|

Muslimah Reformis

Buku Islam Menggugat Poligami 

Buku Islam Menggugat Poligami karya Prof. Dr. Siti Musdah Mulia. Buku ini merupakan salah satu karya penting dalam diskursus Islam progresif dan feminisme Islam di Indonesia.

Penulis: Prof. Dr. Siti Musdah Mulia
Penerbit: Gramedia, 2005
Jumlah Halaman: ±180 hlm

Islam Menggugat Poligami adalah karya penting dalam khazanah pemikiran Islam progresif di Indonesia. Buku ini mengusulkan bahwa Islam sejatinya adalah agama yang mendukung keadilan dan kesetaraan gender, dan karena itu, poligami bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam jika melanggengkan ketidakadilan. Musdah Mulia berhasil menunjukkan bahwa reinterpretasi ajaran Islam sangat mungkin dan perlu dilakukan, terutama dalam isu-isu yang menyangkut kehidupan perempuan dan keluarga

Poligami bukan hanya isu privat dalam rumah tangga, tetapi juga menjadi sumber berbagai problem sosial: ketidakadilan gender, kemiskinan struktural, kekerasan domestik, dan ketimpangan generasi. Karena itu, mengkritisi dan mereformasi praktik poligami — sebagaimana dilakukan Musdah Mulia dalam Islam Menggugat Poligami — adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil dan beradab, baik secara moral keislaman maupun secara sosial.

  1. Pendahuluan

Buku Islam Menggugat Poligami merupakan karya monumental dari Prof. Musdah Mulia yang mendobrak wacana keagamaan arus utama dengan mengangkat persoalan poligami dari perspektif hak asasi manusia, keadilan gender, dan maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan moral syariat Islam). Dalam konteks sosial Indonesia yang masih patriarkis, buku ini menjadi sangat relevan karena mempertanyakan legitimasi teologis dan moral praktik poligami dalam Islam.

  1. Tujuan dan Konteks Penulisan

Buku ini lahir dari keprihatinan terhadap praktik poligami yang seringkali merugikan perempuan dan anak-anak, serta bertentangan dengan prinsip keadilan dan kasih sayang yang menjadi inti ajaran Islam. Penulis menegaskan bahwa poligami bukan perintah agama, melainkan kebolehan yang sangat dibatasi (rukhsah), bahkan dalam konteks kontemporer, bisa ditolak atas dasar prinsip keadilan.

  1. Argumen Teologis dan Tafsir Kritis

Musdah Mulia melakukan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat yang sering dijadikan legitimasi poligami, khususnya:

  • An-Nisā’ [4]: 3– Ayat ini secara umum dipahami sebagai dasar kebolehan poligami. Namun, penulis menekankan bahwa frasa “jika kamu tidak mampu berlaku adil, maka satu saja” justru menunjukkan batasan keras, bukan kelonggaran.
  • Penulis juga menggunakan pendekatan tafsir maqāṣidī(tafsir berbasis tujuan moral syariat), bahwa tujuan utama Islam adalah mewujudkan keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan.

Selain itu, penulis mengutip berbagai pemikir progresif Muslim, seperti:

  • Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan Amina Wadud, yang mendorong penafsiran kontekstual terhadap teks suci.
  • Ia juga mengkritik pendekatan tafsir literalyang mengabaikan konteks historis turunnya ayat-ayat tentang poligami.
  1. Poligami sebagai Masalah Sosial

Buku ini tidak hanya berbasis argumen teologis, tapi juga menampilkan data sosial mengenai dampak negatif poligami:

  • Meningkatnya angka perceraian
  • Kekerasan dalam rumah tangga
  • Trauma psikologis anak
  • Penelantaran ekonomi istri dan anak

Musdah mengangkat pengalaman perempuan yang hidup dalam poligami, yang menunjukkan bahwa praktik tersebut lebih banyak menimbulkan ketidakadilan struktural dan emosional.

  1. Reinterpretasi dan Relevansi dengan Konteks Kontemporer

Salah satu kekuatan buku ini adalah penekanannya pada ijtihad kontekstual. Penulis menegaskan bahwa:

  • Poligami adalah budaya patriarkis Arab pra-Islamyang kemudian direformasi secara bertahap oleh Islam.
  • Dalam konteks saat ini, poligami tidak dapat dibenarkan, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusiadan prinsip monogami yang adil dan setara.
  • Negara dan masyarakat Muslim perlu melakukan pembaruan hukum keluarga dengan melarang atau membatasi keras praktik poligami.

Mengapa poligami menjadi basis berbagai problema sosial dalam masyarakat?

Poligami menjadi basis berbagai problema sosial dalam masyarakat karena praktik ini sering melanggengkan ketidakadilan, ketimpangan relasi kuasa, dan kekerasan simbolik maupun struktural, terutama terhadap perempuan dan anak. Berikut adalah uraian alasan-alasan utama mengapa poligami menciptakan berbagai persoalan sosial:

  1. Ketidakadilan Emosional dan Psikologis
  • Poligami seringkali menimbulkan kecemburuan, konflik batin, dan luka emosionalbagi istri-istri yang terlibat.
  • Anak-anak dari keluarga poligami juga kerap mengalami trauma psikologis, terutama jika melihat ibunya diperlakukan tidak adil atau diabaikan oleh ayahnya.
  • Rasa tidak aman dan penolakan terhadap diri sendiri dapat tumbuh dalam diri anak akibat relasi keluarga yang tidak harmonis.
  1. Ketimpangan Ekonomi dan Penelantaran
  • Tidak semua laki-laki yang berpoligami memiliki kemampuan ekonomiyang cukup untuk menafkahi lebih dari satu istri dan anak-anak mereka.
  • Akibatnya, banyak perempuan dan anak-anak hidup dalam kemiskinan, penelantaran, dan keterbatasan akses pendidikan maupun kesehatan.
  • Ketimpangan dalam distribusi nafkah juga menciptakan kecemburuan dan diskriminasi internal dalam rumah tangga.
  1. Legitimasi Ketimpangan Gender
  • Poligami memperkuat budaya patriarkiyang menempatkan laki-laki sebagai pusat kuasa dalam relasi keluarga.
  • Perempuan dianggap sebagai objek yang bisa “dimiliki” dan “diganti” sesuai keinginan laki-laki.
  • Hal ini menghambat kesetaraan gender dan melanggengkan stereotip subordinasi perempuan.
  1. Merusak Struktur Keluarga dan Stabilitas Sosial
  • Banyak rumah tangga poligami yang berakhir dalam perceraian, kekerasan rumah tangga (KDRT), dan perpecahan keluarga.
  • Anak-anak dari keluarga poligami sering mengalami krisis identitasdan tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tua.
  • Ketidakstabilan ini meluas ke masyarakat, menciptakan generasi yang rentan terhadap kekerasan, kemiskinan, dan radikalisme.
  1. Penyalahgunaan Agama
  • Poligami kerap dilegalkan atas nama agama, padahal dalam praktiknya tidak memenuhi syarat-syarat etis dan keadilan sebagaimana ditetapkan Islam.
  • Ayat-ayat suci ditafsirkan secara literal dan bias gender, sehingga menjadi alat pembenaran bagi dominasi laki-laki.
  • Hal ini menciptakan krisis moral dan etika, karena nilai-nilai agama yang seharusnya membebaskan justru menjadi alat penindasan.
  1. Kontradiksi dengan Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)
  • Poligami bertentangan dengan prinsip HAM, khususnya hak atas kesetaraan, martabat, dan kebebasan memilih dalam relasi pernikahan.
  • Dalam masyarakat yang menjunjung demokrasi dan kesetaraan gender, praktik poligami menjadi bentuk kekerasan struktural terhadap perempuan, baik secara hukum, sosial, maupun budaya.

Apa Langkah Strategis Mengurangi Poligami?

Untuk mengurangi praktik poligami secara sistemik dan berkeadilan, dibutuhkan langkah-langkah strategis multidimensi yang mencakup reformasi hukum, pendidikan publik, dan penguatan peran perempuan. Berikut adalah sejumlah strategi konkret:

🔹 1. Reformasi Hukum Keluarga

  1. Revisi Undang-Undang Perkawinan
  • Batasi poligami hanya untuk kasus sangat luar biasadan harus melalui izin pengadilan agama yang ketat dan transparan.
  • Syarat-syarat poligami (izin istri pertama, bukti ketidakmampuan istri, dll.) harus benar-benar ditegakkan, bukan formalitas administratif.
  1. Moratorium Poligami bagi Pejabat Publik dan ASN
  • Negara bisa menerapkan kebijakan larangan poligami bagi pejabat negara, ASN, dan tokoh publiksebagai bentuk keteladanan etika.

🔹 2. Edukasi Gender dan Hak Perempuan

  1. Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender
  • Pendidikan formal dan keagamaan perlu memasukkan materi tentang hak perempuan dalam Islam, tafsir kontekstual ayat poligami, dan nilai monogami dalam keluarga modern.
  1. Pendidikan Pranikah Berbasis Keadilan Gender
  • Calon pengantin wajib mengikuti pendidikan pranikahyang menekankan nilai kesetaraan, etika pernikahan, dan tanggung jawab emosional serta finansial.

🔹 3. Reinterpretasi Ajaran Agama

  1. Tafsir Kontekstual terhadap Ayat Poligami
  • Dukung para ulama, akademisi, dan tokoh agama progresif untuk menyebarluaskan tafsir yang adil gendertentang QS. An-Nisa: 3.
  • Poligami harus dipahami sebagai rukhsah(dispensasi terbatas), bukan sunnah atau anjuran.
  1. Pelibatan Kiai dan Ustazah Moderat
  • Libatkan tokoh agama, dai perempuan, dan pesantren progresif dalam menyuarakan bahwa Islam mendukung monogami yang adil dan setara.

🔹 4. Pemberdayaan Perempuan

  1. Ekonomi: Perempuan Berdaya, Poligami Berkurang
  • Perempuan yang mandiri secara ekonomilebih mampu menolak atau keluar dari pernikahan poligami yang tidak adil.
  • Dukung program pemberdayaan perempuan dalam UMKM, koperasi, dan kewirausahaan.
  1. Akses terhadap Bantuan Hukum
  • Perluas akses perempuan ke bantuan hukum, khususnya dalam kasus poligami tanpa izin, penelantaran, atau kekerasan dalam rumah tangga.

🔹 5. Kampanye Sosial dan Media

  1. Kampanye Publik melalui Media Sosial dan Massa
  • Gunakan narasi kreatif untuk mendesak perubahan budayayang memuliakan monogami sebagai bentuk cinta dan kesetaraan.
  • Soroti dampak buruk poligamimelalui film, dokumenter, drama TV, dan podcast.
  1. Testimoni Korban Poligami
  • Cerita nyata dari perempuan yang menjadi korban poligami bisa menjadi alat penyadaran publiktentang dampak buruk praktik ini.

🔹 6. Sinergi Lintas Sektor

  1. Kolaborasi Pemerintah–CSO–Tokoh Agama
  • Bentuk koalisi lintas sektor untuk menyusun roadmap pengurangan poligamiberbasis HAM dan keadilan sosial.
  • Dorong Mahkamah Agung dan Kemenag untuk menyusun pedoman teknis ketatsoal permohonan poligami.
  1. Penguatan Basis Komunitas
  • Bentuk kelompok diskusi, majelis taklim perempuan, dan forum lintas agama yang mengampanyekan keluarga adil dan setara tanpa poligami.

🔹 Kesimpulan

Mengurangi praktik poligami bukan hanya soal mengubah hukum, tetapi juga mengubah cara berpikir masyarakat tentang keluarga, agama, dan keadilan. Ini adalah perjuangan budaya, teologis, dan politis sekaligus. Maka, strategi yang dibutuhkan harus menyentuh struktur hukum, sistem pendidikan, dan kesadaran kolektif.