Buku Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan di Indonesia karya Musdah Mulia, yang diterbitkan oleh Kibar Press, Yogyakarta pada Februari 2008:
📖 Informasi Umum
- Judul: Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan di Indonesia
- Penulis: Siti Musdah Mulia
- Penerbit: Kibar Press, Yogyakarta
- Tahun Terbit: 2008
- Halaman: xx + 369 halaman
✍️ Latar Belakang Penulis
Siti Musdah Mulia adalah feminis Islam, aktivis dan akademisi yang pertama meraih gelar doktor Pemikiran Politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah (1997). Ia telah aktif dalam berbagai organisasi keagamaan dan gerakan perempuan, serta menulis banyak karya tentang hak, politik, dan kesetaraan gender dalam Islam.
🧭 Ringkasan Isi Buku
🎯 Tema Utama
Buku ini dikembangkan sebagai respons terhadap depolitisasi perempuan—fenomena marginalisasi perempuan dalam ranah publik dan politik—yang dianggap bersifat sistemik dan berlangsung lama di Indonesia. Musdah menyoroti bahwa politik sering dipersepsikan sebagai ruang maskulin, kotor, dan tak layak bagi perempuan.
🧱 Hambatan Struktural dan Kultural
Musdah membahas hambatan normatif dan struktural seperti stereotip patriarkal, norma budaya, serta kebijakan bersifat bias gender yang mengukuhkan perempuan menjadi warga negara kelas dua. Ia menyoroti organisasi perempuan yang terjebak dalam Panca Dharma Wanita sebagai contoh konstruksi sosial yang membatasi ruang politik perempuan.
📚 Pendidikan Politik dan Advokasi
Buku ini merefleksikan pengalaman Musdah sebagai koordinator program pendidikan pemilih (voter education) bagi perempuan akar rumput menjelang pemilu 1999. Ia juga menekankan pentingnya advokasi hukum, pendidikan politik, dan pendampingan aktif agar perempuan tidak lagi “buta politik” tetapi memiliki kapasitas dan literasi politik yang memadai.
🧠 Dekonstruksi Tafsir Bias Gender
Musdah menggunakan pendekatan historis dan hermeneutis untuk mendekonstruksi tafsir-tafsir keagamaan yang dianggap bias gender. Menurutnya, teks agama bersifat mutlak, namun penafsirannya relatif dan harus responsif terhadap konteks masyarakat modern agar relevan dan adil gender.
🏛 Rekomendasi Kebijakan Publik
Musdah menyarankan reformasi dalam formulasi dan proses kebijakan publik, termasuk:
- Partisipasi inklusif di semua tahapan kebijakan
- Prinsip demokrasi yang menjunjung keadilan gender
- Transparansi dan pertanggungjawaban dalam implementasi
- Metode komunikasi politik yang mudah dimengerti dan terbuka .
Mengapa Penting buku ini?
Membahas kemandirian politik perempuan di Indonesia sangat penting karena menyangkut tiga aspek fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: demokrasi yang sehat, keadilan gender, dan transformasi sosial. Berikut penjelasan menyeluruh:
🏛 1. Demokrasi Tanpa Perempuan = Demokrasi Cacat
- Demokrasi menuntut keterwakilan yang inklusif, tapi kenyataannya partisipasi politik perempuan masih minim, baik sebagai pembuat kebijakan maupun pemimpin eksekutif.
- Indonesia adalah negara dengan populasi perempuan sekitar 50%, tetapi di banyak forum pengambilan keputusan, perempuan masih minoritas.
- Tanpa kehadiran perempuan, isu-isu khas perempuan—seperti kesehatan reproduksi, kekerasan berbasis gender, perlindungan buruh perempuan, dan keadilan keluarga—tidak mendapat perhatian memadai.
🧠 2. Melawan Warisan Patriarki Politik
- Sejarah Indonesia mewarisi budaya politik patriarkal, di mana laki-laki dianggap “alamiah” sebagai pemimpin.
- Politik kerap dilabeli sebagai dunia keras, kotor, penuh konflik—yang secara stereotip “tidak cocok” bagi perempuan.
- Kemandirian politik perempuan adalah upaya mendobrak stereotip ini, menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap, melainkan aktor aktif dan penggerak perubahan.
⚖️ 3. Keadilan Substantif, Bukan Sekadar Kuota
- Banyak kebijakan hanya bersifat simbolik—misalnya aturan kuota 30% perempuan di parlemen—tetapi tidak menjamin perempuan duduk di posisi strategis.
- Kemandirian politik berarti perempuan punya kesadaran, kapasitas, dan kekuatan tawar, bukan hanya diorbitkan oleh elit partai sebagai pemanis daftar caleg.
- Kemandirian politik mendorong perempuan tidak tergantung pada kuasa laki-laki, baik dalam keluarga, partai, atau sistem negara.
🗳️ 4. Menguatkan Agenda Pembangunan Inklusif
- Perempuan memiliki perspektif khas dalam hal pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, hingga perdamaian sosial.
- Ketika perempuan memiliki kemandirian politik, mereka bisa memastikan program pembangunan lebih responsif gender, adil, dan menyentuh kebutuhan komunitas akar rumput.
- Banyak riset menunjukkan bahwa kebijakan publik yang digagas oleh perempuan cenderung lebih egaliter dan pro-komunitas.
💡 5. Mendorong Regenerasi dan Etika Politik Baru
- Politik di Indonesia kerap dikuasai oligarki, dinasti politik, dan budaya transaksional.
- Perempuan yang mandiri dan sadar politik bisa menjadi agen regenerasi politik yang lebih bersih, empatik, dan kolaboratif.
- Gagasan seperti “politik keibuan” atau “politik berbasis kepedulian” bisa menjadi alternatif dari model kekuasaan maskulin yang dominan.
📣 Kesimpulan
Membahas dan mendorong kemandirian politik perempuan di Indonesia bukan sekadar urusan representasi jumlah, melainkan bagian dari perjuangan struktural menuju:
- Demokrasi yang adil gender
- Budaya politik yang transformatif
- Negara yang inklusif dan manusiawi
Sebagaimana ditegaskan Musdah Mulia, tanpa kemandirian politik, perempuan akan terus menjadi objek politik, bukan subjek perubahan.
📝 Kesimpulan & Relevansi
- Buku ini menawarkan refleksi teoritis dan tindakan praktis, menggabungkan pengalaman advokasi politik perempuan di tingkat grass root dengan kajian akademis kritis.
- Cocok sebagai bacaan rujukan bagi aktivis perempuan, akademisi gender, pembuat kebijakan, dan siapa saja yang berminat memahami dinamika politik gender di Indonesia.
- Dengan cetak akhir yang relevan menjelang disahkannya pasal kuota perempuan 30% dalam UU Parpol dan Pemilu 2003, buku ini menjadi referensi penting analisis memasuki era politik inklusif selanjutnya.
📊 Konteks Periode 1999–2008
Musdah Mulia menulis buku ini sebagian besar dalam konteks politik Indonesia setelah reformasi, di mana terjadi perguliran kuota gender 30% dalam UU Partai Politik dan Pemilu (sejak 2003). Meskipun aturan ini diterapkan untuk mendorong pencalonan caleg perempuan, kacanya: praktik partai politik belum sepenuhnya memenuhi target keterwakilan wanita dalam daftar dan kursi legislatif. Pada Pemilu 2004 adalah kali pertama implementasi kuota 30% caleg perempuan. Pada Pemilu 2009 (segera setelah buku ini terbit), kursi legislatif nasional yang ditempati perempuan masih di kisaran hanya sekitar 18 % saja.
🧠 Relevansi Teori dalam Buku
Dalam Menuju Kemandirian Politik Perempuan, Musdah mengkritik bahwa keberadaan kuota saja tidak cukup:
- Depolitisasi perempuantetap terjadi ketika perempuan hanya dijadikan objek dalam daftar atau simbol. Partai besar sering menempatkan perempuan di urutan rendah daftar caleg, sehingga peluang terpilih minimal.
- Musdah menekankan perlunya literasi politik akar rumput, pendidikan kelembagaan partai, advokasi hukum pro-gender, dan revisi tafsir agama yang memungkinkan perempuan mengejar posisi Politik nyata dengan landasan legitimasi sosial dan agama.
🔍 Gambaran Data Pasca-Publikasi
Berdasarkan data Nasional setelah era buku ini, kita tahu beberapa hal:
- Setelah kuota diterapkan, persentase perempuan DPR nasional baru naik sekitar 18% (2009) dan terus bertambah sedikit, tapi masih di bawah target kuota kursi.
- Studi oleh UNDP dan organisasi perempuan menunjukkan bahwa kultur politik patriarkal—yang memandang politik sebagai ranah laki-laki—masih kuat meskipun wanita ada dalam daftar kandidat.
- Para peneliti menemukan bias pemilih dan partaiyang tetap mendahulukan laki-laki dalam elektabilitas dan penempatan strategis.
✅ Analisis Sintesis
| Aspek | Temuan & Analisis |
| Kuota 30% (2003–2008) | Syarat pencalonan, bukan kursi yang ditempati → keterwakilan legislatif perempuan hanya sekitar 18 % pada 2009. |
| Posisi caleg perempuan | Banyak ditempatkan di posisi tidak strategis (urut bawah) oleh partai → peluang elektabilitas rendah. |
| Kapabilitas politik | Pendidikan dan pelatihan politik bagi perempuan akar rumput masih minim → menghambat kualitas kepemimpinan politik perempuan. |
| Budaya politik patriarkal | Persepsi umum yang meremehkan perempuan dalam ranah publik tetap mendominasi, termasuk di pemilih dan elite partai. |
🧭 Kesimpulan
- Buku Musdah Mulia menyoroti gap antara ambang batas legislatif (30% caleg perempuan) dan kenyataan kursi terpilih.
- Ia menekankan bahwa tanpa pendidikan politik yang kuat, advokasi hukum, dan transformasi budaya patriarkal, bahkan aturan kuota cenderung menjadi formalitas belaka.
- Data di periode setelah buku ini justru mengonfirmasi prediksi teoretikalnya: bahwa kuota perlu disertai strategi implementasi partai dan budaya politik yang pro-gender.






