Oleh: Musdah Mulia
Seberapa pentingkah agama?
Pertanyaan inilah yang diangkat Pew Research Center sejak 2015, dan tahun 2020 menempatkan Indonesia sebagai negara religius karena mayoritas penduduknya menjawab agama sangatlah penting. Survei tersebut juga mengaitkan kemajuan suatu negara dengan sikap keagamaan masyarakatnya. Hasilnya, penduduk negara berkembang cenderung menganggap penting agama dalam kehidupan. Sebaliknya, masyarakat di negara-negara maju cenderung mengabaikan agama. Tingkat religiusitas negara berbanding terbalik dengan kemajuan ekonomi dan tingkat kebahagiaan penduduk.
Survei tersebut mengkorfimasi riset Islamicity Indices yang memilih 10 negara paling islami, antara lain Selandia Baru, Netherland, Swedia, Irlandia, Switzerland, Denmark, Kanada, dan Australia. Sebaliknya, skor negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam cenderung rendah, seperti Indonesia.
Sungguh ironis! Mestinya, negara dengan penduduk yang memandang agama sebagai hal yang penting seharusnya lebih maju. Mengapa? Bukankah agama mendorong manusia dengan nilai-nilai spiritual yang diajarkannya untuk lebih giat bekerja, mencintai ilmu pengetahuan, bersikap lebih rendah hati dan seterusnya sehingga potensial memiliki integritas moral. Kondisi itu akan menginspirasi mereka melakukan kerja-kerja kebudayaan, membangun peradaban yang lebih maju.
Namun, gambaran tersebut tidak sesuai dengan realitas sosial dalam masyarakat. Indonesia misalnya, memperlihatkan sebuah paradoks yang luar biasa. Paradoks antara kehebohan beragama dan kebangkrutan moralitas. Rumah-rumah ibadah penuh di mana-mana, apalagi ketika perayaan hari-hari besar agama dan ini terjadi di semua agama dan kepercayaan.
Terlihat kasat mata, betapa kesemarakan atau kehebohan beragama itu tidak menjamin tumbuhnya kualitas spiritual dan integritas moral masyarakat. Lihat saja, berita-berita utama yang berseliweran di media, baik cetak maupun online, tak pernah sepi dari kasus-kasus pelanggaran hukum dan kriminal: penipuan, penjambretan, pencurian, pembunuhan, kekerasan terhadap perempuan, KDRT, korupsi dengan segala kejahatan lain yang mengikutinya, prilaku aparat yang begitu represif dan otoritarian diikuti sikap-sikap anarkis masyarakat yang sudah bosan menunggu keadilan.
Beragam bentuk kekerasan berbasis agama dipertontonkan secara vulgar di berbagai tempat, umumnya terjadi bersamaan dengan event-event politik. Belum lagi termasuk pemberitaan yang jarang muncul akibat media sering juga mengalami rabun jauh. Di antaranya kasus-kasus tindakan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara dan pemerintah, pencemaran dan eksploitasi lingkungan oleh korporasi raksasa atas izin pemerintah.
Bukan hanya itu, masalah ekonomi yang semakin krusial. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial di Indonesia sudah berada di titik nadir. Sungguh mengerikan bahwa kekayaan empat orang terkaya (konglomerat) di Indonesia setara dengan gabungan 100 juta orang termiskin. Betapa masifnya perampasan tanah, penggusuran dan lainnya sebagai akibat ideologi fundamentalisme pasar bebas (neoliberalisme).
Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2016 saja, terjadi 450 lebih konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan tanah mencapai 1,26 juta hektar demi proyek infrastruktur, perluasan perkebunan, pertambangan dan sebagainya. Akibatnya, sebanyak 86.745 kepala keluarga kehilangan ruang hidup dan sumber penghidupannya.
Tentu dalam hal ini bukan agama yang salah, melainkan kebanyakan penganut agama belum mampu menghayati agama sebagai jalan pembebasan dari beragam krisis kemanusiaan. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tudingan lalu tertuju kepada agama Islam, sejatinya semua penganut agama mengalami krisis serupa.
Seharusnya umat Islam Indonesia mampu menciptakan kebudayaan yang membawa negara kepada kemajuan. Kebudayaan adalah hasil dari keaktifan atau daya budi manusia. Manusia dalam konsep Islam adalah makhluk tertinggi, malahan lebih tinggi dari malaikat sehingga diangkat sebagai khalifah atau wakil Tuhan di dunia. Manusia bukan hanya ditugaskan berserah diri mengabdi kepada Tuhan. Manusia dengan kecakapan yang diberikan Tuhan dalam bentuk akal budi dan nalar kritis seharusnya mampu menciptakan kebudayaan di tengah-tengah alam semesta.
Manusia harus mampu mengembangkan ilmu, teknologi dan kemajuan ekonomi untuk kemaslahatan semua sehingga dapat hidup sejahtera, penuh solidaritas dan kedamaian. Namun, dalam konteks Indonesia, umat beragama, khususnya umat Islam abai terhadap upaya-upaya pengembangan ilmu, teknologi dan ekonomi. Tidak heran jika bangsa ini mengalami krisis berlarut-larut, kehidupan keagamaan banyak diliputi takhayul, mitos dan konflik kepentingan.
Sutan Takdir Alisyahbana mengingatkan umat Islam pentingnya sikap obyektif terhadap alam dan manusia serta cara berpikir yang logis dan rasional. Hal itu menurutnya telah dikembangkan sedemikian rupa oleh para filsuf Islam pada masa-masa keemasan Islam, seperti Al-Kindi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd dan lainnya. Tetapi, beliau menambahkan bahwa umat Islam setelahnya tak lagi meneruskan upaya-upaya mereka, melainkan diambil alih oleh ilmuwan Barat. Karena itu, jika umat Islam hendak ikut serta dengan kemajuan ilmu, teknologi dan industri yang menjadi ciri dan kebudayaan modern sekarang ini, mestilah sikap hidupnya berubah. Umat Islam harus kembali kepada etik Islam yang mementingkan pemikiran rasional, pengetahuan dan kegiatan ekonomi seperti diingatkan banyak ayat dalam Al-Qur’an dan disokong oleh banyak hadis (STA, 1992:20-23).
Konservatisme agama dalam media dan dunia digital
Seperti apa potret keagamaan masyarakat? Temuan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2020 menyimpulkan, potret keagamaan masyarakat didominasi oleh pemahaman keagamaan konservatif. Konservatisme agama merupakan narasi dominan di televisi dengan angka tertinggi sebesar 46,3 %, disusul narasi moderat 33,4 %, liberal 0,6 %, Islamis 0,4 %, dan radikal 0,1 %.
Meski narasi agama konservatif secara umum dapat disebut aman, namun posisinya lebih rentan mendekati corak radikal. Umumnya, dari level radikal tinggal selangkah lagi menuju aksi terorisme. Betul bahwa pemahaman konservatif dalam agama seringkali tidak bersipat politis, tidak melanggar NKRI dan mengedepankan kekerasan. Akan tetapi, jika seseorang memiliki pemahaman konservatif, diprovokasi sedikit saja, akan bergeser menjadi radikal.
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, conservāre bermakna melestarikan, menjaga, memelihara dan mengamalkan. Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula.
Umumnya, kalangan konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau. Dalam Islam, pemahaman konservatif ini mengekalkan pandangan keislaman berdasarkan pemahaman literalis. Sebuah model pemahaman yang dirumuskan ulama abad pertengahan, dan sebagian besar sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Sebab, pemahaman konservatif biasanya mengabaikan prinsip maqasid syari’ah (tujuan obyektif syariat Islam) dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Konservatisme keagamaan juga mendominasi kehidupan masyarakat dalam sosial media. Penelitian PPIM dilakukan dengan mengumpulkan data dari Twitter dan Youtube serta wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data secara kualitatif. Selama tahun 2009-2019 terdapat 1,9 juta tweet dan difiltrasi menjadi 458,582 tweet dari 100,799 user dengan 7,367,190 follower. Hasilnya, pandangan konservatif mendominasi viralitas tweet keagamaan sebesar 67,20%, Pemahaman islamis 4,50%, Pemahaman moderat 22,20 % dan pemahaman liberal 6,10%. Terlihat jelas, akun moderat tertinggal jauh dibandingkan akun konservatif.
Pertanyaan muncul, dimanakah mereka yang mengaku kelompok Islam moderat? Meskipun paham moderat memiliki proporsi lebih besar dibandingkan islamis, namun sifat partisipasinya yang cenderung diam, jauh terkalahkan oleh gerakan islamis yang lebih militan dan sangat aktif bersuara. Temuan ini menguatkan posisi kelompok islamis sebagai noisy minority. Betul jumlah mereka sedikit, namun gaungnya lebih besar di media sosial dan sangat mewarnai potret keagamaan masyarakat.
Potret keagamaan kelompok milenial tidak jauh berbeda, bahkan terlihat lebih buram. Penelitian PPIM tahun 2018 di 18 kota mengungkapkan, narasi ekstremisme dan ujaran kebencian beredar sangat masif di kalangan milenial. Pandangan konservatif ini mengubah cara beragama mereka yang pada dasarnya lebih bergantung kepada referensi digital daripada referensi akademik yang lebih otoritatif. Kehadiran media sosial sangat signifikan menggantikan peran pendidikan agama dalam keluarga, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan. Lemahnya literasi keagamaan inilah yang berkontribusi besar terhadap kerentanan generasi milenial terhadap kecenderungan intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme agama.
Konservatisme agama terkait perempuan
Penelitian tersebut juga mengomfirmasi, narasi keagamaan yang berkeadilan gender belum menjadi narasi mainstream. Narasi agama di media sosial masih didominasi pemahaman konservatif terkait perempuan. Pandangan keagamaan tersebut mengukuhkan budaya patriarki yang sangat bias gender, mengekalkan subordinasi perempuan, menolak ide kesetaraan gender, apalagi ide feminisme. Tidak heran jika narasi mengenai perempuan hanya berkutat pada ruang domestik, bahkan hanya berkutat di area kasur, sumur dan dapur serta pada perannya sebagai anak, ibu dan istri.
Terdapat indikasi kuat perempuan lebih rentan terhadap paparan fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki. Dominasi narasi konservatif dalam isu gender dan tingginya proporsi narasi konservatif di kalangan perempuan melahirkan transmisi konservatisme antar generasi, dan itu sangat membahayakan masa depan bangsa karena sungguh-sungguh menggerus kemanusiaan perempuan. Beberapa contoh narasi konservatif terkait perempuan.
Temuan lain penelitian tersebut adalah politisasi narasi keagamaan memengaruhi peningkatan paham konservatisme di media sosial. Indikasinya, keterkaitan isu agama dengan politik sangat kuat. Wacana keagamaan konservatif lebih banyak muncul beriringan dengan event-event politik praktis. Kompetisi politik di Indonesia banyak memanfaatkan isu agama sebagai sumber perebutan massa. Fatalnya, politisasi narasi agama tidak hanya dilakukan oleh partai Islam tapi juga oleh partai nasional yang katanya mengusung demokrasi. Bahkan, terjadi fenomena diseminasi konflik kepentingan elit di ruang publik melalui persebaran narasi keagamaan di media sosial.
Corak keagamaan konservatif ini mengafirmasi penelitian Pew Research Centre, kesemarakan beragama atau intensifikasi agama tidak memberikan manfaat signifikan bagi tumbuhnya kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Pemahaman agama secara konservatif hanya melihat agama sekedar menyembah Tuhan dalam makna sempit, melaksanakan ritual sebagai kegiatan seremonial.
Akibatnya, ajaran agama yang dikembangkan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Tidak heran jika mayoritas umat Islam menegakkan ibadah shalat hanya sebagai ritual, shalat belum dimaknai sebagai upaya penguatan kualitas spiritual diri. Seharusnya shalat berujung pada upaya pembebasan manusia dari belenggu kejahiliyahan, membebaskan manusia dari semua perilaku keji dan tak terpuji. Orang yang konsisten menegakkan shalat mestinya bergairah melakukan kerja-kerja kebudayaan demi membangun kemaslahatan diri sendiri, maupun keluarga dan masyarakat luas.
Siapa penyebar konservatisnme agama?
Lalu, siapakah yang berpengaruh menyebarkan narasi keagamaan konservatif tersebut? Hasil penelitian menunjukkan siapa saja bisa memiliki otoritas dalam menyebarkan narasi agama meskipun dengan basis follower kecil atau tanpa otoritas keagamaan yang sah. Dampak buruk dari disrupsi digital, antara lain menguatnya pemahaman keagamaan konservatif dan cenderung radikal sehingga tidak heran jika atas alasan agama masyarakat semakin intoleran, eksklusif, mudah menghakimi kelompok lain yang berbeda serta acuh terhadap upaya-upaya membangun peradaban untuk kesejahteraan dan perdamaian manusia.
Pada prinsipnya, semua agama tumbuh berdasarkan iman atau kepercayaan. Kepercayaan seharusnya dilengkapi dengan penjelasan rasional atau alasan pembenaran bagi adanya kewajiban-larangan, nilai moral baik-buruk, dan upacara-upacara ritual yang mesti dijalankan. Akan tetapi, faktanya lebih banyak penganut agama tidak memerlukan alasan-alasan rasional bagi tindakan keagamaan mereka. Akibatnya, mereka tidak mudah mengubah pandangan mereka yang seringkali konyol dan tidak masuk akal walau diajukan berjuta argumentasi yang rasional dengan bukti-bukti kasat mata atau sangat logis. Mereka hanya akan berubah jika mendapatkan doktrin dari pemimpin spiritual yang dipercaya.
Fatalnya lagi, bagi kalangan konservatif, doktrin ajaran agama terkadang lebih berwibawa daripada kitab suci. Demikian juga guru-guru yang mereka ikuti lebih didengar kata-katanya daripada ulama yang memiliki otoritas dan keahlian dalam bidang tersebut. Masuk akal atau tidaknya pemahaman terhadap teks kitab suci terkadang tidak penting, yang terpenting adalah pendapat, paham dan tafsir dari orang yang sudah terlanjur mereka jadikan imam.
Di sinilah bahayanya konservatisme agama! Di antaranya sering menggiring pemeluk agama bersikap tidak kritis dan tidak rasional. Sikap demikian mudah bergeser menjadi sikap keagamaan yang radikal, jauh dari sikap adil dan bijaksana yang menjadi inti ajaran agama itu sendiri. Bahwa agama sepenuhnya akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Agama sepenuhnya untuk kemanusiaan.
Download tulisan format PDF disini