,

|

Muslimah Reformis

Sudahkah Perempuan Merdeka dari Kekerasan Seksual?

Muslimah Reformis

[Refleksi Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan] Bicara tentang kekerasan seksual selalu melelahkan bagi saya secara personal, perasaan campur aduk antara kesal, sedih, marah, jijik bahkan sering kali melontarkan sumpah serapah kepada si pelaku. Seperti tak ada habis-habisnya informasi yang memberitakan tentang kekerasan seksual yang terjadi di kalangan masyarakat bawah, menengah bahkan atas. Dari masyarakat yang pendidikannya rendah sampai yang pendidikannya tinggi, bahkan tidak sedikit para pelaku kekerasan seksual yang terjadi berangkat dari seorang tokoh agama.

Masih banyak dari masyarakat kita yang belum paham dengan istilah kekerasan seksual  dan bentuk-bentuknya. Menurut Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.

Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut RUU TPKS yang tertuang dalam Pasal 4 Ayat 1. Yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan yang terakhir kekerasan seksual berbasis elektronik.

Berita tentang kekerasan seksual sering kali muncul di media-media lokal maupun nasional. Dan baru-baru ini, kekerasan seksual di ruang publik sering kali terjadi, salah satunya di Transfortasi Umum. Beberapa hari lalu akun Instagram Narasi News Room memberitakan kejadian kekerasan seksual di KRL Commuter Line. Pelaku memanfaatkan situasi yang padat penumpang pada jam berangkat kerja, lantas menemplekan alat kelaminnya ke tubuh seorang perempuan. Sontak korban kaget dan menegur pelaku sambil menangis. Mirisnya, penumpang lain seperti diam saja dan petugas KRL pun terkesan tak responsif. Peristiwa kekerasan seksual di transportasi umum khususnya di Jakarta mengalami peningkatan. Persentase kasus pelecehan terjadi berdasarkan moda transportasi. Bus 36%, Angkot 30%, KRL 18%, Ojek atau Taksi Online 18% dan Ojek atau Taksi Konvensional 6%.

Bukan hanya di transportasi umum, akan tetapi kekerasan seksual juga sering terjadi di ruang publik lainnya seperti tempat bekerja, komunitas, dan lembaga pendidikan seperti sekolah, kampus, bahkan pondok pesantren. Yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual adalah perempuan, karna perempuan sering kali di anggap sebagai manusia lemah. Salah satu penyebab kekerasan seksual yang sering terjadi di tempat-tempat tersebut yaitu karna adanya relasi kuasa berbasis gender yang timpang, Diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik ekonomi, pengetahuan, status sosial dan lain-lainnya. Akibat dari budaya patriarki yang sudah mendarah daging sejak ribuan tahun lamanya.

Temuan dalam Catahu Komnas Perempuan tahun 2021 Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh: [1] Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. [2] Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. [3] Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.

Padahal, jika kita lihat dari sudut pandang agama, sudah jelas sekali bahwa agama hadir untuk membebaskan umat manusia dari penindasan, penderitaan, keterpurukan di satu sisi dan menegakan keadilan, menyebarkan cinta kasih serta ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Islam sendiri hadir salah satunya untuk menaikan derajat perempuan, karna jauh sebelum Islam hadir perempuan merupakan makhluk termarjinalkan yang diragukan status kemanusiaannya.

Nabi Muhammad Saw, dalam pidato beliau yang disampaikan di hadapan umat Islam di Arafah pada Haji perpisahan antara lain menyatakan :

“Camkan benar-benar! Perlakukanlah perempuan dengan sebaik-baiknya, karena mereka dalam dalam tradisi kalian dianggap sebagai tawanan. Kalian tidak berhak atas mereka kecuali memperlakukan mereka dengan baik.” (HR. Bukhari)

Pemaksaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan sudah sejak lama diharamkan oleh Islam. Tentu saja, kekerasan seksual yang makin hari kian merajalela bukanlah problematika yang remeh temeh, Negara harus tegas dalam menindak kasus ini. Disahkannya RUU TPKS sebetulnya merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual walaupun prosesnya butuh perjuangan dan memakan waktu yang lumayan panjang. Mengingat itu, tentu saja implementasinya di lapangan harus dimaksimalkan. Karna sampai saat ini, beberapa korban kekerasan seksual masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan keadilan.

Di momen Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini adalah momen yang pas untuk kita lebih lantang lagi bersuara dalam keberpihakan kita terhadap korban dengan terus mepercayai dan melindungi korban. Dan terus mengkawalnya agar mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Kemudian terus berupaya menyadarkan orang-orang di sekitar kita betapa buruk dan terkutuknya perbuatan tersebut. Sehingga, tidak ada lagi korban berjatuhan yang menderita dengan membawa beban stigma sebagai korban pelecehan dan menanggung trauma yang berkepanjangan. Sudah saatnya kita merdeka dari kekerasan dalam bentuk apapun.

 

Editor: Wiwit Musaadah