Agama, Spiritualisme, dan Feminisme:
Jalan Emansipasi dan Pembebasan Kemanusiaan
Oleh: Musdah Mulia
1.Pendahuluan
Tulisan ini berupaya mengaitkan tiga ranah konseptual yang sering dipisahkan dalam wacana akademik, agama, spiritualisme, dan feminisme, dengan menekankan dimensi pembebasan yang melekat pada ketiganya. Agama sebagai sistem nilai, spiritualisme sebagai pengalaman eksistensial, dan feminisme sebagai kesadaran kritis, bila disatukan, membentuk teologi emansipatoris yang berpihak kepada kemanusiaan universal. Dengan pendekatan hermeneutika feminis dan teologi pembebasan, artikel ini menegaskan bahwa ketiganya dapat berperan sebagai kekuatan transformatif untuk membangun dunia yang adil, setara, dan penuh kasih.
Agama, spiritualisme, dan feminisme sering dipandang sebagai wilayah yang terpisah bahkan saling bertentangan. Agama diasosiasikan dengan dogma dan institusi, spiritualisme dengan pengalaman batin personal, dan feminisme dengan kritik sosial terhadap struktur patriarki. Namun dalam sejarah manusia, ketiganya memiliki akar yang sama: pencarian makna hidup, keadilan, dan kebebasan.
Agama lahir untuk mengatur kehidupan manusia agar selaras dengan nilai-nilai transenden. Spiritualisme muncul sebagai ekspresi personal dari hubungan manusia dengan yang Ilahi. Sedangkan feminisme tumbuh dari pengalaman historis penindasan dan perjuangan perempuan untuk kesetaraan dan martabat. Bila ketiganya dibaca secara dialogis, mereka saling melengkapi: agama memberikan etika normatif, spiritualisme menghadirkan kedalaman eksistensial, dan feminisme menawarkan kritik struktural. Dalam konteks inilah, saya berupaya merumuskan kerangka konseptual yang menyatukan ketiganya sebagai fondasi bagi teologi emansipatoris, yakni teologi yang menekankan pembebasan spiritual, sosial, dan epistemik.
2. Agama sebagai Sumber Etika dan Struktur Sosial
Agama, dalam pengertian sosiologis, tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai struktur sosial yang membentuk relasi kekuasaan dan norma gender.¹ Dalam banyak masyarakat, agama justru menjadi sarana legitimasi bagi dominasi laki-laki atas perempuan, baik melalui tafsir tekstual maupun institusi keagamaan.
Meski demikian, inti moral agama mengandung nilai-nilai universal: keadilan, kasih sayang, dan kesetaraan. Nilai-nilai ini sering tertutup oleh tafsir patriarkal yang mengabsolutkan kekuasaan maskulin atas tubuh dan peran perempuan.²
Feminisme agama hadir untuk menegakkan kembali makna moral agama sebagai jalan pembebasan. Amina Wadud menegaskan bahwa tauhid, prinsip keesaan Tuhan mengimplikasikan kesetaraan ontologis manusia.³ Dengan demikian, segala bentuk diskriminasi gender bertentangan dengan tauhid itu sendiri. Pandangan serupa dikemukakan oleh Asma Barlas, dalam karyanya Believing Women in Islam mengkritik tafsir patriarkal yang menjadikan laki-laki sebagai otoritas tunggal penafsir wahyu.⁴ Barlas berargumen bahwa teks Qur’an sebenarnya bersifat egaliter, namun tafsirnya telah dikonstruksi dalam konteks sosial yang patriarkal. Saya pun mengembangkan gagasan serupa dengan menegaskan pentingnya reinterpretasi ajaran Islam secara kontekstual dan berkeadilan gender.⁵ Dalam Ensiklopedia Muslimah Reformis, saya menekankan bahwa esensi Islam adalah rahmah dan ‘adl (kasih sayang dan keadilan), bukan dominasi atau eksklusivitas. Dengan demikian, agama tidak semestinya menjadi alat penindasan, melainkan sumber daya moral dan spiritual untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketidakadilan.
3. Spiritualitas sebagai Pengalaman Transendensi yang Membebaskan
Jika agama sering terlembagakan dalam sistem hukum dan dogma, maka spiritualisme adalah dimensi eksistensial yang lebih personal dan cair. Ia berfokus pada pengalaman langsung manusia dengan yang Ilahi, di luar batas formalitas institusi. Dalam sejarah agama-agama, perempuan sering menemukan kebebasannya justru melalui jalan spiritual. Spiritualitas menawarkan ruang otentik di mana relasi manusia dengan Tuhan tidak dimediasi oleh hierarki patriarkal. Tokoh seperti Rabi‘ah al-Adawiyyah (w. 801 M), sufi perempuan dari Basra, menegaskan bentuk cinta yang murni kepada Tuhan. Dalam doanya yang terkenal, ia berkata: Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya; jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, tutuplah surga itu dariku; tetapi jika aku menyembah-Mu demi cinta kepada-Mu, jangan jauhkan aku dari keindahan-Mu.
Rabi‘ah menghadirkan bentuk spiritual resistance terhadap logika transaksional agama dan terhadap sistem nilai yang mengurung perempuan dalam domestikasi moral.⁶ Dalam tradisi spiritual feminis Barat, Carol P. Christ dan Starhawk menghidupkan kembali simbol Ketuhanan feminin (the Goddess).⁷ Citra Ilahi yang feminin tidak sekadar mengubah nama Tuhan, tetapi memulihkan dimensi kasih, kesetaraan, dan keberlanjutan alam dalam teologi.⁸ Menurut Rosemary Radford Ruether, spiritualitas feminis memadukan cinta Ilahi dengan kesadaran ekologis dan etika sosial.⁹ Spiritualitas ini bersifat relasional dan menyembuhkan, melawan struktur dominasi yang merusak manusia dan bumi. Dengan demikian, spiritualisme bukanlah pelarian dari dunia, melainkan praksis pembebasan batin yang menumbuhkan kesadaran moral dan ekologis yang lebih dalam.
4. Feminisme sebagai Kesadaran Kritis dan Transformasi Spiritualitas
Feminisme tidak hanya gerakan sosial, tetapi juga epistemologi kritis yang mempertanyakan struktur pengetahuan dan kekuasaan.¹⁰ Dalam konteks keagamaan, feminisme berfungsi sebagai cermin reflektif yang memaksa agama menghadapi sisi patriarkalnya. Feminisme spiritual berupaya menyatukan kesadaran sosial dengan dimensi mistik. Dalam kerangka ini, pembebasan perempuan tidak berhenti pada hak-hak politik, tetapi juga mencakup pembebasan spiritual dari citra-citra Tuhan yang menindas. Ruether menyebut proses ini sebagai the transformation of transcendence, mengubah pemahaman tentang Tuhan dari sosok patriarkal yang jauh menjadi kehadiran ilahi yang imanen, menghidupi seluruh ciptaan.¹¹
Menurut saya, spiritualitas perempuan harus dipahami sebagai kekuatan moral untuk memperjuangkan keadilan sosial, bukan sekadar kesalehan individual.¹² Dalam kerangka Islam, spiritualitas sejati adalah yang menuntun manusia menuju ihsan, yakni kesadaran terus-menerus akan kehadiran Tuhan dalam seluruh tindakan etis. Feminisme spiritual dengan demikian adalah gerakan kesadaran yang menghubungkan pembebasan sosial dengan kedalaman spiritual.
5. Integrasi Tiga Dimensi: Menuju Teologi Emansipatoris
Keterhubungan antara agama, spiritualisme, dan feminisme mengarah pada terbentuknya apa yang dapat disebut sebagai teologi emansipatoris. Teologi ini berpijak pada tiga prinsip utama:
- Tauhid dan Keadilan Ilahiah: Keimanan kepada Tuhan Yang Esa meniscayakan penolakan terhadap segala bentuk hierarki manusia. Ketimpangan gender adalah bentuk syirik sosial karena meniadakan kesetaraan ciptaan Tuhan.¹³
- Pengalaman Spiritualitas yang Membebaskan. Relasi personal dengan Tuhan menumbuhkan kesadaran etis yang mendorong perlawanan terhadap ketidakadilan. Spiritualitas bukan sekadar pengalaman mistik, melainkan energi moral untuk aksi sosial.
- Kesadaran Kritis Feminisme. Feminisme berfungsi sebagai metode analisis sosial dan teologis untuk menyingkap struktur penindasan yang tersembunyi di balik simbol dan bahasa agama.¹⁴
Dalam teologi ini, agama menyediakan nilai, spiritualisme memberi pengalaman, dan feminisme memberikan kesadaran kritis. Ketiganya berjalin menjadi fondasi bagi pembebasan manusia secara utuh, batin dan sosial. Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, pembebasan sejati hanya terwujud jika manusia menjadi subjek yang sadar dan aktif terhadap realitasnya sendiri.¹⁵ Dalam konteks teologi, hal ini berarti menafsirkan kembali wahyu sebagai teks hidup yang terus berinteraksi dengan realitas sosial.
Kesimpulannya, agama, spiritualisme, dan feminisme bukanlah tiga arus yang berseberangan, melainkan tiga dimensi yang saling melengkapi dalam membangun kemanusiaan yang utuh. Agama memberikan fondasi etika, spiritualisme memperdalam kesadaran batin, dan feminisme menawarkan kritik struktural terhadap ketimpangan sosial. Ketiganya, bila dipadukan, melahirkan teologi emansipatoris yang menegaskan bahwa Tuhan berpihak kepada kemanusiaan, bukan kepada kekuasaan; kepada keadilan, bukan dominasi; kepada cinta, bukan penindasan. Dengan demikian, agama yang berjiwa spiritual dan berwawasan feminis bukan hanya relevan untuk perempuan, tetapi bagi seluruh umat manusia yang mendambakan dunia penuh damai, adil, dan setara.
6. Bentuk-Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Praktik Keagamaan Islam
Diskriminasi terhadap perempuan adalah hasil dari internalisasi patriarki ke dalam tafsir dan praksis agama. Agama Islam bukan penyebab, melainkan ruang yang telah diokupasi oleh ideologi patriarki. Diskriminasi terhadap perempuan dalam Islam bukan berasal dari teks wahyu (Qur’an dan Hadis), melainkan dari tafsir patriarkal dan struktur sosial historis yang melingkupinya. Berikut klasifikasinya:
- Diskriminasi Teologis (Tafsir dan Doktrin):
- Konsep “kelebihan laki-laki” (QS. An-Nisa [4]:34) ditafsirkan secara literal dan hierarkis, sehingga menjustifikasi kepemimpinan dan otoritas mutlak laki-laki atas perempuan (qiwāmahdan wilāyah).
- Narasi penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam dijadikan dasar inferioritas ontologis perempuan, padahal tafsir kontekstual menunjukkan simbolisme kesalingan, bukan subordinasi.
- Konsep aurat dan kehormatan sering dijadikan dasar moralitas tunggal perempuan, menempatkannya sebagai simbol kehormatan keluarga/umat bukan sebagai subjek moral yang otonom.
- Diskriminasi Ritual dan Hukum
- Pembatasan peran perempuan dalam ruang ibadah publik, misalnya tidak menjadi imam dan khatib, padahal tidak ada larangan eksplisit dalam Qur’an.
- Hukum keluarga (fiqh munakahat) yang bias, seperti poligami, wali nikah wajib, waris 2:1, dan kesaksian perempuan setengah dari laki-laki ditafsirkan tanpa konteks sosial-historis abad ke-7.
- Larangan perempuan bepergian atau bekerja tanpa izin suami lebih merupakan produk budaya Arab patriarkal ketimbang ajaran normatif Islam.
- Diskriminasi Sosial-Kultural (Struktural)
- Pengabaian otoritas keilmuan perempuan dalam tafsir, hadis, dan fatwa.
- Stereotip bahwa perempuan adalah fitnah, pembawa dosa, atau sumber godaan.
- Praktik sosial seperti kekerasan domestik, kawin paksa, dan pembatasan pendidikan dibungkus dalam wacana keagamaan.
Membaca Diskriminasi dari Perspektif Feminis
Perspektif feminis tidak menyerang agama, tetapi membedakan antara agama sebagai wahyu dan agama sebagai tafsir sosial. Dalam konteks Islam, feminisme berupaya mendemaskulinkan tafsir agar nilai-nilai universal Qur’an: keadilan (‘adl), rahmah, musyawarah, kesetaraan (musāwah) bisa tampak kembali.
- Amina Wadud (Qur’an and Woman, 1999) menegaskan bahwa Qur’an secara fundamental egaliter dan tidak mengandung hirarki gender.
- Asma Barlas (Believing Women in Islam, 2002) menafsirkan bahwa patriarki lahir dari pembacaan androcentrik, bukan dari teks itu sendiri.
- Riffat Hassan menolak narasi penciptaan perempuan dari tulang rusuk dan menegaskan bahwa keduanya diciptakan secara simultan (QS. Al-A’raf[7]:189).
- Musdah Mulia (2019) menekankan bahwa tafsir patriarkal adalah hasil domestikasi perempuan melalui tafsir keagamaan yang eksklusif dan tidak partisipatif.
Feminisme Islam berangkat dari tiga prinsip hermeneutis:
- Tauhid: semua manusia sederajat di hadapan Allah.
- Keadilan (‘adl): nilai sentral wahyu yang harus mewarnai seluruh relasi sosial.
- Rahmah (kasih sayang): pondasi moral hubungan antar manusia.
Feminisme membaca perilaku diskriminatif sebagai:
- Struktur kekuasaan (bukan moral individu semata).
- Bentuk kontrol terhadap tubuh dan ruang gerak perempuan.
- Strategi legitimasi patriarki melalui simbol dan hukum agama.
Dari kacamata feminis, perilaku diskriminatif seperti pembatasan ruang publik bagi perempuan, penolakan kepemimpinan perempuan, atau pembenaran kekerasan domestik, adalah “politik tafsir” yang harus didekonstruksi dan ditafsir ulang dengan prinsip kesetaraan dan keadilan.
Membaca Diskriminasi dari Perspektif Spiritualis Islam
Spiritualitas Islam (tasawuf, tazkiyah, ihsan) menolak hierarki gender karena nilai manusia bukan terletak pada jenis kelamin, melainkan pada kualitas spiritual dan amal kebajikan.
- Prinsip Tauhid dan Kesetaraan Spiritual: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat[49]:13). Ayat ini mendasari kesetaraan ontologis dan spiritual antara laki-laki dan perempuan. Dari perspektif spiritualis, diskriminasi gender adalah bentuk syirik sosial, sebab menempatkan jenis kelamin sebagai sumber kemuliaan, bukan ketakwaan.
- Dimensi Rahmah dan Kemanusiaan: Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya[21]:107) Rahmah bersifat kulliyyah(universal), mencakup seluruh manusia tanpa pembedaan gender. Diskriminasi terhadap perempuan berarti mengkhianati hakikat rahmat Ilahi dalam kehidupan sosial.
- Kesetaraan Spiritual dalam Amal: Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
(QS. An-Nahl[16]:97) “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang berserah diri, beriman, taat, benar, sabar, khusyuk, bersedekah, berpuasa, menjaga kehormatan dan banyak berdzikir Allah sediakan bagi mereka ampunan dan pahala besar.” (QS. Al-Ahzab[33]:35). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa parameter keimanan dan kemuliaan bersifat spiritual dan egaliter. Dari sini, spiritualitas Islam melihat perilaku diskriminatif sebagai penyakit hati: kesombongan (takabbur), ego kuasa (istibdad), dan kelalaian dari prinsip kasih Ilahi. - Dimensi Tasawuf dan Cinta Ilahi: Dalam tradisi sufi (mis. Rabiah al-Adawiyah, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi), Tuhan dipahami sebagai Cinta Mutlak. Ibn Arabi menulis: Al-mar’ah mazhar al-haqq al-akmal”perempuan adalah manifestasi paling sempurna dari keindahan Ilahi. Maka, menindas perempuan berarti menodai keindahan Tuhan itu sendiri.
Sintesis: Perspektif Feminis-Spiritualis
| Aspek | Feminis | Spiritualis |
| Fokus utama | Struktur sosial & tafsir patriarkal | Kesadaran spiritual & penyembuhan hati |
| Tujuan | Dekonstruksi patriarki & kesetaraan sosial | Pemulihan makna rahmah & kesucian manusia |
| Metode | Hermeneutika kritis & advokasi | Dzikir, tazkiyah, dan refleksi batin |
| Titik temu | Keduanya menolak kekerasan, menegakkan keadilan, dan mengembalikan martabat perempuan sebagai khalifah Tuhan di bumi. |
Dengan demikian, membaca diskriminasi melalui lensa feminis-spiritualis berarti: a) Mengkritik struktur patriarki yang mengatasnamakan agama, tanpa kehilangan rasa cinta kepada Tuhan. b) Melawan ketidakadilan sosial sebagai bentuk ibadah spiritual tertinggi. c) Menjadikan teologi pembebasan perempuan bukan sekadar teori, tapi jalan menuju tazkiyah al-nafs, penyucian diri dan masyarakat.
Islam secara normatif mengajarkan keadilan, kesetaraan, dan kemuliaan manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Prinsip ini ditegaskan dalam QS. al-Hujurat [49]:13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” Namun, dalam praktik sosial dan tafsir keagamaan historis, muncul berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam ranah teologis, hukum, maupun sosial-budaya. Perbedaan antara ajaran ilahiah dan penafsiran manusia inilah yang menjadi fokus kritik feminis dan spiritualis.
7. Teologi Emansipatoris
Dalam dekade 1980–2000, muncul gelombang baru yang mengaitkan pembebasan perempuan dengan teologi emansipatoris, seperti Rosemary Radford Ruether (Kristen Feminis). Karyanya Sexism and God-Talk (1983), Gaia and God (1993) mengembangkan feminist liberation theology, yang menegaskan bahwa seksisme adalah bentuk dosa struktural. Teologi harus membebaskan perempuan dan laki-laki dari sistem patriarki.
Dalam Islam, teologi emansipatoris muncul dari hermeneutika feminis Qur’an. Amina Wadud, Musdah Mulia dan Asma Barlas, ketiganya menafsirkan tauhid sebagai dasar teologi kesetaraan. Tidak ada yang berhak mendominasi atas nama Tuhan, sebab hanya Tuhan yang Maha Kuasa. Ini adalah bentuk teologi tauhid yang emansipatoris, menolak hierarki gender dan kekuasaan keagamaan yang menindas. Dalam Ensiklopedia Muslimah Reformis (2019), saya menegaskan bahwa Islam adalah agama rahmah dan ‘adl, yang berarti seluruh ajarannya harus berorientasi pada keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan. Teologi Islam sejati harus membebaskan manusia, khususnya perempuan dari struktur sosial dan tafsir yang diskriminatif.
Substansi Ajaran Teologi Emansipatoris
Teologi emansipatoris memiliki substansi ajaran universal, meski muncul dari konteks yang berbeda. Pokok-pokok ajarannya dapat diringkas sebagai berikut:
1. Preferensi Ilahi bagi yang Tertindas. Tuhan berpihak kepada yang miskin, perempuan, dan kelompok marjinal. Keberpihakan ini bukan diskriminasi, tetapi penegakan keadilan Ilahi terhadap ketimpangan struktural. Tuhan tidak netral di tengah penindasan (Gutiérrez, 1971).
2. Iman sebagai Praksis Sosial: Iman bukan sekadar keyakinan batin, tetapi tindakan nyata untuk mengubah dunia. Dalam pandangan Freire dan Gutiérrez, teologi harus berakar pada praksis sosial yang membebaskan, bukan pada dogma yang beku.
3. Pembacaan Kritis terhadap Teks Suci: Teks wahyu harus dibaca secara kontekstual dengan memperhatikan suara kaum tertindas. Hermeneutika feminis dan tafsir progresif menjadi metode utama dalam menyingkap pesan pembebasan yang dikaburkan oleh tafsir patriarkal atau kolonial.
4. Spiritualitas Pembebasan: Spiritualitas bukan pelarian dari realitas sosial, melainkan energi moral dan eksistensial untuk menegakkan keadilan. Dalam konteks Islam, hal ini tampak pada spiritualitas tauhid yang menolak segala bentuk ketuhanan palsu, termasuk ketuhanan patriarki, kapital, dan kekuasaan.
5. Teologi yang Hidup dan Dialogis: Teologi emansipatoris menolak abstraksi metafisik yang tidak menyentuh realitas. Ia bersifat dialogis: membuka ruang perjumpaan antara iman dan keadilan sosial, antara teks suci dan sejarah manusia, antara agama dan kemanusiaan.
Teologi yang Hidup dan Dialogis: Teologi emansipatoris menolak abstraksi metafisik yang tidak menyentuh realitas. Ia bersifat dialogis: membuka ruang perjumpaan antara iman dan keadilan sosial, antara teks suci dan sejarah manusia, antara agama dan kemanusiaan.
Arah dan Relevansi Teologi Emansipatoris di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, teologi emansipatoris sangat relevan untuk: a) Mengoreksi tafsir agama yang menjustifikasi kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi gender; b) Mendorong agama-agama berperan aktif dalam membela kelompok marjinal (perempuan, anak, difabel, minoritas agama); dan c) Menghidupkan spiritualitas sosial yang mendorong solidaritas dan etika kemanusiaan lintas iman. Dengan demikian, teologi emansipatoris menjadi jembatan antara iman dan kemanusiaan, agama dan keadilan, serta spiritualitas dan solidaritas.
Agama dalam teologi emansipatoris tidak dipahami sebagai sistem dogma yang kaku, tetapi sebagai ruang etis dan spiritual untuk membangun keadilan sosial. Agama berfungsi sebagai landasan moral pembebasan, menolak segala bentuk ketertindasan atas nama Tuhan. Dalam konteks Islam, prinsip tauhid menjadi dasar penolakan terhadap hierarki kuasa (baik berbasis gender, kelas, maupun ras). “Tiada Tuhan selain Allah” berarti tiada manusia yang berhak mendominasi manusia lain atas nama Tuhan.
Spiritualitas dalam kerangka ini adalah kesadaran eksistensial bahwa iman sejati menggerakkan manusia untuk membebaskan diri dan orang lain dari ketidakadilan. Ia bukan pelarian dari realitas sosial, melainkan energi moral untuk tindakan transformatif. Spiritualitas emansipatoris mencakup: Kesadaran ilahiah (kehadiran Tuhan dalam penderitaan manusia); Kesadaran sosial (panggilan etis untuk bertindak demi keadilan). Contoh: dalam Islam, konsep rahmatan lil-‘alamin adalah spiritualitas pembebasan universal.
Feminisme dalam konteks emansipatoris di sini bukan sekadar gerakan sosial, tetapi kerangka hermeneutika untuk menyingkap ketidakadilan gender dalam tradisi keagamaan. Ia mengkritik teologi patriarkal yang menafsirkan Tuhan dan kitab suci secara maskulin. Tujuannya adalah membebaskan teologi dari struktur dominasi, serta mengembalikan makna kesetaraan ontologis manusia di hadapan Tuhan. Para feminis Muslim meletakkan dasar bagi teologi tauhid yang emansipatoris, menolak segala bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan.
Kesimpulan Konseptual
| Unsur | Fokus | Tujuan |
| Agama | Wahyu, etika ilahi | Sumber nilai pembebasan |
| Spiritualitas | Kesadaran transenden yang membumi | Energi moral untuk keadilan |
| Feminisme | Kritik patriarki dan rekonstruksi teologi | Kesetaraan gender dan humanisasi agama |
| Kesadaran Kritis | Refleksi atas struktur penindasan | Transformasi kesadaran sosial |
| Praksis Emansipatoris | Iman yang berbuah tindakan | Realisasi keadilan dan kasih-sayang universal |
- Faktor-Faktor Pendukung
- Tradisi Keagamaan yang Kuat dan Inklusif: Indonesia dikenal memiliki tradisi spiritual dan religius yang sangat hidup. Masyarakat masih menjadikan agama sebagai sumber nilai, moralitas, dan makna hidup. Tradisi Islam Nusantara, Islam Rahmatan lil-‘Alamin,maupun teologi kerukunan di kalangan Kristen dan Hindu merupakan bentuk teologi yang membumi dan dialogis. Tradisi ini menjadi modal sosial dan spiritual bagi tumbuhnya teologi emansipatoris karena nilai-nilai kasih, keadilan, dan keseimbangan sudah terpatri dalam budaya lokal. QS. Al-Hujurat[49]:13: Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Ayat ini sejalan dengan semangat teologi inklusif dan plural Indonesia.
- Kerangka Konstitusional dan Pancasila: Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua: Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, menyediakan ruang teologis yang terbuka bagi semua agama untuk menafsirkan nilai ilahiah dalam konteks kebangsaan. Teologi dapat berperan sebagai penggerak moral bangsa yang mengintegrasikan iman, keadilan, dan kemanusiaan tanpa terjebak pada sektarianisme. Pancasila memberi dasar bagi “teologi publik” teologi yang berperan dalam etika sosial, ekonomi, dan politik tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.
- Perkembangan Wacana Keagamaan Progresif. Dua dekade terakhir, Indonesia mengalami kemajuan dalam studi Islam kontekstual dan interdisipliner: Teologi feminis Islam, Wacana ini menjadi sumber epistemologis bagi teologi yang relevan dengan realitas sosial.
- Peran Lembaga Pendidikan dan Organisasi Keagamaan. Perguruan tinggi keagamaan (seperti UIN, IAIN, STFT, Sekolah Teologi Kristen), serta organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, Walubi, dan PHDI, berperan dalam: Membentuk kesadaran teologis kritis dan moderat; Mengembangkan pendidikan agama berwawasan sosial dan kemanusiaan; Mengimplementasikan nilai-nilai teologi dalam program pemberdayaan masyarakat (filantropi, pendidikan, kesehatan, ekonomi). Mereka adalah aktor penting dalam membumikan teologi di masyarakat.
- Tradisi Kearifan Lokal dan Gotong Royong. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, welas asih, harmoni dengan alam memperkuat praktik teologi yang membumi.
Ini sejalan dengan prinsip teologi emansipatoris: Tuhan hadir dalam solidaritas dan kemanusiaan sehari-hari. Hadis: Sebaik-baik manusia adalah paling bermanfaat bagi sesamanya.(HR.Ahmad) - Faktor-Faktor Penghambat
- Dominasi Teologi Normatif-Formalistik. Di banyak ruang keagamaan, teologi masih dipahami secara abstrak, dogmatis, dan legalistik. Fokus pada ritual, bukan etika sosial; Tekanan pada keseragaman, bukan kemanusiaan; Kurang refleksi terhadap realitas ketimpangan sosial dan gender. Akibatnya, teologi sering kehilangan daya emansipatorisnya dan menjadi alat legitimasi kekuasaan atau patriarki. QS. Al-Ma‘un[107]: 1-3: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”Ayat ini mengkritik iman yang tidak memiliki kepedulian sosial.
- Politisasi Agama: Agama sering dijadikan alat mobilisasi politik yang memecah belah umat.
Ketika teologi disubordinasikan ke dalam kepentingan politik, pesan-pesan moralnya kehilangan kekuatan profetik. Alih-alih membebaskan, ia justru menghasilkan fanatisme, eksklusivisme, dan kekerasan simbolik. - Minimnya Literasi dan Pendidikan Teologis Kritis. Banyak umat memahami agama secara tekstual tanpa tafsir kontekstual. Kurangnya pendidikan teologi kritis di madrasah, pesantren, dan sekolah umum; Minimnya pelatihan interdisipliner (filsafat, sosiologi, gender, lingkungan). Hal ini membuat umat pasif menerima tafsir konservatif, dan sulit mengaitkan ajaran teologi dengan isu sosial kontemporer (kemiskinan, krisis lingkungan, kesetaraan gender, dll)
- Struktur Sosial-Patriarkal dan Hierarki Religius: Dalam masyarakat patriarkal, otoritas keagamaan didominasi laki-laki dan sering menyingkirkan perempuan dari ruang tafsir, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan. Ini menjadi penghambat besar bagi teologi emansipatoris yang menuntut keterlibatan semua umat tanpa diskriminasi. QS. At-Taubah[9]: 71:“Laki-laki dan perempuan beriman, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Ayat ini menegaskan prinsip kesetaraan partisipatif dalam masyarakat.
- Fragmentasi Sosial dan Ekonomi. Ketimpangan sosial-ekonomi yang tinggi menghambat implementasi teologi sosial. Kelompok miskin sering terpinggirkan dari wacana keagamaan; Lembaga keagamaan belum selalu berpihak secara nyata pada kelompok rentan; Solidaritas sosial mulai tergeser oleh individualisme dan konsumerisme. Teologi emansipatoris menuntut solidaritas aktif terhadap kaum mustadh‘afin(tertindas).
- Resistensi terhadap Pembaharuan: Gagasan teologi progresif sering dianggap mengancam kemurnian ajaran. Pemikir feminis kerap dituduh “sesat” atau “menyimpang”. Resistensi ini muncul karena ketakutan terhadap hilangnya otoritas tradisional. Namun justru di sini letak ujian teologi emansipatoris: apakah ia mampu membuka dialog antara iman dan kebebasan berpikir.
- Refleksi dan Arah Strategis
Untuk mengatasi hambatan dan memperkuat implementasi teologi emansipatoris, beberapa langkah strategis diperlukan:
- Mereformulasi pendidikan keagamaan agar menumbuhkan kesadaran kritis, etika sosial, dan empati lintas iman.
- Meningkatkan literasi teologis publik, termasuk tafsir kontekstual berbasis keadilan gender, lingkungan, dan kemanusiaan.
- Mendorong peran aktif perempuan dan kaum muda dalam ruang teologi dan kepemimpinan agama.
- Menguatkan kerja sama lintas agama dan budaya sebagai praksis teologi kerahmatan.
- Menjadikan teologi sebagai inspirasi kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial, pendidikan, dan perdamaian
Implementasi teologi dalam masyarakat Indonesia adalah proses dinamis antara iman, akal, dan realitas sosial. Faktor pendukung menunjukkan adanya kekayaan spiritual dan budaya yang luar biasa, sedangkan faktor penghambat menegaskan perlunya transformasi epistemologis dalam cara kita memahami Tuhan dan manusia. Tidak akan berubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.(QS. Ar-Ra‘d [13]: 11). Ayat ini adalah fondasi teologi emansipatoris Islam: perubahan teologis harus dimulai dari kesadaran dan tindakan manusia.
Teologi harus berevolusi dari teologi normatif menjadi teologi emansipatoris. Itu artinya menolak diskriminasi berbasis gender sebagai bentuk penyimpangan dari tauhid (substansi agama); Menegaskan bahwa iman sejati selalu berpihak pada keadilan dan kasih sayang; Mengubah spiritualitas dari bentuk individualistik menjadi energi sosial transformatif. Dalam konteks Islam, tauhid sejati adalah kesadaran akan kesetaraan seluruh ciptaan di hadapan Tuhan. Menindas perempuan berarti merusak makna tauhid itu sendiri.
Catatan Kaki
- Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion(New York: Anchor Books, 1967), 11–12.
- Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam(Reading, MA: Addison-Wesley, 1991), 25.
- Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective(New York: Oxford University Press, 1999), 31.
- Asma Barlas, “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an(Austin: University of Texas Press, 2002), 10–12.
- Siti Musdah Mulia, Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi(Jakarta: Dian Rakyat, 2019), 24–26.
- Margaret Smith, Rabi‘a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam(Cambridge: Cambridge University Press, 1928), 45–48.
- Carol P. Christ, Laughter of Aphrodite: Reflections on a Journey to the Goddess(San Francisco: Harper & Row, 1987), 19–22.
- Starhawk, The Spiral Dance: A Rebirth of the Ancient Religion of the Great Goddess(San Francisco: Harper & Row, 1982), 33–35.
- Rosemary Radford Ruether, Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing(New York: HarperCollins, 1993), 7–8.
- Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 122.
- Ruether, Gaia and God, 14.
- Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 67.
- Wadud, Qur’an and Woman, 44.
- Barlas, “Believing Women” in Islam, 78–80.
- Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed(New York: Continuum, 1970), 29.
Daftar Pustaka
Barlas, Asma. “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin: University of Texas Press, 2002.
Berger, Peter L. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. New York: Anchor Books, 1967.
Christ, Carol P. Laughter of Aphrodite: Reflections on a Journey to the Goddess. San Francisco: Harper & Row, 1987.
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum, 1970.
Harding, Sandra. Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives. Ithaca: Cornell University Press, 1991.
Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. Reading, MA: Addison-Wesley, 1991.
Mulia, Musdah. Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi. Jakarta: Dian Rakyat, 2019.
———. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Radford Ruether, Rosemary. Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. New York: HarperCollins, 1993.
Smith, Margaret. Rabi‘a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1928.
Starhawk. The Spiral Dance: A Rebirth of the Ancient Religion of the Great Goddess. San Francisco: Harper & Row, 1982.
Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, 1999.






