|

Muslimah Reformis

Membaca Kain secara Kritis-Filosofis

Membaca Kain secara Kritis-Filosofis

Musdah Mulia

Cerita Kain menarik karena menggunakan Sastra Grafis: Sastra grafis adalah karya yang memadukan teks dan gambar secara sinergis bukan hanya sebagai ilustrasi, tapi elemen visual ikut membangun makna, suasana, karakter, dan identitas dalam narasi. Kekuatan utama sastra grafis:

  1. Visual + Narasi: Gambar bisa membawa simbol, ekspresi emosi, nuansa yang sulit diraih hanya dengan kata-kata. Ini memungkinkan penyampaian pesan kompleks — seperti konflik, trauma, harapan, identitas — dengan cara yang lebih langsung dan kadang universal.
  2. Aksesibilitas: Untuk mereka yang sulit membaca teks panjang atau literasi rendah, visual bisa membantu menjembatani pemahaman. Bahkan bisa menjangkau pembaca muda, non-bahasa ibu, atau budaya yang lebih mengutamakan visual/hiasan.
  3. Empati & Identifikasi: Gambar dan ilustrasi bisa membuat karakter, setting, suasana jadi “nyata”. Pembaca bisa merasakan, melihat penderitaan, keragaman manusia, konteks sosial dalam visual. Ini memudahkan pembaca mengenali “yang berbeda” sebagai sesama manusia.
  4. Simbolisme & metafora visual: Elemen visual memungkinkan penggunaan metafora, simbol, metafiksi visual, warna, ruang dan komposisi yang memperkuat tema perdamaian atau keberagaman – konflik antar grup, ketidakadilan, diskriminasi, dialog antar budaya – semua bisa disuarakan lewat gambar sekaligus teks.
  5. Potensi kolaborasi & lintas disiplin: Ilustrator, teks, desain visual, tipografi, tata letak, semua ikut menentukan bagaimana pesan tersampaikan. Sastra grafis bisa berpadu dengan seni rupa, budaya lokal, estetika tradisional agar pesan tentang keberagaman dan perdamaian jadi kontekstual dan lebih menyentuh.

Sastra grafis telah menjadi medium baru yang efektif dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan. Dengan menggabungkan kekuatan teks dan gambar, sastra grafis mampu menyentuh pembaca secara emosional sekaligus intelektual. Salah satu karya yang menonjol adalah Kain karya Kanti dan Yuyun, yang menghadirkan kisah persahabatan lintas bangsa antara seorang pengungsi Yaman bernama Ali dan Cipto, pedagang kain batik asal Indonesia di Oman.

Bagaimana Sastra Grafis Menyuarakan Perdamaian dan Keberagaman

  • Mengedepankan narasi alternatif: Memberi ruang untuk suara yang selama ini termarginalkan. Misalnya kisah minoritas, pengungsi, korban konflik, kelompok minor yang suaranya jarang terdengar dalam sastra “mainstream”.
  • Menunjukkan konflik dan resolusi: Sastra grafis bisa menampilkan konflik sosial, akibat diskriminasi, rasisme, konflik antar suku/agama/ bangsa, kemudian memberi ruang refleksi tentang penyembuhan, rekonsiliasi, harapan damai.
  • Menampilkan keberagaman budaya secara visual: Kostum, bahasa, lingkungan, mitos, arsitektur lokal, adat-istiadat, musik, semua bisa divisualisasikan. Ini membantu pembaca memahami bahwa identitas adalah plural, dan indahnya perbedaan itu.
  • Membangun empati lintas generasi & budaya: Anak-anak, remaja, dewasa bisa melihat sudut pandang berbeda; visual membantu menyamakan pengalaman manusia (misalnya gambaran penderitaan, harapan) yang melampaui bahasa.
  • Media edukatif & penyebaran cepat: Dengan medium yang menarik, sastra grafis bisa digunakan untuk menjangkau audiens lebih luas dengan tetap menyampaikan pesan perdamaian dan toleransi.

Sastra grafis (graphic literature) semakin diakui sebagai medium penting dalam menyampaikan pesan sosial dan politik. Menggabungkan kekuatan narasi visual dan teks, sastra grafis mampu menampilkan kompleksitas realitas dengan cara yang lebih mudah diakses, lintas usia, dan lintas budaya. Dalam konteks perdamaian, sastra grafis efektif menarasikan pengalaman korban perang, pengungsi, maupun kritik sosial dengan pendekatan yang estetis sekaligus humanis.

KAIN karya Kanti dan Yuyun menempati posisi menarik dalam khazanah sastra grafis Indonesia. Melalui tokoh Ali, seorang pengungsi asal Yaman, dan interaksinya dengan pedagang batik Indonesia, karya ini tidak hanya menyampaikan cerita pertemanan lintas budaya, tetapi juga menyuarakan kritik atas perang, kekerasan, dan praktik sosial keagamaan yang penuh paradoks. Melalui tokoh Ali, seorang pengungsi asal Yaman yang hidup di Oman, pembaca diajak merenungkan tentang perang, pengungsian, persahabatan lintas budaya, serta kritik satir atas fenomena sosial-religius di Indonesia.

Analisis saya menggunakan perspektif peace studies Johan Galtung, yang membedakan antara negative peace (ketiadaan perang) dan positive peace (keadilan sosial). Saya menemukan bahwa KAIN tidak hanya menyajikan narasi lintas budaya, tetapi juga merupakan teks anti-perang yang menyerukan pentingnya perdamaian, keadilan, dan penghormatan atas keberagaman.

  1. Sastra Grafis sebagai Medium Kritis
    Menurut Hillary Chute, sastra grafis dapat berfungsi sebagai “counter-narrative” yang menantang narasi dominan tentang kekuasaan, identitas, maupun sejarah. Bentuk visual memungkinkan representasi pengalaman traumatis dan satir dengan kekuatan simbolis yang tinggi.
  2. Peace Studies dan Distingsi Perdamaian
    Johan Galtung membedakan negative peace(ketiadaan kekerasan langsung) dan positive peace (kehadiran keadilan sosial, rekonsiliasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar). Analisis ini membantu memahami bagaimana KAIN bukan hanya menolak perang, tetapi juga pentingnya mengidealkan tatanan sosial yang damai seperti digambarkan pada konteks Oman.

Analisis kritis terhadap KAIN

 

1. Sastra Grafis sebagai Medium Perdamaian dan Jembatan Keberagaman

Menggunakan teori Visual Culture (Mirzoeff, 2002), gambar berfungsi bukan hanya ilustrasi, tetapi sebagai “bahasa kedua” yang menyampaikan emosi, simbol, dan kritik. Visual batik = representasi pluralitas Nusantara. Narasi pengungsi = representasi luka global. Keduanya dipadukan untuk menekankan bahwa perdamaian lahir dari kesadaran lintas budaya, bukan dominasi satu identitas.

Visualisasi kain batik, tradisi Arab, dan latar Oman–Indonesia memperlihatkan bagaimana seni dan sastra dapat menjembatani perbedaan. Pesan keberagaman ini semakin kuat karena disampaikan lewat medium grafis, yang bisa menembus batas bahasa dan lebih inklusif bagi pembaca muda maupun dewasa.

2.Kekaguman pada Oman: Simbol Positive Peace dan Kutukan atas Perang                  Berbeda dengan negaranya yang hancur karena perang, Ali mengagumi Oman sebagai negeri yang damai, makmur, dan memperlakukan pengungsi dengan baik. Kekaguman ini menggambarkan positive peace dalam kerangka teori Johan Galtung: bukan sekadar bebas dari konflik, tetapi juga ditandai oleh kesejahteraan, penerimaan, dan keadilan sosial. Oman dalam narasi Ali menjadi model ideal tatanan damai yang seharusnya diperjuangkan dunia. Sebagai pengungsi asal Yaman, Ali digambarkan penuh luka akibat perang Yaman–Saudi Arabia. Ia membatin: “dalam perang tidak ada pemenang; semua pihak sama-sama kalah, meskipun berita menyebut ada yang menang.” Pernyataan ini mencerminkan kritik mendalam terhadap logika perang, yang kerap dipoles dengan narasi kemenangan, tetapi pada hakikatnya meninggalkan kehancuran manusiawi. Ali juga menolak absurditas konflik: bagaimana mungkin sesama Arab berperang, sesama Muslim saling membunuh? Kutukan ini menggema sebagai kritik moral, bahwa perang internal mengingkari semangat persaudaraan yang seharusnya menjadi fondasi identitas mereka.

3.Persahabatan Lintas Budaya: Simbol Kain Batik
Cerita Ali divisualisasikan sehingga pembaca bisa langsung “merasakan” realitas pengungsi: keterasingan, kerinduan, dan pencarian makna hidup. Gambar dan warna dari kain batik menjadi simbol kuat, bukan hanya sebagai komoditas dagang, tapi identitas, persahabatan, dan pintu masuk ke budaya lain. Melalui visual, pesan tentang penderitaan dan harapan seorang pengungsi bisa sampai ke hati pembaca dengan lebih universal.

Pertemuan Ali dengan Cipto, pedagang batik Indonesia membuka ruang persahabatan lintas bangsa. Kain batik yang indah memikat Ali, dan dari kain inilah jalinan dialog terbentuk dan semangat hidup Ali tumbuh. Batik menjadi metafora keberagaman dan keterhubungan: setiap motif adalah bagian dari keseluruhan, sebagaimana setiap budaya menjadi bagian dari mosaik kemanusiaan.

4.  Kain Batik sebagai Metafora

  • Kain batik, dengan ragam motif dan filosofi, dihadirkan sebagai metafora keberagaman sekaligus jembatan persahabatan. Di sini, sehelai kain bukan sekadar komoditas, melainkan simbol diplomasi damai.
  • Batik hadir bukan sekadar motif, melainkan lambang keberagaman (setiap motif punya filosofi, cerita, dan asal-usul).
  • Perjumpaan Ali dengan batik menggambarkan bagaimana seni dan budaya bisa menjadi sarana diplomasi damai.
  • Kain menjadi pengikat identitas, seperti “jaring” yang merajut perbedaan menjadi harmoni.

5. Kritik Satir terhadap Realitas Sosial-Religius Indonesia

Kanti menyisipkan kritik satir melalui Cipto, pedagang batik yang mengundang Ali ke Indonesia: “Datanglah ke negeriku. Kamu bisa jadi habib yang dipuja. Bahasa Arab kamu adalah modal besar.” Dialog ini menyindir fenomena pengkultusan identitas Arab dalam masyarakat Indonesia, sekaligus membuka ruang refleksi tentang otentisitas iman, status sosial, dan peran bahasa dalam hierarki keagamaan. Kritik ini menantang pembaca membedakan antara substansi spiritualitas dan simbol-simbol sosial yang sering dipolitisasi.

Menariknya, satir ini bukan untuk mempermalukan, tapi untuk menyadarkan. Pertama, Perdamaian sejati tidak lahir dari “pemuliaan simbol” semata, melainkan dari penghormatan terhadap manusia secara universal. Kedua, Satir membuka ruang bagi pembaca untuk menertawakan diri sendiri, lalu menyadari absurditas perilaku sosial kita. Ali, seorang pengungsi yang terusir dari tanah kelahirannya, di satu sisi kehilangan martabat. Namun di Indonesia, justru karena identitas Arabnya, ia bisa mendapat posisi mulia. Ini mencerminkan ironi: di tempat asalnya ia tak berdaya, di negeri lain ia berpotensi disembah. Kritik ini menyingkap problem relasi kuasa antara agama, identitas, dan politik di Indonesia.

Kritik terhadap kultus keturunan Arab atau figur habib yang sering kali mendapat privilese religius di masyarakat. Satir ini mengajak pembaca merefleksikan: apakah penghormatan itu lahir dari spiritualitas sejati, atau dari romantisasi simbol Arab semata?

Lalu kritik terhadap perkawinan beda agama. Jika menikah beda agama, maka non-Muslim harus masuk Islam, tapi tidak sebaliknya. Lalu, disebutkan bahwa Muslim Indonesia senang sekali dengan mualaf, apalagi mualaf keturunan asing. Sejak menikahi Farah dan jadi mualaf, dagangan Cipto laris-manis. Meski mualaf, kalau bisa baca Qur’an dan bahasa Arab, akan jadi ustad terkenal dan diundang ke berbagai pengajian

6, Ali dan Transformasi Menuju Perdamaian

Transformasi Ali dari seorang pengungsi yang terluka menjadi sosok yang berkomitmen memperjuangkan perdamaian memperlihatkan potensi individu untuk melampaui trauma melalui persahabatan dan solidaritas lintas budaya. KAINmenegaskan bahwa perdamaian bukan monopoli elite politik, melainkan bisa berawal dari ruang keseharian dari kain, pertemuan yang tulus, dan sikap saling menerima.

7. Perspektif  Postkolonial

Dalam kerangka postkolonial (Edward Said, Orientalism, 1978):

Identitas Arab sering diposisikan superior dalam imajinasi religius Indonesia. Bahasa Arab dianggap sakral, sehingga membawa status sosial tinggi. Kain mengkritik ketimpangan ini dengan cara halus: seorang pengungsi miskin bisa “naik kasta” hanya karena label Arab. Ini adalah ironi postkolonial: bekas jajahan justru mengagungkan simbol dari budaya asing, alih-alih menguatkan martabat lokal.

  1. Perdamaian dalam Perspektif Manusia Biasa

Ali bukan tokoh politik atau pemimpin besar, ia hanya seorang pengungsi. Tapi justru di situlah kekuatan cerita: perdamaian bisa dimulai dari orang kecil dengan pengalaman sederhana. Pesannya: setiap orang bisa menjadi agen perdamaian melalui persahabatan, keterbukaan, dan penghargaan terhadap keberagaman.

  1. Perdamaian sebagai Proyek Kemanusiaan
    Ali yang awalnya pengungsi, melalui persahabatan dan pengalaman lintas budaya, terdorong untuk berjuang demi perdamaian. Narasi ini mengajarkan bahwa perdamaian bukan hanya urusan elite politik, melainkan bisa dimulai dari ruang keseharian: dari sebuah kain, pertemanan, atau pengalaman menjadi “orang asing” yang kemudian diterima dengan baik.

Kesimpulan: Kain memperlihatkan tiga hal utama:

  1. Sastra grafisternyata bisa efektif membangun empati lintas budaya.
  2. Satirmenjadi instrumen kritis untuk membongkar ironi sosial-religius Indonesia.
  3. Batik sebagai metaforamemperlihatkan bahwa seni tradisional bisa menjadi diplomasi damai sekaligus pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Dengan demikian, Kain tidak hanya sebuah karya seni, tetapi juga teks politik-kultural yang menantang kita untuk membangun perdamaian berbasis kesetaraan, bukan kultus simbolik.

KAIN bukan sekadar karya sastra grafis, melainkan juga teks budaya yang menggabungkan estetika, kritik sosial, pencerahan spiritual dan visi perdamaian. Ia menunjukkan bahwa persahabatan lintas identitas, keterbukaan pada tradisi lain, serta keberanian mengkritisi diri sendiri adalah fondasi penting untuk mewujudkan dunia yang damai.

Catatan Kaki

  1. Hillary Chute, Why Comics? From Underground to Everywhere(New York: Harper, 2017).
  2. Bart Beaty, Comics versus Art(Toronto: University of Toronto Press, 2012).
  3. Hillary Chute, Disaster Drawn: Visual Witness, Comics, and Documentary Form(Cambridge: Harvard University Press, 2016).
  4. Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization(London: SAGE, 1996).
  5. Northrop Frye, Anatomy of Criticism(Princeton: Princeton University Press, 1957).
  6. Edward W. Said, Orientalism(New York: Pantheon, 1978).
  7. Nicholas Mirzoeff, An Introduction to Visual Culture(London: Routledge, 2002).