Salah satu fungsi dari puasa Ramadhan adalah mensucikan jiwa manusia dari semua godaan hawa nafsu. Logikanya, semakin banyak puasa dilakukan, semakin suci pulalah jiwa manusia pelakunya. Sebab, puasa mendisiplinkan diri manusia agar tidak memperturutkan hawa nafsu.
Islam secara tegas mengajarkan bahwa jiwa manusia pada dasarnya suci. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya manusia tercemar oleh berbagai dosa. Pencemaran terjadi karena dalam diri manusia selalu ada tendensi mengikuti hawa nafsu yang irasional, dan senantiasa membujuknya berpaling dari fitrah kesucian. Hawa nafsu merupakan pangkal dari semua penyakit dalam kehidupan manusia. Hawa nafsu, antara lain berwujud sifat takabur, sombong, arogan, dengki, iri hati, tamak, serakah, dan semua bentuk perilaku pemenuhan syahwat tanpa batas.
Hakikatnya, hawa nafsu adalah kecenderungan jiwa yang salah, seperti firman Allah swt.: “Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini (QS. al-Mukminun, 23:71). Di kalangan sufi terkenal ungkapan: “musuh manusia paling berbahaya adalah nafsunya sendiri”. Ketika usai perang Badar yang sangat dahsyat itu, Nabi saw. berkata kepada para sahabat: “kita baru saja selesai dengan perang kecil menuju perang lebih besar”, para sahabat terperanjat dan bertanya perang apakah gerangan lebih dahsyat dari ini, Nabi menjawab perang melawan hawa nafsu”.
Anehnya, sekalipun telah dianugerahi fitrah yang hanif, manusia tetap merupakan makhluk lemah. Kelemahan manusia, antara lain terletak pada dua sifat: kekikiran (al-qatr) dan kepicikan atau sempit pikiran (al-dha`f). Hampir semua dosa manusia timbul akibat dua sifat tersebut (QS. al-Ma`rij 70:19-21, an-Nisa`, 4:128, al-Hasyr, 59:9, at-Taghabun, 64:16, al-Isra`, 17:100). Karena kepicikan dan kekikirannya, manusia selalu terjebak meraih keuntungan jangka pendek, melupakan keuntungan jangka panjang yang lebih abadi. Umumnya manusia sulit menahan diri dari godaan dosa dan zulm (kegelapan) sehingga dirinya diliputi kegelapan. Makin jauh manusia terperosok ke liang dosa, makin gelaplah hatinya. Pada akhirnya hati itu akan berubah dari nurani (terang benderang) menjadi zulmani (gelap gulita). Konsekuensinya, tidak semua manusia masih punya hati nurani, mungkin yang dimiliki hanya tinggal hati zulmani. Hati yang tidak mampu lagi menyuarakan kebenaran.
Perlu diketahui, sifat tercela manusia sangat mempengaruhi pola ibadahnya. Tidak sedikit manusia yang mengharapkan setelah melakukan ibadah, misalnya setelah menunaikan puasa ia segera mendapatkan rahmat Tuhan dalam bentuk materi, seperti naik pangkat, usahanya berhasil, sekolahnya lulus dan seterusnya. Sangat keliru menilai rahmat Tuhan hanya dalam bentuk keberhasilan jangka pendek. Mungkin Tuhan pun berkata: “kalau demikian cara kalian mempertuhankan Aku, silakan cari Tuhan lain, Aku tidak sudi menjadi Tuhan kalian. Aku tidak suka didikte untuk memenuhi keinginan-keinginan jangka pendek kalian.”
Ibadah seharusnya dilakukan dengan tulus-ikhlas, tanpa pamrih apa pun, seperti do’a Rabiah al-`Adawiyah, sufi perempuan terkemuka (w. 801 H di Bagdad): “Tuhanku jika aku mnyembahMu hanya lantaran menginginkan surga-Mu, jauhkanlah surga itu dariku, sebaliknya jika aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka-Mu, campakkanlah aku ke neraka-Mu, sebab aku menyembah-Mu tanpa pamrih sedikit pun”.
Demikianlah seharusnya puasa ini dijalankan. Indah sekali!!
Musdah Mulia