|

Muslimah Reformis

Pencitraan Politik Jokowi dan Pembelajaran Demokrasi

Mengutip unggahan akun TikTok @Forum Keadilan, Garin Nugroho seorang Sutradara Film mengungkap bahwa terdapat lima foto penting yang merangkum pencitraan Jokowi selama memerintah.

Dalam video Garin menyebut bahwa lima foto penting Jokowi yang kerap di publish ke media yaitu foto kedekatan dengan rakyat, kerja keras, gaul dalam mengenakan pakaian (berupaya dekat dengan anak muda), tokoh adat, agama dan foto kedekatan dengan keluarga.

Menurut Garin, Jokowi sangat luar biasa dalam melahirkan pencitraan. Dibalik pencitraan tersebut, Garin mempertanyakan tujuan dari kunjungan Jokowi ke berbagai daerah, seperti Papua, Sumatera, dan Sulawesi dan mengungkap bahwa kunjungan Jokowi ke propinsi-propinsi tersebut itu BUKAN wilayah miskin melainkan wilayah investasi.

Ia menilai, wilayah-wilayah yang dikunjungi lebih banyak berkaitan dengan kepentingan investasi dibandingkan kesejahteraan rakyat, sehingga dalam sejarah Indonesia selalu ada semacam PR bagi seluruh pemimpin kedepan. Para pemimpin Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, menjadi mandor koorporasi atau pembela rakyat dan Jokowi lebih cenderung menjadi mandor koorporasi yang berkolaborasi dengan militer dan hukum.

Lantas bagaimana kasus kekerasan seperti kekerasan atas nama agama, intoleransi, KDRT, kekerasan seksual dan jenis kekerasan lainya tidak terus marak terjadi JIKA pemimpin masih kerap tidak menjalankan demokrasi dengan baik, melangkahi konstitusi dan lebih mengedepankan keberpihakan pada koorporasi yang ‘kolabs’ dengan militer dan hukum? Bahkan hingga hari ini masyarakat dipertotonkan dengan kabinet super gemuk yang sedang bagi–bagi potongan “kue” kekuasaan, tanpa memikirkan perasaan rakyat yang semakin sulit secara ekonomi, ditengah badai PHK yang masih terus berlanjut, minimnya lapangan kerja dan gelombang inflasi.

Penegakkan Konstitusi

Mengutip dari Ensiklopedia Muslimah Reformis, terdapat catatan paling kentara intoleransi dan kekerasan keagamaan di era pemerintahan Jokowi yaitu, keengganan Pemerintah melakukan tindakan tegas demi menegakkan konstitusi (Government Inaction). Pemerintah gagal mengambil langkah-langkah memadai untuk menangkal perilaku vigilantisme dalam bentuk tindakan  diskriminasi, restriksi dan penyerangan terhadap kelompok minoritas berbeda.

Selain itu, aparat hukum tampak tumpul, terutama ketika berhadapan dengan aksi kekerasan berjamaah. Negara dan Pemimpin negeri seperti dikalahkan kekerasan, pelaku kekerasan lebih sering tidak diproses secara hukum sementara korban justru dikriminalisasi. Secara Ekonomi rakyat dipersulit, secara hukum rakyat minim diberi keadilan.

Indonesia terlalu penting untuk diserahkan kepada para “penjahat” demokrasi. Indonesia juga terlalu berharga dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah dan politisi. Gerakan dan pandangan kritis masyarakat sipil seperti Garin Nugroho, Musdah Mulia, Alissa Wahid dan tokoh masyarakat sipil lainnya sangat perlu lebih banyak lagi dan segera mengambil sikap dengan bersuara serta berkontribusi dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi, ketika isu intoleransi, kekerasan, ketidaksetaraan, diskriminasi, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan rakyat kecil dimata hukum masih terjadi. Masyarakat awam pun juga harus lebih aktif (tidak menjadi silent majority) guna mencegah hal-hal tersebut agar tidak terjadi.

Negara khususnya pemimpin negeri ini juga musti berbenah untuk lebih tegas menegakkan konstitusi yang pro rakyat seperti yang didengungkan saat kampanye, bukan hanya berpihak pada koorporasi yang berkomplot dengan militer dan hukum. ‘Pro rakyat’ yang sebenarnya adalah mereka “segelintir rakyat” yang sudah terlanjur “jatuh cinta” atau merasakan “cinta monyet” dengan pemerintahan yang berbalut citra tersebut, bukan?.

Pembelajaran Demokrasi

Dalam Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis dikatakan bahwa ‘Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk good life. Demokrasi yang berujung pada kesejahteraan dan kemaslahatan serta kedamaian seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Apa yang menjadi cita-cita Indonesia, seperti tertera pada pembukaan UUD 1945 harus dicapai dengan jalan demokrasi yang bukan sekedar masalah kebebasan dan prosedur melainkan substansi.

Untuk mewujudkan demokrasi yang substansial diperlukan upaya penguatan di tingkat akar rumput melalui pendidikan politik yang dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif. Diperlukan juga diseminasi ajaran agama yang humanis, progresif dan kondusif bagi tegaknya demokrasi, konstitusi dan pemenuhan HAM di Indonesia. Agar tidak terjadi lagi konstitusi dan demokrasi yang dengan seenaknya diinjak-injak oleh pemimpin yang mengemas diri dengan “Politik Pencitraan” yang apik menampilkan seolah sangat sederhana, merakyat (wong cilik), ndeso, senyam senyum, cengar cengir, guya guyu, canda tawa, guyonan dan hal-hal lainnya yang dilakukan pemimpin negeri ini. Semoga!