Perempuan Sebelum Kehadiran Islam
Islam sejak awal kehadirannya datang untuk membawa nilai-nilai kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Sebelum kehadiran Islam, dunia pada saat itu berada dalam masa kegelapan, krisis nilai-nilai kemanusiaan. Perempuan dalam sejarah dunia, tepatnya sebelum kehadiran Islam, menempati posisi inferior dan dianggap sebagai makhluk sosial kelas dua yang kerap mendapatkan subordinasi, diskrminasi dan marjinalisasi. Perempuan di masa itu tidak banyak memiliki hak sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki.
Pada abad ke-4 SM di Yunani perempuan dijadikan sebagai pemuas laki-laki semata, tugas perempuan hanya untuk melahirkan anak dan mengurus rumah. Pendidikan hanya diberikan kepada anak laki-laki sementara perempuan dilarang untuk belajar membaca dan menulis. Perempuan dalam sejarah Roma (753 SM) hanya ditugaskan untuk memberikan keturunan, kelahiran anak laki-laki begitu diharapkan, sementara kelahiran anak perempuan dianggap membebani keluarga dan tidak dapat memberi andil apapun. Dalam sejarah dan tradisi India, hanya laki-laki yang dianggap sebagai makhluk bijaksana, sementara perempuan hanya dianggap sebagai beban keluarga, bahkan pengguguran seringkali terjadi ketika diketahui bahwa yang dikandung adalah bayi perempuan.
Di Jazirah Arab sebelum kehadiran Islam perempuan tidak memiliki haknya, mewariskan perempuan adalah hal yang lumrah, kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang wajar dilakukan, laki-laki bebas untuk memiliki istri dengan jumlah tanpa batas tanpa memperhatikan hak perempuan. Kelahiran perempuan dianggap aib yang dapat mempermalukan keluarga, tidak jarang bayi perempuan dibunuh dan dikubur hidup-hidup untuk menutupi rasa malu keluarga. Betapa kelamnya kehidupan perempuan pada masa itu. Hingga Islam datang membawa pembaharuan, keadilan dan pembebasan untuk kaum perempuan.
Tauhid untuk Keadilan dan Kesetaraan
Kehadiran Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Islam melarang perempuan dijadikan sebagai harta warisan, dan justru memberikan hak kepada perempuan untuk mendapatkan warisan. Kehadiran anak perempuan oleh Islam turut dirayakan melalui akikah, menghapuskan budaya Arab yang menilai bahwa kelahiran bayi perempuan adalah aib.
Islam membatasi jumlah istri yang dapat dinikahi (yang pada awalnya tanpa batas menjadi hanya empat) untuk melindungi perempuan dari kemudharatan dan kesewenangan kaum laki-laki. Perempuan setelah Islam didengarkan pendapatnya, bahkan beberapa kali Rasulullah Saw. meminta pendapat istri-istrinya, bahkan menerima kritik dan masukan dari kaum perempuan. Sikap ini mencerminkan bahwa Rasulullah adalah seorang pembaharu dan berjiwa feminis.
Meski Rasulullah sejak 15 abad yang lalu telah mencontohkan sikap pemuliaan kepada perempun, namun seiring berjalannya waktu dan semakin jauhnya masa kenabian, budaya patriarki itu hadir kembali, bahkan ironisnya ruang-ruang agama menjadi tempat kampanye domestikasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan di masa modern sekalipun, diskriminasi terhadap perempuan belum sepenuhnya menghilang. Pandangan merendahkan terhadap kaum perempuan, minimnya kepercayaan terhadap kapasitas yang dimiliki oleh kaum perempuan masih dapat kita saksikan mulai dari akar rumput sampai level atas.
Di rumah, perempuan sebagai istri, dia harus tunduk pada suaminya, bahkan terkadang tidak mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Anak perempuan, dia harus patuh pada perintah ayahnya, bahkan keinginannya kerap diabaikan. Di ruang publik, suara perempuan tidak pernah diperhitungkan, pendapat perempuan kerap diabaikan dan diremehkan, ketika perempuan bekerja, upahnya akan lebih rendah di banding laki-laki karena dianggap sebagai pencari nafkah tambahan saja, lalu apa kabar para perempuan kepala rumah tangga yang menjadi tulang punggung keluarganya?.
Kita juga dapat melihat masih banyaknya penafsiran agama yang bias gender. Tokoh-tokoh agama kerap menyalahkan perempuan dan pakaian mereka dalam mimbar-mibar dakwah, mengatakan bahwa perempuan adalah sumber fitnah yang menyebabkan laki-laki melakukan dosa. Domestikasi perempuan juga seringkali disuarakan oleh para tokoh agama dengan dalih menjaga perempuan dan fitrahnya. Begitu bias masyarakat kita membangun perhatian kepada perempuan.
Memaknai tauhid dengan perspektif keadilan dan kesetaraan gender perlu dilakukan. Tauhid adalah landasan keimanan umat Islam, tauhid secara bahasa berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhiidan yang bermakna menyatukan; mengesakan;. Secara istilah tauhid adalah meyakini bahwa hanya Allah Swt. satu-satunya yang layak disembah, ditaati, dan dijadikan tempat bergantung. Seorang muslim yang bertauhid dengan benar ia tidak akan membiarkan dirinya dikuasai orang lain, ia tidak akan menghambakan dirinya pada selain Allah Swt..
Begitu juga sebaliknya, mereka yang bertauhid dengan benar, tidak akan memosisikan dirinya sebagai tuhan bagi orang lain yang selalu ingin ditaati, didengarkan, dan dipatuhi kehendaknya. Muslim yang bertauhid, menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah Swt. yang setara dengan makhluk lainnya, ia tidak akan merasa superior di atas manusia lainnya. Tauhid memberikan penghargaan pada setiap jiwa manusia sehingga ia dapat lepas dari belenggu perbudakan dari siapa pun.
Tauhid mendukung nilai-nilai kesetaraan dan keadilan, kalimat laa ilaha illa Allah adalah deklarasi bahwa manusia adalah makhluk Allah yang setara, memiliki kedudukan sama di sisi-Nya, Allah tidak pernah menilai kemuliaan seseoarng berdasarkan suku, budaya maupun jenis kelaminnya. Melainkan kemuliaan di sisi Allah Swt. adalah mereka yang paling bertaqwa, banyak melakukan kebajikan, memberikan maslahat bagi sekitarnya.
Tauhid dan Fastabiqul Khairat
Perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama dalam Islam, artinya bahwa baik perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses dan perlakuan yang sama dimana pun dan kapan pun. Namun, kesetaraan belum dapat terwujud dengan baik apabila tidak memperhatikan kondisi khusus yang dimiliki perempuan. Perempuan dengan segala keistimewaannya memiliki struktur biologis yang berbeda dari laki-laki, sehingga perlu diperhatikan akses yang ramah perempuan.
Perempuan juga dengan kondisi sosialnya terkadang masih dibebankan dengan peran ganda, sehingga perlu adanya pendampingan dan dukungan khusus untuk perempuan. Apabila telah tercapai keadilan ini, maka tidak menutup kemungkinan perempuan dan laki-laki dapat saling berlomba dalam melakukan kebaikan, memberika kontribusi positif bagi lingkungan sekitarnya.
Saat perempuan sudah tidak dikhawatirkan lagi dengan stigma, baik rumah maupun ruan publik menjadi tempat yang ramah perempuan, maka perempuan dan laki-laki dapat saling bahu membahu untuk memberikan kemaslahatan bagi sekitarnya. Dampak positif ini tentunya dapat kita rasakan apabila setiap dari kita memaknai betul tauhid kesetaraan ini.
Maka gerakan tauhid untuk kesetaraan ini perlu diupayakan, mulai dari memberikan pemahaman di ruang lingkup terkecil kita baik pertemanan maupun keluarga, kemudian sosialisasi di ruang-ruang diskusi, dan bahkan mengajak para pendakwah untuk mulai menarasikan tauhid dengan perspektif kesetaraan di mimbar-mimbar mereka.
-Nurul Amelia Fitri-