungan.

Kewajiban membayar candah, termasuk bagi perempuan, melahirkan sebuah kesadaran tentang pentingnya keberdayaan ekonomi, dan ini sangat urgen dalam kehidupan perempuan. Saya menemukan sejumlah perempuan mengaku candah yang mereka bayarkan lebih besar dari jumlah yang dikeluarkan para suami. Besarnya candah juga bisa dijadikan ukuran ketaatan dan kepatuhan. Kaum perempuan Ahmadiyah mengelola sendiri dana yang merupakan bagian mereka tanpa intervensi laki-laki.

Dengan membayar candah, para perempuan tersebut diajarkan kesadaran “memiliki” sehingga mereka tergugah untuk berjihad, berjuang mengembangkan, bukan hanya kepercayaan Ahmadiyah, melainkan juga menumbuhkan rasa kemanusiaan yang penuh cinta-kasih dan ikatan solidaritas persaudaraan yang kuat di lingkungan mereka, itulah love for all hatred for none, mencintai semua, tidak membenci siapa pun.

Saya merasakan aura relationship yang kuat di antara mereka, terutama jika salah seorang jatuh sakit atau mengalami kesulitan. Jika ada masalah, tanpa komando salah seorang dari mereka akan sigap membantu. Sikap itu berlaku bagi semua anggota, tanpa diskriminasi sedikit pun. Kebetulan kami sekamar empat orang. Jika ada yang batuk atau flu segera diberikan obat. Saya merasakan kedekatan dan kehangatan meski baru bertemu secara dekat dengan mereka di sana. Dalam hal pengobatan, lingkungan ini mengembangkan suatu bentuk pengobatan alternatif bernama homeopathy. Prinsip dari pengobatan ini adalah penggunaan larutan dari bahan alam, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Prinsip pengobatan homeopathy sebenarnya bukan untuk mengatasi penyakitnya melainkan meningkatkan daya tahan tubuh. Jika daya tahan sudah baik, dengan sendirinya tubuh akan melawan penyakit tersebut.

Meski berada ribuan kilometer dari rumah, para perempuan yang sedang menekuni kehidupan spiritual di Qadian, juga tak lupa tugas-tugas domestik mereka. Saya sering tersenyum melihat para ibu memberikan instruksi via telpon kepada suami untuk lebih memperhatikan anak-anak, menanyakan apakah anak perempuannya sudah tiba di rumah, apakah PRT sudah mengerjakan tugasnya. Bahkan, seorang ibu sekaligus pengusaha kuliner tetap bisa memberikan arahan bisnis kepada keluarga dan juga staf marketingnya. Perempuan memang luar biasa, kemana pun mereka pergi, keluarga tetap membayang di pelupuk mata. Sesungguhnya, respek dan kepedulian pada keluarga dan sesama adalah cermin spiritualitas diri.

Pangeran Muhammad bin Salman dari Arab Saudi belum lama mengeluarkan fatwa progres terkait penghapusan muhrim atau mahram. Bagi saya, itu menyedihkan karena perempuan Ahmadiyah sudah lama mengimplementasikan pandangan progres tersebut. Tahun 2003 ketika mengikuti Jalsa Salana di London, sejumlah perempuan hadir tanpa muhrim mereka.

Dalam perjalanan pulang dari Punjab ke Jakarta, saya sungguh merasakan betapa besar rasa percaya diri perempuan. Rombongan kami semuanya perempuan, kami adalah pemimpin, setidaknya bagi diri sendiri. Kami tidak perlu merasa sok kuasa dan sok memimpin. Kami hanya perlu musyawarah kemudian mufakat, indah kan? Kekuatan spiritual membimbing kami kepada sikap santun saling menyayangi. Sejujurnya, ini merupakan pengalaman spiritual yang berlimpah kasih sayang. Women make a difference for a more humane civilization!

Download file disini