|

Muslimah Reformis

Negara Islam atau Negara Islami?

‘Membangun Indonesia sebagai negara Islami. Bukan negara Islam, agar semua umat Islam di Indonesia dapat berkontribusi, masuk dari berbagai pintu. “Jangan ekslusif” begitulah secelumit pernyataan yang muncul saat menghadiri sebuah diskusi tentang negara Islam. Mengutip artikel di web ayobandung.com disebut kalau  Irlandia dan Selandia Baru itu dinobatkan sebagai negara paling islami di dunia, karena dinilai dapat menerapkan ajaran Islam secara nyata sesuai pedoman Alquran dan Hadits. Bahkan sebagian negara Islam justru menggunakan kekuatan agama sebagai instrumen untuk mengendalikan pemerintahan dan masyarakat. Banyak negara yang mengaku Islam namun justru berbuat tidak adil, korupsi dan terbelakang. Artinya negara tersebut sama sekali tidak Islami.

Wacana tentang negara Islam terus menjadi perdebatan dalam konteks modern, terutama pasca-munculnya berbagai gerakan Islam politik di dunia Muslim. Di Indonesia, perdebatan  memuncak dalam tarik-ulur antara kelompok Islamis dan nasionalis. Prof. Dr. Musdah Mulia hadir sebagai suara progresif yang menggugat ide negara Islam formalistik dan mengajukan konsep negara madani dengan menulis sebuah buku berjudul Negara Islam, terbitan Kata Kita pada 2010 yang juga pernah diterbitkan oleh Paramadina ini merupakan adaptasi dari disertasi doktoral tentang pemikiran politik Islam, terutama melalui tokoh Husain Haikal. Buku ini adalah refleksi intelektual penting atas ide negara Islam yang digugat secara kritis dan ditawarkan alternatif berupa negara madani.

Fokus dan Relevansi dari Buku ini, membahas pemikiran politik tentang konsep negara Islam, dengan analisis terhadap pandangan Husain Haikal, seorang intelektual Mesir yang menulis karya monumental terkait gagasan negara Islam dan hubungan antara agama dengan politik modern. Latar belakang akademis dan reformis, Musdah memberikan tafsir kritis terhadap konstruksi negara Islam yang inklusif, pluralistik, dan demokratis.

Musdah secara lantang memuat penuh relevansi dari pemikiran Haikal bagi Dunia Islam Kontemporer; Negara-negara Islam saat ini menghadapi kebuntuan politik karena konflik antara agama dan negara, Pemikiran Haikal dan Musdah menjadi alternatif untuk menciptakan Islam yang demokratis, pluralis, dan egaliter selain itu Musdah menekankan pentingnya rekonstruksi tafsir agama agar lebih kontekstual dan adil gender.

Buku ini sangat relevan di tengah meningkatnya gelombang politik identitas keagamaan. Musdah Mulia dengan berani menggugat gagasan negara Islam formalis dan menegaskan bahwa substansi ajaran Islam adalah nilai-nilai etis universal, bukan simbol kekuasaan. Ini sejalan dengan perjuangannya membela demokrasi, HAM, dan keadilan gender.

Buku ini juga membeberkan dengan baik hasil tentang NEGARA ISLAM disebutkan, Islam dan Negara merupakan Gagasan Non-Formalistik dan menolak pernyataan Islam yang mewajibkan bentuk negara tertentu. Mengutip pandangan Husain Haikal yang menekankan bahwa Nabi Muhammad membentuk negara Madinah bukan sebagai prototipe teokrasi, melainkan sebagai negara sipil dengan prinsip keadilan, musyawarah, dan kesetaraan.

Musdah juga melalui buku ini mengkritik tajam  Negara Islam Teokratis, Menurut Musdah, formalisasi syariat sering justru mencederai nilai-nilai substansial Islam. Negara Islam versi teokrasi rentan melanggar hak asasi manusia, khususnya terhadap kelompok minoritas dan perempuan. Negara tidak boleh dijadikan alat untuk memaksakan tafsir agama tertentu.

Negara Madani sebagai Alternatif Islami juga diajukan Musdah melalui buku ini, ia mengatakan negara berbasis konstitusi, demokrasi, dan penghormatan terhadap keragaman. Islam tidak harus menjadi identitas negara, tetapi menjadi nilai moral dan etika publik. Negara ini menjamin kebebasan beragama, kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap hak-hak sipil. Pluralisme dan Demokrasi dalam Perspektif Islam juga disampaikan Musdah yang menekankan bahwa pluralisme bukan sekadar toleransi, tetapi pengakuan terhadap hak hidup dalam perbedaan. Demokrasi dalam Islam bukanlah sekularisasi, melainkan jalan rasional untuk mewujudkan syura (musyawarah), adil (keadilan), dan maslahah (kemaslahatan).

Visi pluralisme dan demokrasi, yang disajikan di buku ini, mencerminkan pendekatan Islam yang progresif, inklusif, dan humanis. Musdah meyakini bahwa negara yang Islami bukanlah negara teokratis, melainkan negara sipil (madani) yang menjamin hak-hak semua warga, tanpa diskriminasi agama, suku, gender, atau golongan.

Pluralisme sebagai Nilai Qur’ani jelas menegaskan bahwa pluralitas (taʿaddudiyyah) adalah kehendak Tuhan sebagaimana termaktub dalam QS. al-Hujurat:13 dan QS. al-Baqarah:256.

“Pluralisme bukan sekadar pengakuan atas keragaman, tapi juga kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati.” Bagi Musdah, pluralisme bukan hanya soal antaragama, tetapi juga menyangkut pengakuan terhadap perbedaan pemikiran, gender, budaya, hingga orientasi hidup. Ia menolak diskriminasi atas dasar keyakinan atau identitas sosial.

Buku setebal ±200–250 halaman ini sangat cocok dibaca sabagai bahan kajian para akademisi, peneliti, mahasiswa maupun masyarakat umum yang tertarik dengan ‘Konsep Negara Islam’, jadi Indonesia ini Negara Islami atau Negara Islam?.

Unduh ulasan lengkap Buku Negara Islam: Studi Pemikiran Politik Husain Haikal yang ditulis Musdah Mulia disini