Keuangan Syariah yang Inklusif Gender: Strategi Pemberdayaan Perempuan
Musdah Mulia
Pendahuluan
Saya yakin pengembangan keuangan syariah sangat penting bagi Indonesia, bukan saja karena mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi juga karena keuangan syariah perlu lebih dikembangkan sebagai alternatif pilihan untuk kemajuan peradaban manusia.
Tema yang saya angkat dalam sesi ini adalah Keuangan Syariah yang inklusif gender sebagai strategi penting pemberdayaan perempuan. Saya ingin mengangkat peran perempuan dalam keuangan syariah sebagai upaya strategis peningkatan kesejahteraan keluarga. Tema ini penting, karena dalam Islam, keluarga adalah institusi dasar peradaban. Kesejahteraan keluarga menjadi kunci terciptanya masyarakat yang kuat dan berkeadaban.
Pentingnya peran perempuan dalam pengembangan ekonomi syariah
Penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta Muslim dewasa, setengahnya adalah perempuan. Jadi, setidaknya 100 juta perempuan potensial menjadi subyek pengembangan ekonomi syariah. Muslimah masa kini harus diberi ruang dan dukungan agar bisa menjadi pilar peradaban modern. Dengan begitu, keuangan syariah bukan hanya instrumen finansial, tetapi juga sarana mewujudkan cita-cita Islam: keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan hidup bersama.
Saya sangat yakin, keuangan syariah hadir bukan sekadar sistem alternatif, tetapi sebagai manifestasi etika Islam dalam mengatur ekonomi. Prinsipnya adalah bebas riba, bebas gharar (ketidakjelasan), bebas maysir (judi), dan menekankan pada keadilan distribusi kekayaan. Dalam kerangka ini, perempuan bukan hanya objek, tetapi juga harus menjadi subjek aktif. Dalam konteks ini, peran perempuan dapat diwujudkan dalam tiga aspek: Sebagai pengelola ekonomi rumah tangga. Mereka menata pengeluaran, tabungan, dan investasi. Sebagai pelaku usaha mikro. Perempuan terbukti tangguh dalam UMKM, sektor yang dapat diperkuat melalui pembiayaan syariah. Sebagai agen literasi. Perempuan dapat menyebarkan pemahaman tentang keuangan syariah, membebaskan keluarga dari jeratan praktik non-syariah.
Kita tahu bersama, keuangan syariah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir dan dipandang sebagai instrumen strategis untuk mewujudkan keadilan sosial-ekonomi. Namun, partisipasi perempuan dalam sektor ini masih terbatas. Hambatan utamanya bukanlah norma agama, melainkan tafsir keagamaan misoginis yang berkelindan erat dengan budaya patriarkal memengaruhi struktur sosial patriarkis yang membatasi akses dan peran perempuan. Bahkan, internalisasi nilai patriarkis di kalangan perempuan sendiri memperkuat marginalisasi tersebut. Lalu, bagaimana cara memberdayakan perempuan agar berperan penting dalam keuangan syariah di tengah dominasi patriarki?
Sejarah Islam memberikan teladan agung bahwa peran perempuan dalam ekonomi bukanlah sesuatu yang baru, melainkan bagian inheren dari ajaran Islam. Kita punya success story, Figur Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah, adalah seorang pebisnis ulung yang menguasai jaringan perdagangan internasional pada zamannya. Keberhasilan Khadijah dalam bidang bisnis tidak hanya menyejahterakan keluarganya, tetapi juga menopang dakwah Nabi Muhammad di fase awal. Demikian pula, sejarah mencatat perempuan-perempuan Muslim yang mengelola wakaf, perdagangan, dan aktivitas sosial-ekonomi, menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam ekonomi memiliki legitimasi syar’i. Artinya, kontribusi perempuan dalam ekonomi tidak hanya berdampak pada lingkup rumah tangga, tetapi juga pada kemajuan umat secara kolektif.
Al-Qur’an memberikan legitimasi penuh kepada perempuan untuk memiliki dan mengelola harta. Firman Allah:“Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan…” (QS. al-Nisa: 32). Ayat ini menegaskan kesetaraan hak ekonomi. Demikian pula dalam QS. al-Baqarah: 282, perempuan diakui sebagai saksi dalam transaksi keuangan, yang menunjukkan legitimasi mereka dalam partisipasi ekonomi formal.
Strategi pemberdayaan perempuan
Untuk mengembangkan potensi perempuan diperlukan setidaknya tiga strategi akademis. Pertama, Reinterpretasi teologis: Tafsir progresif perlu dikedepankan untuk menegaskan kesalingan peran antara laki-laki dan perempuan dalam ranah ekonomi. Dengan cara ini, legitimasi agama tidak lagi digunakan untuk membatasi, melainkan sebaliknya, yaitu mendorong partisipasi perempuan.
Kedua, Peningkatan Literasi Finansial. Pemberdayaan perempuan melalui literasi keuangan syariah harus dilakukan secara sistematis. Program kredit mikro syariah, pelatihan manajemen bisnis, dan mentoring menjadi sarana agar perempuan tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga pelaku dan pemimpin.
Ketiga, Advokasi Struktural. Lembaga keuangan syariah perlu mengadopsi regulasi inklusif gender, misalnya kuota kepemimpinan perempuan, produk keuangan ramah gender, serta insentif bagi usaha mikro perempuan. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menegaskan bahwa salah satu maqāṣid al-syarī‘ah adalah menjaga harta (hifz al-māl). Beliau menjelaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam menjaga harta keluarga adalah bentuk maslahah yang tidak boleh dihalangi.
Dengan landasan tersebut, dapat ditegaskan bahwa pemberdayaan perempuan dalam keuangan syariah bukanlah sekadar agenda feminis, melainkan mandat keislaman dan kebutuhan masyarakat modern. Keuangan syariah yang gagal mengakomodasi peran perempuan pada hakikatnya sedang mengabaikan separuh potensi umat. Oleh karena itu, mengikis patriarki dalam masyarakat Muslim sekaligus menguatkan kapasitas perempuan merupakan syarat mutlak untuk memastikan keuangan syariah benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif.
Tujuan pemberdayaan dan langkah strategisnya
Setidaknya ada tiga tujuan pemberdayaan perempuan dalam keuangan syariah yaitu, meningkatkan akses perempuan terhadap produk dan layanan keuangan syariah. Memberdayakan perempuan sebagai pelaku ekonomi rumah tangga dan komunitas. Mengintegrasikan nilai-nilai Islami, yakni maqāṣid al-sharī‘ah, musyarakah, ta‘awun dengan kebijakan inklusi gender.
Untuk mencapai tujuan pemberdayaan tersebut diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
Pertama, Akses ke Pembiayaan yang Adil: Mengapa ini penting? Sebab perempuan sering kesulitan mengakses kredit di lembaga konvensional karena keterbatasan agunan. Skema pembiayaan mikro syariah (misalnya BMT, koperasi syariah, atau bank wakaf mikro) memberikan kemudahan modal usaha dengan akad berbasis keadilan, bukan bunga.
Kedua, Perlindungan dari Eksploitasi Riba: Banyak perempuan, terutama pedagang kecil, terjebak praktik rentenir berbunga tinggi. Keuangan syariah menawarkan alternatif pembiayaan tanpa riba, sehingga lebih melindungi mereka dari jeratan hutang.
Ketiga, Pemberdayaan Ekonomi Keluarga: Dengan modal usaha mikro syariah, perempuan dapat lebih mandiri secara ekonomi dan ikut berkontribusi pada kesejahteraan keluarga. Hal ini sejalan dengan maqāṣid al-sharī‘ah dalam menjaga harta (ḥifẓ al-māl).
Keempat, Inklusi Keuangan yang Lebih Luas: Banyak produk syariah dirancang untuk masyarakat akar rumput, termasuk perempuan di pedesaan. Contohnya tabungan haji khusus perempuan, produk asuransi kesehatan syariah untuk ibu dan anak, hingga dana pendidikan berbasis syariah.
Kelima, Kesetaraan dalam Akses Ekonomi: Prinsip syariah menekankan kesalingan dan musyawarah. Dalam praktiknya, perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki untuk menjadi nasabah, pemegang saham, bahkan pengelola dana investasi syariah.
Keenam, Investasi Sosial & Wakaf Produktif: Perempuan bisa terlibat dalam wakaf produktif berbasis syariah, misalnya wakaf untuk sekolah, klinik, atau usaha kecil yang memberdayakan sesama perempuan.
Keenam langkah tersebut memastikan keuangan syariah membuka ruang pemberdayaan ekonomi perempuan dengan cara yang etis, inklusif, dan berkelanjutan, serta mengurangi kerentanan mereka terhadap praktik keuangan yang tidak adil.
Best practice
Sesungguhnya kita sudah punya best practice Contoh konkret program keuangan syariah yang sukses memberdayakan perempuan di Indonesia sebagai berikut.
Pertama, Bank Wakaf Mikro (BWM): Program OJK bersama pesantren, memberikan pinjaman tanpa agunan dengan akad qardhul hasan. Banyak ibu rumah tangga dan pedagang kecil di sekitar pesantren memanfaatkan dana ini untuk usaha warung, kerajinan, atau perdagangan pasar. Manfaatnya, antara lain melindungi perempuan dari jeratan rentenir sekaligus memperkuat ekonomi keluarga.
Kedua, Baitul Maal wat Tamwil (BMT): Lembaga keuangan mikro syariah berbasis koperasi. Contoh: BMT Sidogiri di Jawa Timur yang memiliki ribuan anggota perempuan pedagang pasar. Perempuan mendapat modal usaha kecil (tanpa bunga) dan pembinaan usaha.
Ketiga, Asuransi Mikro Syariah untuk Ibu dan Anak: Beberapa perusahaan asuransi syariah menyediakan produk proteksi kesehatan ibu hamil dan anak dengan premi sangat murah. Membantu perempuan kelas bawah memiliki perlindungan dasar kesehatan tanpa beban biaya tinggi.
Jadi, keuangan syariah terbukti bukan hanya soal larangan riba, tetapi juga membuka jalan pemberdayaan sosial-ekonomi perempuan, dengan dampak nyata bagi kesejahteraan keluarga dan komunitas. Keuangan syariah bagi perempuan tidak hanya menyediakan akses modal yang lebih adil, tetapi juga memberikan perlindungan sosial, kesehatan, dan pemberdayaan komunitas.
Beberapa hambatan keuangan syariah dan strategi mengatasinya
Akan tetapi, dalam praktik di lapangan, dijumpai hambatan lain, yaitu masih adanya keraguan umat Islam terhadap keuangan syariah. Hal ini muncul karena gap antara ideal dan praktik: idealnya berbasis keadilan dan anti-eksploitasi, tetapi praktiknya masih kurang transparan, dan belum mudah diakses.
Untuk itu diperlukan strategi khusus mengatasi keraguan terhadap keuangan syariah, agar lebih dipercaya dan diterima luas oleh umat Islam maupun masyarakat umum. Di antaranya, menawarkan program keuangan syariah yang lebih transparan, mudah dipahami, nyata manfaatnya, dekat dengan umat, dan sesuai nilai Islam. Jika itu terwujud, umat Islam tidak lagi ragu, bahkan non-Muslim pun bisa ikut percaya dan menggunakan sistem syariah karena keunggulan nilai etisnya.
Strategi khusus dimaksud, antara lain sebagai berikut. Pertama, Menguatkan Prinsip Maqāṣid al-Sharī‘ah: Fokus pada ḥifẓ al-māl (menjaga harta), ḥifẓ al-nafs (menjaga kesejahteraan hidup), dan ḥifẓ al-nasl (menjaga keberlanjutan keluarga). Dengan kerangka ini, produk keuangan syariah harus lebih berpihak pada kebutuhan praktis perempuan, antara lain dalam bentuk modal usaha rumah tangga, proteksi kesehatan ibu-anak, dan tabungan pendidikan anak-anak.
Kedua, Menghidupkan Konsep Musyarakah dan Ta‘awun: Mendorong pembiayaan berbasis kemitraan (bagi hasil) agar perempuan tidak hanya sebagai peminjam, tetapi juga mitra usaha. Membentuk kelompok usaha perempuan berbasis musyarakah (kerjasama modal) yang memperkuat solidaritas ekonomi.
Ketiga, Pendidikan Literasi Keuangan Syariah Berbasis Masjid, Pesantren atau Majelis taklim. Ketiga lembaga tersebut dapat dijadikan pusat literasi ekonomi syariah bagi perempuan. Dalam konteks ini upaya dakwah diharapkan menyelipkan materi terkait penguatan ekonomi dan harus menekankan pada hak perempuan mengelola harta dan usaha, sebagaimana dicontohkan Khadijah, isteri Rasul.
Kebijakan praktis untuk perempuan
Selain tiga strategi tadi, juga diperlukan berbagai Kebijakan Praktis berikut.
Pertama, Produk Khusus untuk Perempuan: Misalnya Tabungan syariah berbasis education saving untuk anak. Asuransi mikro syariah khusus kesehatan ibu & anak. Skema pembiayaan usaha rumahan perempuan (home-based business financing).
Kedua, Digitalisasi Inklusif: Fintech syariah harus membuat aplikasi ramah pengguna (user-friendly) dengan bahasa sederhana agar mudah diakses perempuan pedesaan. Pelatihan digital untuk perempuan agar bisa mengakses pembayaran, tabungan, dan pembiayaan secara online.
Ketiga, Kebijakan Afirmasi Gender: Mewajibkan BMT, BWM, atau bank syariah memiliki kuota perempuan dalam manajemen. Mendorong keterlibatan perempuan dalam perancangan produk syariah agar lebih sensitif gender.
Keempat, Kemitraan dengan Organisasi Perempuan: Bekerja sama dengan Aisyiyah, Muslimat NU, Fatayat NU, dan komunitas lokal dalam menjalankan program keuangan syariah. Dengan begitu, program lebih mudah menjangkau perempuan akar rumput.
Kelima, Skema Pembiayaan Berjenjang: Tidak hanya memberikan modal mikro, tetapi juga skema pembiayaan berjenjang agar perempuan bisa naik kelas dari usaha rumahan ke usaha formal.
Pemberdayaan bukan untuk menambah beban perempuan
Satu hal perlu saya ingatkan dalam upaya pemberdayaan ekonomi perempuan, yakni sering berujung pada eksploitasi perempuan. Sejumlah penelitian menyimpulkan, pemberdayaan ekonomi perempuan terbukti meningkatkan pendapatan keluarga dan ketahanan sosial. Namun, masalahnya banyak perempuan menghadapi beban ganda/multi-beban akibat keterlibatan mereka dalam bidang ekonomi. Hal itu karena di samping melakukan usaha-usaha ekonomi, perempuan, terutama dalam kapasitasnya sebagai ibu dan isteri, mereka tetap dibebani pekerjaan domestik dan peran sosial lainnya. Karena itu, tanpa transformasi budaya patriarkis, pemberdayaan justru berpotensi menjadi bentuk baru eksploitasi terhadap perempuan. Para perempuan terpaksa memikul beban ganda, bahkan berlipat ganda.
Islam tidak mengenal beban domestik sebagai kewajiban mutlak perempuan saja. Dalam QS. At-Taubah [9]:71, Allah berfirman: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْض“Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra sejajar, saling membantu dalam semua aspek kehidupan.
Hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW turut membantu pekerjaan rumah tangga. Aisyah RA berkata: “Rasulullah biasa membantu pekerjaan keluarganya. Apabila tiba waktu shalat, beliau keluar untuk shalat.” Artinya, kerja domestik adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya perempuan.
Penutup
Keadilan gender bukan berarti menyeragamkan peran, tetapi mendistribusikan beban secara adil. Suami dan istri harus duduk bersama untuk membagi tugas domestik maupun publik sesuai kemampuan masing-masing. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa pekerjaan domestik bukan sekadar “urusan perempuan.” Dalam keluarga Muslim, semua kerja adalah ibadah bila dilakukan dengan niat ikhlas. Suami yang membantu pekerjaan rumah tangga justru sedang meneladani Rasulullah. Syekh Muhammad Abduh dan para reformis Muslim modern menegaskan bahwa Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai mitra, sehingga pembagian kerja harus didasarkan pada prinsip ta‘āwun (saling menolong), bukan subordinasi.
Rekomendasi strategis untuk mengatasi hambatan tersebut, antara lain pentingnya mengintegrasikan analisis gender dalam semua produk keuangan syariah. Pentingnya Edukasi prinsip kesalingan peran agar laki-laki terlibat aktif dalam rumah tangga. Libatkan tokoh agama untuk memberi legitimasi teologis atas kesetaraan peran suami-isteri. Dukungan publik perlu diwujudkan seperti Perluas pemberian cuti bagi ayah dan mengatur jam kerja fleksibel. Fasilitas penitipan anak dan program pemberdayaan keluarga berbasis masjid dapat meringankan beban perempuan.
Dengan pendekatan ini, keuangan syariah bukan hanya instrumen finansial, tetapi juga sarana mewujudkan emansipasi, keadilan, dan kemaslahatan sosial sesuai spirit Islam.
Unduh file disini



