|

Muslimah Reformis

Review Film Qorin dan Pesan Moral yang disampaikan

Tepat pada tanggal 01 Desember Tahun 2022, IDN Pictures kembali merilis film gendre horror berjudul qorin. Film ini dibintangi oleh Zulfa Maharani, Omar Daniel dan Aghniny Haque, disutradai oleh Ginanti Rona dan diproduseri oleh Susanti Dewi. Cerita ini mengambil latar belakang Pesantren Raudhatul Jannah dengan kehidupan para santrinya. 

Film ini mengingatkan kembali memori saya ketika tinggal di pesantren selama kurang lebih 10 tahun, ciri khas dari pesantren adalah banyakanya kegiatan. Seperti shalat berjama’ah di masjid, bersih-bersih lingkungan pesantren, lalaran quran, serta mengaji berbagai disiplin ilmu Agama dengan para ustadz dan kiyai. Mulai dari hadis, tafsir, gramatikal bahasa arab seperti nahwu, shorof kemudian fiqih dan yang lainnya.

Sosok Zahra (Zulfa Maharani) sebagai salah satu murid rajin dan teladan membuat dirinya dipercaya untuk menjadi ketua angkatan kelas tiga. Karakternya yang lugu membuat Zahra sangat hormat dan selalu nurut apa yang diperintahkan Ustadz Jaelani (Omar Daniel) selaku sosok yang menggantikan pimpinan pesantren yakni kiyai Mustofa yang keberadaannya sengaja dirahasiakan.

Sedangkan Yolanda (Aghnniny Haque) seorang santri baru yang datang dari kota dengan karakternya yang tomboi, cuek dan pemberani. Membuatnya berani mengkritisi kegiatan pondok yang menurutnya tidak rasional dan mencurigakan serta penuh kejanggalan. Seperti halnya praktik ritual memanggil jin qorin yang diajarkan oleh Ustadz Jaelani dengan dalih praktek tersebut akan mendekatkan jiwa kepada sang pencipta dan melupakan urusan keduniawian. Sedari awal ustadz jaelani mengintruksikan praktek ritual, Yolanda sudah mulai curiga bahwa ada yang tidak beres dengan praktek tersebut.

Sumber Wikipedia

Yolanda berusaha membujuk Zahra untuk berbicara kepada Ustadz Jaelani agar membatalkan ujian praktek tersebut, namun usaha Yolanda gagal. Zahra tidak sanggup untuk memenuhi keinginan Yolanda. Singkat cerita, praktek pemanggilan jin qorinpun berlangsung lancar. Apa yang dipikirkan Yolanda terbukti, jasad santri yang mengikuti praktek tersebut berada dalam kendali Ustadz Jaelani. Untuk melancarkan aksi bejatnya Ustadz Jaelani mendirikan sebuah gubuk di belakang pesantren, gubuk itu digunakan untuk melecehkan santri yang sudah berada dalam kendalinya.

Nasi sudah menjadi bubur Zahra hanya bisa menyesali perbuatannya karna tidak berani berbicara kepada ustadz jaelani untuk membatalkan praktek tersebut. Semakin lama semakin banyak santri yang meninggal dan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ustadz Jaelani. Zahra dan Yolandapun bekerjasama untuk mencari cara agar Ustadz Jaelani menghentikan aksi bejatnya.

Film ini sebetulnya tidak sekedar menceritakan tentang pesantren dan jin qorin saja. Tapi ada pesan yang mendalam yang ingin disampaikan film ini. Film ini sebetulnya mirip dengan kasus yang sempat viral beberapa bulan lalu, yakni kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang ustadz disebuah pondok pesantren yang ada di Jombang.

Film ini memperlihatkan dengan jelas adanya relasi kuasa yang timpang dan kuat, sehingga korban kekerasan seksual ini tidak berani untuk speak up, selain membahayakan posisinya sebagai bawahan (santri), korban juga tidak sanggup mendapatkan stigma negative dari orang di sekelilingnya. Mengingat, tidak semua orang mudah untuk percaya atas apa yang terjadi pada diri korban.

Selain itu, di manapun kita berada harus tetap memberdayakan pikiran rasional kita dengan baik, agar bisa memilah dan memilih perilaku baik dan buruk. Jangan sampai sikap fanatik atau pengkultusan atas seseorang membuat kita buta, sehingga mudah saja percaya padahal apa yang kita lihat tidak bisa dimengerti oleh akal sebagai sebuah kebaikan. Allah Swt sering mengingatkan kita dengan firmannya Afala Ta’qilun Afala Tatafakkarun agara kita memaksimalkan penggunaan akal dalam hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan.