|

Muslimah Reformis

Agama, Etika, dan Hak Asasi Manusia dalam Islam: Antara Teks, Tafsir, dan Praktik Sosial

Oleh: Musdah Mulia

Pendahuluan

Pendahuluan

Saya sangat yakin bahwa semua agama hadir membawa nilai-nilai luhur kemanusiaan, mengakui kemuliaan harkat dan martabat manusia. Menyerukan dipenuhinya hak-hak asasi manusia. Mengutuk semua perilaku kebiadaban, ketidakadilan, keserakahan, dan semua bentuk perilaku dominasi, diskriminasi dan kekerasan berbasis apa pun.

Semua agama menekankan pentingnya hidup sederhana penuh empati kepada sesama, tidak berlebih-lebihan dan menohok rasa keadilan. Seseorang tetap dianjurkan mencari harta sebanyak mungkin, tetapi bukan untuk ditimbun dan dipamerkan dalam gaya hidup mewah, melainkan untuk didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal itu dimaksudkan untuk menghapus ketidakadilan dan ketimpangan sosial.

Paradox Kehidupan Beragama

Sebelum masuk lebih jauh ke pembicaraan terkait etika dan HAM dalam Islam, ijinkan saya mengajak kita semua merenungkan hasil riset Pew Research Centre selama beberapa tahun terakhir ini yang menunjukkan realitas sosiologis yang paradoks. Bahwa negara-negara yang masyarakatnya mengaku religius justru sering diwarnai kriminalitas tinggi, korupsi merajalela, dan konflik sosial.

Lihat saja tiga negara di Asia yang akhir-akhir ini viral dalam pemberitaan. Ketiga negara tersebut adalah Indonesia dengan mayoritas penduduknya (90%) mengaku beragama Islam, Nepal lebih 80% penduduknya mengaku beragama Hindu dan Filipina juga lebih 80% mengaku beragama Katolik. Ketiga negara tersebut viral diberitakan bahwa rakyatnya memberontak karena marah menyaksikan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang demikian meluas. Sebagian besar rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, sementara pejabat dan elit politiknya korupsi, bersikap arogan dan senang memamerkan gaya hidup mewah. Demikian pula, peraturan dan kebijakan publik yang berlaku tidak memihak kepada kepentingan rakyat.

Khusus untuk Indonesia, Paradoks yang dijelaskan Pew Research Centre itu sangat nyata. Hampir semua survei menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia mengaku taat beragama, rumah ibadah berdiri megah di tengah masyarakat miskin. Semarak keagamaan begitu terlihat nyata memenuhi ruang publik, terutama pada waktu Idul Fitri, Natal dan hari-hari besar keagamaan lainnya.

Namun, realitas sosial menunjukkan Korupsi merajalela. Kesenjangan sosial semakin tajam. Diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas masih terjadi dalam praktik hukum, kebijakan, maupun budaya. Konflik berbasis agama dan intoleransi kerap muncul di ruang publik.

Fenomena paradoksal tersebut dapat dijelaskan dari kerangka akademik maupun teologis sebagai berikut. Pertama, religiusitas sering dipahami sebagai identitas simbolik, yaitu sekadar mengenakan atribut agama, rajin ritual, atau mengaku beragama, namun tidak diiringi internalisasi nilai-nilai moralnya. Akibatnya, agama berhenti pada “kulit luar” tanpa membentuk integritas pribadi dan etika sosial. Inilah yang disebut ritualistik religiosity: tampak religius, tetapi perilakunya justru kontradiktif dengan ajaran agama.

Kedua, umumnya di negara yang masyarakatnya religius, agama kerap digunakan untuk menopang legitimasi politik. Ketika agama ditarik ke ranah kekuasaan tanpa kontrol, ia mudah disalahgunakan untuk membenarkan korupsi, diskriminasi, atau bahkan kekerasan. Konflik sektarian sering muncul bukan semata karena doktrin agama, tetapi karena agama dipolitisasi demi kepentingan kelompok tertentu. Itulah bahayanya politisasi agama.

Ketiga, penelitian itu juga menunjukkan bahwa negara-negara yang lebih miskin cenderung lebih religius dibanding negara-negara maju. Sebab, umumnya masyarakat di negara miskin menjadikan agama sebagai pelarian atau “pelipur lara” atau mungkin sebagai candu yang memabukkan. Akibatnya, agama gagal menjadi energi transformatif untuk perubahan struktural.

Keempat, ajaran agama sejatinya sarat nilai kemanusiaan dan keadilan. Namun, ketika tafsir agama hanya menekankan hubungan manusia dengan Tuhan atau semata mementingkan ibadah ritual maka akan terwujud hanya kesalehan individual, sementara etika sosial diabaikan. Inilah sebabnya seseorang bisa rajin beribadah, tetapi tetap korupsi atau melakukan kekerasan terhadap sesama. Melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Melakukan tindakan diskriminasi terhadap mereka yang berbeda keyakinan atau aliran agama. Itulah yang disebut dengan defisit etika publik. Beragama tapi tidak manusiawi.

Sejumlah penelitian sosiologi agama menyebut fenomena ini sebagai paradox of religiosity: semakin tinggi klaim religiusitas, semakin besar pula jarak antara simbol keagamaan dan realitas sosial. Saya yakin bahwa yang lemah bukanlah agama itu sendiri, melainkan cara beragama yang tidak menekankan esensi moral, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Cara beragama yang menghilangkan unsur substansialnya, yaitu keadilan, kesetaraan, kasih-sayang dan empati.

Artinya, penelitian tersebut mengungkapkan bukan agama penyebab ketidakadilan, korupsi, konflik, diskriminasi atau kriminalitas. Sebaliknya, itu mengungkapkan kegagalan internalisasi nilai-nilai agama ke dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Jadi, problemnya bukan pada “agama” tetapi pada “praktik keberagamaan” yang sering berhenti pada simbol, terjebak dalam politik identitas, dan gagal menjadi energi moral transformasi sosial. Dengan ungkapan lain, beragama semata untuk mewujudkan kesalehan sosial, namun abai mengedepankan kesalehan sosial. Tidak heran jika muncul kelompok orang-orang yang taat beragama, tapi tidak manusiawi, kurang empati pada sesama dan kurang peduli pada upaya merawat lingkungan.

Agama dan Etika dalam Islam

Isu mengenai hubungan antara Islam dan hak asasi manusia (HAM) selalu menjadi perdebatan hangat dalam wacana global. Sebagian kalangan menilai Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM modern, terutama dalam isu kebebasan beragama, kesetaraan gender, dan hak-hak minoritas. Pandangan ini diperkuat oleh praktik diskriminatif yang terjadi di sejumlah masyarakat Muslim, yang sering kali dilegitimasi dengan tafsir keagamaan.

Namun, jika ditinjau dari teks-teks suci ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah, Islam justru memiliki landasan etika yang sejalan dengan prinsip HAM. Etika Islam berpijak pada misi rahmatan lil-‘ālamīn, bahwa Islam hadir untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, yang berorientasi pada keadilan, kebebasan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa kecuali.

Islam membawa visi kemanusiaan yang sangat konkret. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah fil-ardh (QS. Al-Baqarah: 30), sebuah status mulia tanpa diskriminasi agama, ras, etnis, atau gender. Khalifah fil ardh artinya pemimpin, pengelola atau manajer dalam kehidupan di muka bumi. Al-Quran menegaskan bahwa semua manusia setara; kemuliaan ditentukan bukan oleh harta, jabatan, atau keturunan, melainkan oleh kualitas takwa, yakni perilaku moral yang menebar kebaikan. Adapun misi manusia adalah amar ma’rûf nahi munkar, yaitu melakukan upaya-upaya humanisasi dan transformasi dengan tujuan mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, kemuliaan manusia di alam semesta (rahmatan lil-‘âlamîn) sehingga semua makhluk merasakan damai.

Berdasarkan visi dan misi penciptaan manusia dalam Islam, sangat jelas bahwa ajaran Islam bukan hanya mengajarkan sistem ritual, melainkan juga menawarkan etika universal. Al-Qur’an berulang kali menekankan bahwa misi kerasulan adalah menyempurnakan akhlak mulia. Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Innamā bu‘itstu li utammima makārim al-akhlāq” (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).

Prinsip-prinsip etika utama dalam Islam meliputi:

  1. Keadilan (‘adl)– Keadilan adalah tujuan pokok syariat (Q. 16:90). Tidak ada legitimasi terhadap diskriminasi atau penindasan.
  2. Kebebasan (ḥurriyyah)– Islam menegaskan “tidak ada paksaan dalam agama” (Q. 2:256). Kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan dijamin.
  3. Persaudaraan (ukhuwwah)– Manusia diciptakan bersuku dan berbangsa agar saling mengenal (Q. 49:13), bukan untuk bermusuhan.
  4. Kehormatan manusia (karāmah insāniyyah)– Al-Qur’an menegaskan: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak Adam…” (Q. 17:70).

Dengan demikian, etika Islam bersifat holistik, mencakup relasi dengan Tuhan (ḥabl min Allāh), dengan sesama manusia (ḥabl min al-nās), dan dengan alam.

Al-Qur’an menegaskan: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam” (QS. al-Isrā’ 17:70). Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan manusia bukan hadiah negara atau masyarakat, melainkan anugerah ilahi yang melekat sejak lahir. Karena itu, setiap manusia berhak atas perlindungan martabatnya, tanpa membeda-bedakan suku, agama, jenis kelamin dan gender, atau status sosial.

Islam dan Hak Asasi Manusia

Dalam konteks syariah, nilai-nilai HAM termanifestasi dalam maqāṣid al-syarī‘ah.  Tujuan obyektif syariat Islam dijabarkan dalam lima hak fundamental manusia, yaitu hak hidup layak, “Barang siapa membunuh seorang manusia tanpa alasan yang benar, seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia…” (Q. 5:32). Lalu, hak kebebasan beropini dan berekspresi, hak kemerdekaan beragama, hak kesehatan reproduksi dan hak properti.

Dengan demikian, menegakkan HAM dalam perspektif Islam bukanlah agenda Barat yang dipaksakan, melainkan panggilan iman kita sendiri. Islam menuntut umatnya menjadi pelopor dalam menjaga martabat manusia. Sebab, Nabi Muhammad ﷺ sendiri telah menegaskan: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Nilai-nilai HAM, khususnya prinsip keadilan sangat ditegaskan dalam Al-Qur’an“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kerabat; dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (QS. An-Nahl: 90). Keadilan dalam Islam bukan sekadar hukum formal, melainkan juga keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Maka, penumpukan kekayaan oleh segelintir orang sementara jutaan rakyat hidup miskin sejatinya adalah pengkhianatan terhadap prinsip Islam.

Islam juga mengangkat harkat perempuan dan melindungi kelompok lemah. Al-Qur’an menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra setara dalam iman dan amal (QS. At-Taubah: 71). Rasulullah ﷺ berpesan dalam khutbah terakhirnya: “Perlakukanlah perempuan dengan baik.” Beliau juga menekankan kepedulian pada fakir miskin, anak yatim, dan mereka yang tertindas. Sabda Rasulullah ﷺ: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” (HR. Ahmad). Sejumlah ayat menekankan pada hak kesetaraan gender dan persaudaraan universal manusia. Di antaranya, ayat-ayat berikut.“Laki-laki dan perempuan yang beriman… Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (Q. 33:35) dan Q. 49:13 menekankan kesetaraan manusia di hadapan Allah.

Selain itu, Piagam Madinah (622 M) yang dirumuskan Nabi Muhammad merupakan dokumen hak asasi manusia pertama yang mengatur kehidupan bersama antar-agama. Di dalamnya dijamin hak-hak komunitas non-Muslim, seperti Yahudi, Nasrani, dan kelompok pagan untuk hidup damai, beribadah, dan mendapat perlindungan hukum.

Tantangan Tafsir dan Praktiknya dalam Masyarakat Islam

Meski secara normatif Islam mendukung HAM, problem utama muncul dalam tafsir dan praktik sosial:

  1. Tafsir literalistik dan bias gender: Ayat-ayat tentang poligami, warisan, atau kepemimpinan sering ditafsirkan secara kaku sehingga melanggengkan bias gender dan ketidakadilan terhadap perempuan.
  2. Justifikasi diskriminasi agama: beberapa konsep dalam Islam, seperti  ahl al-dhimmah, kafir, murtad, jihad dan syahid  sering dimaknai sangat sempit dan literalis sehingga maknanya mengalami reduksi. Tafsir rigid itulah kemudian dipakai untuk membatasi hak-hak non-Muslim, padahal konteks sejarahnya berbeda dengan dunia modern.
  3. Kekerasan berbasis agama: Munculnya kelompok ekstremis dengan menggunakan tafsir rigid dari teks-teks suci untuk membenarkan teror dan kekerasan, padahal Islam menolak kekerasan yang merusak kemanusiaan untuk alasan apa pun.

Pendekatan progresif berbasis maqāṣid sangat penting untuk membaca ulang teks secara kontekstual. Etika Qur’ani harus ditempatkan di atas teks literal, sehingga hukum Islam benar-benar menjadi sarana keadilan, bukan alat penindasan.

Implikasi bagi Masyarakat Muslim Kontemporer
  1. Pendidikan HAM berbasis agama
    Pendidikan Islam harus menekankan bahwa membela HAM adalah bagian dari iman.
  2. Peran pemuka agama
    Ulama dan cendekiawan memiliki tanggung jawab moral untuk menegaskan Islam sebagai agama keadilan, bukan kekerasan.
  3. Dialog antaragama
    Prinsip ukhuwwah insāniyyah harus diwujudkan melalui kerjasama lintas iman.
  4. Kebijakan publik
    Negara-negara Muslim perlu menjadikan prinsip etika Islam sebagai dasar perlindungan hak warga negara tanpa diskriminasi.

Solusi Strategis

  1. Reorientasi Kurikulum Pendidikan Agama:Realitas pendidikan agama di banyak masyarakat Muslim lebih menekankan fikih praktis(halal-haram, sah-batal, wajib-sunnah) ketimbang etika Qur’ani yang universal. Akibatnya, umat sering kehilangan kesadaran kritis bahwa ajaran Islam adalah sistem moral yang menegakkan keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Karena itu, penting melakukan penguatan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dan perguruan tinggi. Artinya, perlu menyeimbangkan antara hukum fikih dengan dimensi etika, filsafat, dan HAM. Selain itu, penting melakukan integrasi maqāṣid al-sharī‘ah: Setiap materi fikih dikaitkan dengan tujuan kemanusiaan (perlindungan jiwa, akal, agama, harta, dan kehormatan). Misalnya, hukum zakat tidak hanya dipelajari teknis pembagiannya, tetapi juga sebagai instrumen keadilan sosial.
  2. Penguatan Paradigma Etika Qur’ani. Pendidikan dan dakwahhendaknya menekankan prinsip keadilan, kebebasan, dan kasih sayang sebagai inti ajaran Islam.Selanjutnya, mengajarkan bahwa ayat-ayat Qur’an bersifat transformatif, bukan sekadar normatif-legalistik. Hal lain yang tidak kurang pentingnya, memperkenalkan literatur tafsir progresif, seperti Fazlur Rahman, Musdah Mulia, Amina Wadud, atau Khaled Abou El Fadl, agar siswa mengenal tafsir yang menekankan HAM.
  3. Pelatihan Guru dan Dai: Guru agama, ustaz, dan dai perlu dibekali pendekatan etis-humanis dalam mengajar.Metode ceramah harus diganti dengan pendekatan dialogis-kritis yang mengaitkan teks agama dengan realitas sosial (kemiskinan, kekerasan, diskriminasi).Ulama dan dai perempuan serta tokoh masyarakat sipil dilibatkan untuk menghadirkan suara alternatif yang menekankan etika dan HAM.
  4. Revitalisasi Masjid dan Forum Keagamaan: Masjid bukan hanya tempat ritual, tetapi pusat pendidikan etika sosial.Khutbah Jumat atau pengajian perlu diisi dengan tema martabat manusia, anti-kekerasan, prinsip keadilan dan kesetaraan gender, dan pluralisme. Lembaga keagamaan bisa membuat modul Islam dan HAMyang mudah diakses masyarakat.
  5. Kemitraan dengan Institusi HAM dan Pendidikan: Lembaga Islam (MUI, ormas, pesantren, kampus Islam) bisa bekerjasama dengan Komnas HAM, lembaga pendidikan, atau NGO untuk menyusun materi HAM berbasis Islam. Pendekatan ini akan mengikis anggapan bahwa HAM adalah agenda “asing,” dengan menunjukkan bahwa HAM adalah bagian integral dari etika Islam.
  6. Pengarusutamaan Gender dan HAM dalam Tafsir: Perlu dorongan agar tafsir yang diajarkan di sekolah dan pesantren memasukkan perspektif kesetaraan gender.Penekanan bahwa Islam memuliakan perempuan (Q. 33:35) dan menolak segala bentuk kekerasan domestik maupun sosial.

Kesimpulan

Islam, etika, dan HAM bukan tiga entitas yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Islam telah meletakkan fondasi etika universal yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Tantangan terbesar justru terletak pada tafsir dan praktik sosial yang sering menyimpang dari nilai-nilai tersebut.

Jika pengajaran agama hanya berputar pada fikih formalistik, umat akan kehilangan ruh etis Islam. Karena itu, revolusi pendidikan agama yang menekankan maqāṣid, etika Qur’ani, dan keselarasan dengan HAM sangat mendesak. Solusi ini menuntut kerja bersama antara negara, ulama, akademisi, dan masyarakat sipil agar Islam dapat tampil sebagai kekuatan moral yang membebaskan, bukan membelenggu.

Kedepan, umat Islam kontemporer dituntut untuk mengembangkan tafsir progresif yang lebih humanis berbasis maqāṣid al-sharī‘ah demi memastikan bahwa Islam menjadi landasan moral yang kokoh bagi penegakan HAM global. Dengan demikian, Islam tidak hanya kompatibel dengan HAM, tetapi juga mampu menjadi motor penggerak etika kemanusiaan universal.

Daftar Pustaka Utama

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usul.
  • Yusuf al-Qaradawi, Dirasat fi Fiqh Maqāṣid al-Shari‘ah.
  • Abdullah Saeed, Islam and Human Rights.
  • Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women.

Etika dalam Islam bersumber pada al-Qur’an, Sunnah, dan refleksi para ulama. Etika ini mencakup panduan moral untuk mewujudkan kehidupan yang baik, adil, dan penuh kasih sayang. Nilai-nilai pokok etika Qur’ani terangkum setidaknya pada lima nilai berikut. Keadilan (‘Adl) – QS. 16:90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…”Kasih Sayang (Raḥmah) – QS. 21:107: Nabi diutus sebagai rahmatan lil-‘ālamīn. Kesetaraan (Musāwah), QS. 49:13: semua manusia setara di hadapan AllahKejujuran dan Amanah (Ṣidq wa Amānah), QS. 33:72 menegaskan amanah sebagai tanggung jawab manusia.

Etika dan HAM berbeda dari sisi sumber, sifat, dan penegakan. Namun, keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Islam, dengan ajaran etika Qur’ani-nya, justru memberikan legitimasi moral yang kuat bagi tegaknya HAM. Tantangannya bukan pada teks Islam, tetapi pada tafsir sempit dan praktik sosial yang mengabaikan etika universal. Karena itu, agenda penting bagi umat Islam adalah menjadikan etika Qur’ani sebagai basis pendidikan agama, sehingga Islam tampil sebagai agama yang sejalan dengan HAM dan berkontribusi bagi peradaban manusia yang lebih adil, setara, dan bermartabat.

HAM bersifat universal, inalienable (tidak dapat dicabut), dan non-diskriminatif. Berbeda dengan etika yang bersumber dari agama atau budaya, HAM lahir dari konsensus global dan mengikat secara hukum bagi negara-negara. Etika ini bersifat normatif dan membimbing perilaku, tetapi tidak selalu memiliki perangkat penegakan hukum positif.

HAM lahir dari sejarah panjang perjuangan manusia melawan penindasan dan kekerasan, yang kemudian dilembagakan dalam Deklarasi Universal HAM 1948. Prinsip utamanya adalah:

  • Hak hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.
  • Kebebasan beragama, berekspresi, dan berserikat.
  • Kesetaraan di depan hukum.
  • Hak atas pendidikan, pekerjaan, dan standar hidup layak.

Perbedaan Etika dan HAM

Aspek Etika HAM
Sumber Agama, budaya, filsafat moral Deklarasi & hukum internasional
Sifat Relatif, kontekstual Universal, mengikat secara hukum
Fokus Baik-buruk, benar-salah Hak dasar manusia
Penegakan Tanggung jawab moral & sosial Tanggung jawab hukum (negara & dunia internasional)

1. Martabat Kemanusiaan (Karāmah Insāniyyah)– QS. 17:70: Allah memuliakan seluruh anak Adam.

Hak Asasi Manusia (HAM)

Perbedaan Etika dan HAM

Aspek Etika HAM
Sumber Agama, budaya, filsafat moral Deklarasi & hukum internasional
Sifat Relatif, kontekstual Universal, mengikat secara hukum
Fokus Baik-buruk, benar-salah Hak dasar manusia
Penegakan Tanggung jawab moral & sosial Tanggung jawab hukum (negara & dunia internasional)

Titik Temu Etika Islam dan HAM

Meski berbeda asal-usul, etika Islam dan HAM memiliki titik temu yang kuat:

  • Keadilan (‘Adl)Hak atas keadilan di pengadilan.
  • Kebebasan beragama (Lā ikrāha fī al-dīn, QS. 2:256)Freedom of religion.
  • Kesetaraan manusia (QS. 49:13)Non-discrimination principle.
  • Karāmah Insāniyyah (martabat manusia, QS. 17:70)Human dignity sebagai dasar HAM.

Dengan demikian, etika Islam dapat berfungsi sebagai fondasi filosofis dan spiritual bagi tegaknya HAM di masyarakat Muslim.

Tantangan dalam Masyarakat Islam

Sayangnya, dalam praktik sosial, pengajaran Islam lebih menekankan fikih ritual dan hukum formal dibandingkan etika universal. Dampaknya:

  • Nilai keadilansering dikalahkan oleh kepentingan politik.
  • Nilai kasih sayangdiabaikan dalam relasi gender maupun perlakuan terhadap minoritas.
  • Nilai kesetaraantergerus oleh budaya patriarki dan sektarianisme.

Akibatnya, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang bertentangan dengan HAM.

Solusi Strategis

  1. Reorientasi Kurikulum Agama– mengedepankan nilai etika Qur’ani sejajar dengan fikih.
  2. Integrasi Maqāṣid al-Sharī‘ah– menjadikan perlindungan jiwa, akal, agama, harta, dan keturunan sebagai dasar tafsir kontemporer.
  3. Pelatihan Guru, Ulama, dan Dai– agar menyampaikan Islam yang ramah HAM.
  4. Revitalisasi Masjid & Lembaga Pendidikan– bukan hanya sebagai ruang ritual, tapi juga pendidikan etika dan HAM.
  5. Kemitraan Global– antara lembaga Islam dan lembaga HAM internasional untuk membangun kesadaran universal.

Inilah titik yang sering menjadi problem serius ketika kita bicara Islam, etika, dan HAM. Ada sejumlah teks Qur’an maupun hadis yang secara literal memang tampak diskriminatif terhadap perempuan atau non-Muslim. Misalnya:

  • 4:3tentang poligami: “… maka kawinilah perempuan yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat…” → sering dipahami sebagai legitimasi poligami.
  • 4:34tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan (al-rijāl qawwāmūna ‘alā al-nisā’).
  • 5:51yang ditafsirkan sebagai larangan memilih non-Muslim sebagai pemimpin.

Pendekatan Mengatasi Teks yang Problematis

Para ulama progresif dan sarjana Muslim kontemporer menggunakan beberapa pendekatan untuk menyelesaikan ketegangan antara teks literal dengan nilai etika universal:

  1. Kontekstualisasi Historis
  • Ayat-ayat tersebut lahir dalam konteks masyarakat Arab abad ke-7 dengan struktur patriarki dan tribalistik yang sangat kuat.
  • Contoh: Poligami sebenarnya ditujukan untuk melindungi janda dan anak yatimpascaperang Uhud, bukan untuk kepentingan nafsu laki-laki.
    1. Pendekatan Maqāṣid al-Sharī‘ah (Tujuan Etis Hukum Islam)
  • Tujuan utama syariat adalah keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan martabat manusia.
  • Jika praktik literal (misalnya poligami) melahirkan ketidakadilan bagi perempuan, maka secara maqāṣid, praktik itu bertentangan dengan tujuan syariat.
    1. Hermeneutika Etis
  • Membaca teks dengan menekankan pesan moral inti, bukan pada redaksi literal.
  • Contoh: QS. 5:51 bisa dipahami bukan sebagai larangan mutlak, melainkan peringatan dalam konteks situasi perangantara umat Islam awal dengan kelompok tertentu dari Ahlul Kitab yang memusuhi mereka.
    1. Distingsi antara Teks Normatif dan Teks Kontekstual
  • Ayat-ayat universal: keadilan, kasih sayang, kesetaraan → bersifat normatif dan abadi.
  • Ayat-ayat terkait relasi gender atau politik → sering kali kontekstual, perlu ditafsir ulang agar sesuai nilai universal Qur’an.

Implikasi bagi Etika dan HAM

  • Jika teks literal dipraktikkan tanpa konteks, lahirlah diskriminasi gender, intoleransi, dan pelanggaran HAM.
  • Jika teks dibaca dengan kacamata maqāṣid dan etika Qur’ani, maka Islam justru memberi legitimasi kuat bagi kesetaraan gender dan penghormatan kepada non-Muslim.
  • Dengan kata lain: yang harus diubah bukan Qur’an, tapi cara menafsirnya.

📌 Dengan perspektif ini, kita bisa mengatakan bahwa:

  • Islam tidak bertentangan dengan HAM, tetapi penafsiran sempit atas Qur’an-lahyang sering melahirkan kontradiksi dengan HAM.

Prinsip metodologis singkat (cara pembacaan tafsir progresif)

  1. Konteks sejarah-sosial (asbāb al-nuzūl, situasi komuniti awal)— pahami latar perang, perlindungan sosial, struktur keluarga abad ke-7.
  2. Maqāṣid al-sharī‘ah— baca teks dengan tujuan syariat: perlindungan jiwa, akal, agama, harta, kehormatan.
  3. Hermeneutika etis— utamakan nilai-nilai universal Qur’an (keadilan, kasih sayang, martabat manusia) ketika teks tampak bertentangan.
  4. Kronologi interpretasi— bandingkan tafsir klasik vs tafsir modern/ilmiah (lihat pemikiran Fazlur Rahman, Amina Wadud, Fatema Mernissi, Khaled Abou El-Fadl dsb.).
  5. Prinsip proporsionalitas— larangan/prinsip yang bersifat kontekstual tidak otomatis bersifat normatif dan universal.

1) QS. 4:3 — “Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim… kawinilah perempuan yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat…”

Terjemahan ringkas: ayat memberi opsi poligami dibatasi syarat keadilan; awalan mengingatkan tentang keadilan kepada anak yatim.

Tafsir klasik (ringkas)

  • Umumnya dipahami sebagai legalisasi poligamidengan syarat bisa berlaku adil; banyak mufassir klasik menekankan syarat adil tetapi membiarkan praktik poligami bagi mereka yang mampu.
  • Konteks historis: pascaperang banyak janda & anak yatim → kebutuhan perlindungan sosial.

Tafsir progresif / etis

  • Konteks perlindungan: ayat harus dibaca dalam rangka kebijakan sosial—melindungi perempuan/anak yatim—bukan sebagai izin tak berbatas untuk poligami.
  • Standar keadilan (ta‘līm al-‘adl): jika syarat “adil” tidak mungkin dipenuhi (banyak bukti empiris menunjukkan mustahil mencapai adil emosional/ekonomi/afektif), maka poligami bertentangan dengan maqāṣid (keadilan & kehormatan).
  • Prioritas kepentingan lemah: hukum harus mengutamakan kemaslahatan perempuan & anak; solusi modern: dukungan sosial, nafkah, program janda/anak yatim sehingga poligami bukan solusi struktural.

Implikasi HAM & gender

  • Pembacaan literal tanpa konteks → memperkuat ketidaksetaraan gender dan potensi kekerasan domestik.
  • Pembacaan etis → menolak poligami sebagai praktik umum bila menyebabkan ketidakadilan; negara/komunitas wajib menciptakan mekanisme perlindungan sosial alternatif.

Rekomendasi praktis

  • Di kurikulum: ajarkan QS.4:3 bersama asbāb al-nuzūl + studi kasus (apa makna “adil” secara faktual?).
  • Kebijakan: batasi izin poligami melalui syarat ketat (persetujuan istri, pembuktian kemampuan materiil & emosional, akses hukum bagi istri).
  • Program sosial: penguatan jaring pengaman sosial untuk janda/anak yatim.

2) QS. 4:34 — bagian tentang “al-rijāl qawwāmūna ‘alā al-nisā’” (laki-laki sebagai pemimpin/penanggungjawab atas perempuan) dan langkah korektif (nasihah, jarāḥah, idribūhunna—kata yang bermasalah).

Terjemahan ringkas & problem utama

  • Ayat menyatakan laki-laki bertanggung jawab atas perempuan karena kelebihan materi/posisi; memberi urutan tindakan ketika istri “nusyuz” (membangkang): nasehat, pisah ranjang, dan (dalam banyak terjemahan klasik) “memukul” (idribūhunna). Kata terakhir sangat kontroversial.

Tafsir klasik (ringkas)

  • Banyak mufassir menafsirkan idribūhunna sebagai pukulan ringan simbolis; beberapa memberikan pembatasan kuat.
  • Penafsiran menekankan hirarki gender domestik; konteks patriarki awal turut mempengaruhi pemaknaan.

Tafsir progresif / etis

  • Pembacaan semantik dan kontekstual:kata idribūhunna dalam beberapa konteks bahasa klasik bisa bermakna “menunjukkan perpisahan/meninggalkan” atau “memberi tanda” — tafsir alternatif menolak makna pukul yang melukai.
  • Maqāṣid & harm principle:tindakan yang merendahkan atau menyakiti bertentangan dengan maqāṣid (ḥifẓ al-‘ird dan karāmah). Jika interpretasi literal memicu kekerasan domestik, maka etika Qur’ani menolak praktek tersebut.
  • Konteks “qawwāmūna”:tanggung jawab laki-laki harus dibaca sebagai kewajiban perlindungan & pemeliharaan (financial & moral), bukan supremasi otoriter.

Implikasi HAM & gender

  • Tafsir literal memfasilitasi normalisasi kekerasan domestik dan ketidaksetaraan legal.
  • Tafsir etis mengarusutamakan perlindungan martabat, penegakan hukum terhadap kekerasan rumah tangga, dan pembagian tanggung jawab yang adil.

Rekomendasi praktis

  • Pendidikan agama wajib membahas sejarah teks + tafsir alternatif yang menolak kekerasan.
  • Lembaga keagamaan mengeluarkan fatwa/imbauan tegas anti-kekerasan domestik yang berdasar maqāṣid.
  • Hukum negara: larangan kekerasan rumah tangga tanpa pengecualian; akses perlindungan & rehabilitasi korban.

3) QS. 5:51 — dibaca oleh sebagian sebagai larangan memilih/non-percayaan kepada non-Muslim (perdebatan tafsir seputar konteks politik/putusan kepemimpinan)

Terjemahan ringkas & isu

  • Ayat sering diterjemahkan: “Janganlah kamu jadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/pemimpin kalian.” Problem: apakah larangan ini universal atau terikat konteks?

Tafsir klasik (ringkas)

  • Banyak mufassir klasik memandang ayat sebagai peringatan agar Muslim tidak mengambil sekutu politik yang memusuhi komunitas Muslim pada masa Nabi; terkait konflik politik dimana beberapa kelompok bersekutu dengan pihak yang memerangi umat Islam.

Tafsir progresif / etis

  • Konteks konflik & kompromi politik:ayat tampak merujuk pada situasi di mana ada “penolong” yang jelas memusuhi dan merugikan komunitas; bukan prinsip universal anti-pluralisme.
  • Prinsip maqāṣid & maslahat:menegaskan perlunya kebijakan publik berdasarkan kebaikan umum (maslahah). Jika memilih pemimpin non-Muslim justru memberi manfaat dan melindungi hak semua warga, maka larangan historis tidak relevan.
  • Pembacaan konstitusional:Qur’an pada banyak ayat menekankan keadilan terhadap non-Muslim yang hidup damai; sehingga menolak pembacaan yang mengekspulsikan non-Muslim dari kepemimpinan sipil.

Implikasi HAM & politik sipil

  • Tafsir literal bisa menjadi basis diskriminatif terhadap warga non-Muslim (penghalang pemilu, pelarangan jabatan publik).
  • Tafsir etis mendukung prinsip nondiskriminasi dalam hak politik (hak memilih & dipilih) selaras dengan norma HAM.

Rekomendasi praktis

  • Dalam pendidikan & khutbah: klarifikasi konteks historis ayat, tonjolkan ayat-ayat lain yang mendukung perlindungan hak minoritas (mis. Piagam Madinah, Q. 2:62, Q. 60:8).
  • Hukum & kebijakan negara: jaminan hak politik universal; larangan undang-undang yang mengecualikan non-Muslim dari jabatan publik.
  • Dialog antaragama: bangun legitimasi sosial bagi kepemimpinan lintas iman lewat praktik inklusif dan contoh.

Contoh ayat lain yang sering dipakai problematik (sebut singkat)

  • 9:5 (ayat pedang) — harus dibaca dalam konteks perjanjian yang dilanggar dan situasi perang; tidak universal.
  • Ayat-ayat yang berbicara soal “ahl al-dhimmah” — konteks perlindungan komunal historis, bukan pembenaran diskriminasi modern.

Pendekatan praktis untuk guru, dai, dan pembuat kebijakan (ringkas)

  1. Kurikum & materi pengajian:sertakan modul tafsir kontekstual dan maqāṣid yang membandingkan tafsir klasik vs progresif.
  2. Pelatihan kapasitas ulama & guru:workshop tentang hermeneutika etis, HAM, dan gender.
  3. Fatwa & pedoman organisasi Islam:keluarkan pedoman yang menolak kekerasan dan diskriminasi, menekankan persetujuan, keadilan, dan perlindungan.
  4. Advokasi hukum:dorong regulasi yang melindungi korban kekerasan domestik & menjamin hak politik minoritas.
  5. Literasi publik:kampanye media menjelaskan konteks ayat-ayat problematik agar mengurangi penyalahgunaan teks.

Konteks historis

  • Masyarakat patriarkal abad ke-7 dengan pembagian peran yang jelas; ‘qawwāmūna’ sering dipahami sebagai tanggung jawab pemeliharaan, bukan semata-kewenangan absolut.
  • “Nusyūz” dikontekskan sebagai gangguan serius terhadap kesepakatan rumah tangga yang pada masa itu berdampak pada kelangsungan hidup keluarga.

Tafsir klasik — ringkasan

  • Sebagian mufassir membaca idribūhunnasebagai “memukul” namun dengan batasan simbolis (tidak melukai), dan menekankan langkah-langkah bertingkat (nasihat → pisah ranjang → pukulan ringan).
  • Tafsir lain memaknai idribūhunnasebagai “meninggalkan” atau “memberi isyarat” (variasi linguistik ada).

Tafsir progresif / etis (argumen)

  1. Analisis bahasa:Kata daraba (akar kata d-r-b) bersifat polisemi; konteksnya menentukan makna. Banyak pemaknaan lain (menunjukkan perpisahan, memberi contoh) yang dapat dipilih untuk menghindari legitimasi kekerasan.
  2. Kontrak sosial & maqāṣid:Prinsip karāmah insāniyyah dan perlindungan dari kekerasan memaksa penafsiran yang menolak tindakan fisik sebagai solusi rumah tangga. Jika interprestasi membenarkan kekerasan, itu bertentangan dengan maqāṣid (perlindungan kehormatan dan jiwa).
  3. Urutan tindakan sebagai mekanisme restoratif:Tafsir etis menekankan upaya restoratif (mediasi, dukungan konseling), bukan hukuman fisik.
  4. Peranan qawwāmūna:Baca sebagai kewajiban tanggung jawab (pemeliharaan ekonomi & perlindungan), bukan legitimasi dominasi.

Implikasi HAM & gender

  • Pembacaan literal memfasilitasi kekerasan domestik dan menjadi justifikasi budaya impunitas; bertentangan dengan hak atas keamanan pribadi dan martabat.
  • Tafsir progresif mendukung larangan hukuman fisik, penegakan hukum anti-kekerasan, serta agenda korban (akses perlindungan & rehabilitasi).

Rekomendasi praktis

  • Fatwa & pedoman agama:Organisasi ulama mengeluarkan pedoman eksplisit bahwa kekerasan domestik tidak dibenarkan, menafsirkan idribūhunna bukan sebagai pembenaran pukulan.
  • Pelatihan imam & guru agama:Modul khusus untuk menangani masalah rumah tangga dengan pendekatan restoratif (mediasi, konseling).
  • Hukum positif:Penegakan hukum anti-kekerasan domestik yang konsisten; tidak ada pengecualian berbasis “nilai agama” untuk pelaku.
  • Layanan korban:Rumah aman, layanan psikososial, jalur hukum khusus.

Pertanyaan kelas / kerangka penelitian

  • Bagaimana interpretasi darababerubah dalam literatur tafsir? Apa efek interpretasi berbeda terhadap tingkat kekerasan domestik di komunitas tertentu?
  • Studi kebijakan: Efektivitas fatwa anti-kekerasan dalam menurunkan kasus KDRT.

3) QS. 5:51 — “Janganlah kamu jadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya’… (dibaca sebagai larangan memilih non-Muslim)”

Teks & terjemahan singkat

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin/penolong bagi kalian; mereka saling menjadi penolong satu sama lain. Barang siapa di antara kamu menjadikannya sebagai penolong, maka dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (parafrase; nuansa kata awliya’ bermacam makna)

Konteks historis

  • Ayat turun dalam situasi konflik politik dan militer di Madinah – di mana sekutu/sekelompok tertentu bersekutu dengan pihak yang memusuhi komunitas Muslim. Ayat memperingatkan potensi bahaya aliansi politik yang mengkhianati komunitas.
  • Awliya’memiliki spektrum makna: pelindung, sekutu, penolong; konteks menentukan nuansa.

Tafsir klasik — ringkasan

  • Banyak mufassir melihatnya sebagai peringatan kontekstual terhadap loyalitas strategis pada pihak yang memerangi komunitas, bukan larangan mutlak terhadap interaksi damai atau kerja sama sipil.

Tafsir progresif / etis (argumen)

  1. Konteks politis temporer:Ayat merespons situasi pengkhianatan politik; tidak secara otomatis melarang kerja sama sipil dalam konteks negara modern yang plural.
  2. Kata awliya’dan ruang arti: Kata dapat menunjuk pada “penjaga/sekutu strategis” dalam konteks perang; membacanya sebagai larangan universal terhadap kepemimpinan non-Muslim mengabaikan konteks.
  3. Prinsip maqāṣid & maslahat:Jika kepemimpinan non-Muslim memberi perlindungan hukum, kesejahteraan, dan pemenuhan hak bagi semua warga, maka tidak ada alasan etis untuk menolak—karena tujuan syariat adalah kemaslahatan bersama.
  4. Dialog pluralisme dalam Qur’an:Banyak ayat (mis. QS 60:8; Piagam Madinah) memberi ruang bagi toleransi dan perlindungan terhadap non-Muslim yang hidup damai.

Implikasi HAM & politik sipil

  • Pembacaan literal dapat membenarkan diskriminasi sistemik dalam hak politik (hak memilih & dipilih), bertentangan dengan prinsip non-discrimination dalam HAM.
  • Tafsir etis mendukung kebijakan inklusif: hak politik universal dan akses jabatan publik tanpa diskriminasi.

Rekomendasi praktis

  • Pendidikan sipil & agama:Ajarkan konteks ayat dan nilai perlindungan hak minoritas; gunakan Piagam Madinah sebagai model inklusi historis.
  • Kebijakan publik:Jamin hak sipil & politik (konstitusional) untuk seluruh warga negara tanpa kecualian agama.
  • Dialog antaragama & praktek:Promosikan contoh kepemimpinan lintas iman dan koalisi inklusif untuk menumbuhkan legitimasi sosial.

Pertanyaan kelas / kerangka penelitian

  • Bagaimana teks-teks Qur’ani mengenai hubungan dengan Ahl al-Kitāb dapat dipakai untuk membangun model kewarganegaraan inklusif?
  • Studi komparatif: Negara Muslim mana yang menerapkan hak politik bagi minoritas secara efektif dan apa peran interpretasi agama dalam proses itu?

Penutup ringkas — langkah implementasi terpadu

  1. Kurikulum agamamesti memasukkan modul tafsir kontekstual & maqāṣid, kasus empiris, dan diskusi etis.
  2. Pelatihan ulama & pendidiktentang hermeneutika etis, HAM, dan gender.
  3. Fatwa & pedoman organisasi Islamyang jelas menentang kekerasan & diskriminasi dan menerjemahkan maqāṣid ke kebijakan.
  4. Hukum & layanan sosial: penegakan hukum anti-kekerasan, jaminan perlindungan bagi perempuan & minoritas, jaring pengaman sosial untuk kelompok rentan.
  5. Literasi publikmelalui khutbah, media, dan pendidikan agar pembacaan etis menyebar ke publik luas.

Referensi awal (untuk bacaan lanjut)

(Rekomendasi penulis/kitab yang sering dirujuk dalam tafsir progresif — Ibu bisa minta saya susun daftar pustaka lengkap)

  • Fazlur Rahman — pendekatan kontekstual & ma‘nawi.
  • Amina Wadud — tafsir gender-sensitive.
  • Fatema Mernissi — kajian patriarki historis.
  • Khaled Abou El-Fadl — etika hukum Islam dan pluralisme.
  • Abdullah Saeed — Islam & HAM.

Tabel: Nilai Etika Qur’ani, Realitas Sosial, dan Dampaknya

Nilai Etika Qur’ani Praktik Sosial Umat Islam Saat Ini Dampak Pengabaian
Keadilan (‘Adl) – QS. 16:90 Ketidakadilan gender, kesenjangan sosial, korupsi, nepotisme Diskriminasi, kemiskinan struktural, hilangnya kepercayaan pada hukum & negara
Kebebasan Beragama (Ḥurriyyah al-Dīn) – QS. 2:256 Intoleransi antaragama/antarmazhab, pelarangan rumah ibadah, pemaksaan ibadah Konflik sosial, kekerasan berbasis agama, rusaknya kerukunan
Kesetaraan (Musāwah) – QS. 49:13 Diskriminasi terhadap perempuan, minoritas agama, dan kelas sosial bawah Ketidakadilan gender, marginalisasi minoritas, disharmoni sosial
Kasih Sayang (Raḥmah) – QS. 21:107 Kekerasan domestik, radikalisme agama, rendahnya kepedulian pada kelompok rentan Kekerasan struktural, stigma sosial, citra Islam yang keras
Kejujuran & Amanah (Ṣidq wa Amānah) – Hadis Nabi Korupsi merajalela, politik penuh kebohongan, dagang tanpa etika Krisis kepercayaan publik, runtuhnya moral ekonomi dan politik
Penghormatan Martabat Manusia (Karāmah Insāniyyah) – QS. 17:70 Perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan, anak, buruh migran, difabel Pelanggaran HAM, dehumanisasi, budaya patriarki yang menindas
Tanggung Jawab Sosial (Takāful Ijtimā‘ī) – QS. 9:60 (zakat) Banyak Muslim kaya tidak menunaikan zakat, orientasi ekonomi kapitalistik Kesenjangan sosial-ekonomi, lemahnya solidaritas, bertambahnya kemiskinan

📌 Dari tabel ini tampak jelas: masalah utama bukan pada teks Islam, tetapi pada praktik sosial dan tafsir sempit yang mengabaikan nilai etika Qur’ani.

Nilai-Nilai Etika

  • Sumber: berasal dari filsafat, agama, budaya, dan tradisi sosial.
  • Hakikat: pedoman baik-buruk, benar-salah, yang idealnya menuntun perilaku manusia.
  • Sifat: relatif (bisa berbeda antar masyarakat atau agama), tetapi ada juga nilai-nilai universal seperti keadilan, kejujuran, kasih sayang.
  • Contoh dalam Islam:
  • ‘Adl(keadilan)
  • Raḥmah(kasih sayang)
  • Amanah(dapat dipercaya)
  • Karāmah Insāniyyah(martabat manusia)
  1. Hak Asasi Manusia (HAM)
    • Sumber: kesepakatan global (Deklarasi Universal HAM 1948) dan instrumen hukum internasional.
    • Hakikat: hak dasar yang melekat pada setiap manusia karena kemanusiaannya, tanpa melihat agama, ras, atau gender.
    • Sifat: universal, non-diskriminatif, tidak dapat dicabut (inalienable).
    • Contoh:
  • Hak hidup (life)
  • Hak beragama (freedom of religion)
  • Hak atas kebebasan berekspresi (freedom of expression)
  • Hak pendidikan dan pekerjaan
  1. Titik Pertemuan Etika dan HAM
    • Etikaadalah fondasi moral yang bisa melahirkan kesadaran HAM.
    • HAMadalah pelembagaan etika dalam bentuk norma hukum positif agar bisa ditegakkan secara mengikat.
    • Jadi, etika memberi ruh, HAM memberi perlindungan hukum.

Contoh:

  • Etika Islam menekankan keadilan (‘adl).
  • HAM mewujudkan keadilan itu dalam bentuk hak atas persamaan di depan hukum dan hak atas pengadilan yang adil.
  1. Perbedaan Inti
Aspek Etika HAM
Sumber Agama, budaya, filsafat Deklarasi & hukum internasional
Sifat Relatif, kontekstual Universal, mengikat secara hukum
Fokus Baik-buruk, benar-salah Hak-hak dasar manusia
Penegakan Tanggung jawab moral & sosial Tanggung jawab hukum (negara & masyarakat internasional)

📌 Jadi, bisa disimpulkan bahwa nilai etika Islam dapat berfungsi sebagai dasar filosofis untuk memperkuat kesadaran dan praktik HAM, sehingga keduanya bukan bertentangan, tetapi saling melengkapi.