|

Muslimah Reformis

Pertamina Ladang Korupsi Abadi, Perempuan (Lagi) yang dibuat Sengsara

Mengutip catatan Catatan Cak AT terkait perusahaan negara yang paling layak jadi bintang utama dalam sinetron korupsi besar Indonesia, maka Pertamina adalah kandidat kuat. Sejak era Orde Baru, Pertamina sudah seperti sapi perah raksasa yang air susunya lebih sering masuk kantong pejabat daripada mengalir ke rakyat.

Kisah ini bukan dongeng pengantar tidur. Jus Soema Di Pradja, wartawan kawakan yang pernah malang melintang di Indonesia Raya dan Kompas, menuturkan semua ini dalam wawancara dengan jurnalis muda Aendra Medita. Dan ceritanya lebih menegangkan dari film laga, lebih kocak dari komedi, dan lebih tragis dari drama air mata.

Pada akhir 1960-an, usia Orde Baru masih seumur jagung, tapi selera korupsinya sudah seperti buaya lapar. Koran Indonesia Raya menghebohkan dunia setelah berhasil membongkar skandal korupsi jumbo di Pertamina dengan nilai 10,5 miliar USD pada tahun 1969.

Jangan tanya berapa jika dikonversi ke rupiah saat itu cukup untuk bikin jantung rakyat copot. Konon, jumlah ini masuk dalam kategori “utang jangka pendek negara,” entah ke negara mana saja. Tapi di tangan orang-orang kreatif, utang negara bisa berubah jadi dana operasional membangun kekuasaan.

Aktor utamanya, Ibnu Sutowo, Dirut Pertamina kala itu, adalah seorang jenderal yang dipercaya Soeharto mengelola industri minyak nasional. Tapi alih-alih mengelola minyak, ia justru mengelola duit dengan sangat inovatif —dari mark-up harga minyak mentah, pembelian kapal tanker, hingga pencurian minyak.

Bayangkan, harga minyak per barel bisa menguap 1 USD begitu saja. Maksudnya, di-mark-up dari nilai aslinya. Memang cuma 1 dolar. Tapi jika produksi harian Pertamina mencapai 250 ribu hingga 500 ribu barel, bisa ditebak ke mana miliaran dolar hasil mark-up bertahun-tahun itu melayang.

Mungkin kalau skandal ini terjadi di negara lain, pelakunya sudah masuk penjara dengan bonus seragam oranye. Tapi di Indonesia? Ibnu Sutowo hanya dicopot dari jabatan. Tak ada hukuman, tak ada pengadilan. Pensiun dengan nyaman. Kalau pakai istilah zaman sekarang, semacam golden handshake.

Tak hanya itu, Soeharto bahkan membela Sutowo. Ia lebih sibuk mengejar sumber yang membongkar skandal Pertamina ketimbang menindak pelakunya. Indonesia Raya bukan hanya membongkar Pertamina, tapi juga menyoroti berbagai skandal lain: percukongan, permainan Bulog, hingga proyek-proyek yang lebih banyak menguntungkan kroni-kroni penguasa.

Maka, ketika peristiwa MALARI meledak pada 1974, Soeharto menemukan momentum emas. Sejumlah media dibredel, termasuk Indonesia Raya, yang tentu tak ketinggalan memuat berita peristiwa nasional ini lengkap dengan foto-foto pembakaran mobil-mobil buatan Jepang di tengah jalan Ibu Kota Jakarta.

Mochtar Lubis dan Enggak Bahaudin, dua pentolan koran ini, diciduk dan dijebloskan ke penjara. Tuduhan? Mengadakan rapat gelap puluhan aktivis penentang Orde Baru sebelum MALARI —di rumah kecil yang bahkan untuk kumpul lima orang saja susah. Logika? Tak penting. Yang penting, kritik dibungkam.

Dari Orde Baru hingga Reformasi, dari presiden ke presiden, dari satu generasi ke generasi berikutnya, negeri ini hanya berganti pemain, sementara panggung dan dramanya tetap sama. Korupsi bukan sekadar berulang, tapi justru berkembang biak, semakin sistematis, dan makin sulit diberantas.

Lalu, kita pun selalu bertanya: apakah korupsi ini betul-betul tak bisa diberantas? Atau kita yang sudah terlalu terbiasa hidup dengannya, bahkan mungkin menjadi bagian darinya dengan membiarkannya terus terjadi?

Dulu, media seperti Indonesia Raya berani menentang arus, membayar mahal dengan kebredelan dan pemenjaraan. Kini, di era kebebasan pers, berita skandal bisa muncul setiap hari. Tapi, jika kita hanya sekadar tahu dan mengeluh tanpa gerakan nyata, maka korupsi hanya akan terus berulang —hari ini, besok, dan entah sampai kapan.

Sebab korupsi, seperti hantu yang tak pernah diusir, hanya akan semakin kuat jika kita terus membiarkannya.

Korupsi Menyengsarakan Perempuan

Perilaku korupsi dari masa ke masa berdampak pada perempuan pastinya lagi-lagi mereka yang dibuat sengsara, apa saja dampak korupsi yang menyengsarakan perempuan langsung maupun tidak langsung;

  1. Korupsi berdampak pada diskriminasi gender dan penjegalan kebijakan dan program pemerintah yang menguntungkan perempuan 

Tingkat korupsi dan ketidakefektifan pemerintah memiliki dampak signifikan dan negatif terhadap perempuan yang terpilih menjadi anggota dewan. Sebab pengambil keputusan yang didominasi oleh laki-laki mungkin saja dapat melanggengkan siklus diskriminasi gender dan menjegal kebijakan dan program pemerintah yang menguntungkan perempuan.

  1. Melemahkan pertumbuhan ekonomi dan melanggengkan kemiskinan

Korupsi hanya akan memperburuk kesenjangan yang sudah ada, sebab korupsi akan meningkatkan biaya dan hambatan terhadap barang dan jasa dasar, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Realitanya, data PBB menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan akan lebih menderita dibandingkan laki-laki ketika korupsi melemahkan pertumbuhan ekonomi.Karena peluang kerja atau layanan keuangan, perlindungan hukum, maupun praktik sosial akan lebih sempit untuk perempuan. Pada akhirnya, perempuan mungkin terhalang hak-hak dasar, seperti pangan, pakaian, perumahan, layanan kesehatan dan pendidikan, serta peluang ekonomi dan kesejahteraan.

  1. Hilangnya akses layanan kesehatan dan pendidikan

Dalam kasus di mana perempuan berada dalam tekanan sosial, politik, organisasi, atau budaya, sering kali mereka lebih tidak berdaya dibandingkan dengan laki-laki. Adakalanya mereka dipaksa untuk membayar suap, acap kali perempuan juga tidak mampu melunasinya atau kurang memiliki kekuasaan ataupun wewenang untuk menolak yang mengakibatkan perempuan berpotensi kehilangan akses layanan yang penting untuk diri sendiri seperti kesehatan dan pendidikan, karena tidak memiliki dana untuk membayar suap tersebut.

  1. Memiliki ketergantungan yang lebih tinggi pada layanan publik

Perempuan, khususnya perempuan miskin, akan cenderung lebih bergantung pada layanan publik dibandingkan laki-laki karena langgengnya budaya korupsi. Fakta yang terjadi sampai hari ini perempuan kerap kali memiliki pendapatan yang lebih rendah serta lebih sedikit alternatif untuk memperoleh layanan kesehatan yang lebih mahal. Mau tidak mau, mereka akan lebih menggantungkan diri pada layanan publik yang sebetulnya sudah terdampak oleh korupsi juga.

  1. Kehilangan perlindungan hukum dan menerima pelanggaran hak asasi perempuan

Dampak lain korupsi berbasis gender bagi perempuan adalah lemahnya nilai atau status pengaduan perempuan di mata para penegak hukum. Sering kali, perempuan harus membayar suap atau melakukan korupsi seksual terlebih dahulu agar laporannya dapat diterima. Bahkan, di negara-negara yang lebih rentan atau pasca konflik, perempuan juga harus menerima hak asasinya dilanggar. Contohnya dalam bentuk pemerkosaan, kekerasan fisik, pemindahan paksa, perdagangan manusia, juga skandal seks.

  1. Terjebak dalam pertukaran layanan seksual (Korupsi Seksual)

Tak jarang, perempuan di negara dengan tingkat korupsi tinggi harus “menukar” tubuhnya dengan aktivitas seksual untuk mendapatkan layanan penting seperti kesehatan atau layanan sosial lainnya. Ini berkaitan juga dengan relasi kuasa yang biasanya petinggi seorang laki-laki yang memaksa bawahan perempuannya untuk melakukan hal -hal yang berkaitan dengan kebutuhan seksual si laki-laki agar bawahan perempuan nurut dan mendapat haknya seperti uang lembur, jatah bonus pekerjaan atau ancaman tidak diberi jatah nafkah batin dan uang belanja jika perempuan (istri) tidak menurut untuk tutup mulut soal korupsi disekitarnya.

  1. Melanggengkan ketidaksetaraan gender

Dalam lingkup politik, dampak tidak langsung korupsi bagi perempuan adalah diskriminasi dalam hal sumber daya, partisipasi dalam politik, serta akses terhadap jabatan tingkat tinggi dalam administrasi publik sebagai kelanjutan dari ketidaksetaraan gender. Perempuan pemilih juga lebih rentan terkena politik uang atau “serangan fajar” karena adanya tekanan di masyarakatnya atau memang terjebak pada kebutuhan yang harus dipenuhi.

Dengan demikian dampak korupsi sangat nyata membuat tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan dan anak juga paling banyak terena dampak yang menyengsarakan hidup mereka. Buku Ensiklopedia Reformis hlm.330 menyebut bahwa perbedaan Gender sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Akan tetapi kenyataanya perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan di masyarakat, baik yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Hanya saja dibandingkan laki-laki, kaum perempuan lebih banyak mengalami ketidakadilan, terutama dalam pemenuhan hak asasi mereka.

Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dari masa ke masa hingga hari ini jelas sangat menyengsarakan semua orang khususnya perempuan karena kerap melahirkan beragam bentuk ketidakadilan terutama dalam pemenuhan hak asasi mereka. Pemerintah selayaknya mulai juga memikirkan dan melakukan gebrakakan nyata agar mega korupsi yang sudah terungkap hari ini tidak terjadi lagi berulang dimasa mendatang dan membuat pencegahannya agar tidak memberi peluang munculnya mega korupsi baru, dengan pemain dan cara baru, Semoga!.