|

Muslimah Reformis

Tauhid dan Spirit Pembebasan

Tauhid dan Spirit Pembebasan

(Pemikiran Cak Nur)

Oleh: Musdah Mulia

Bangsa Indonesia, terutama umat Islam sepatutnya bersyukur dan bangga karena di tengah-tengah mereka pernah dihadirkan seorang ulama dengan kemampuan literasi keislaman dan kemanusiaan yang luar biasa. Ulama yang telah memberikan keteladanan akhlak karimah, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat. Teladan seperti ini sudah langka dijumpai pada era generasi sekarang. Ulama yang mendedikasikan sepenuh hidupnya untuk mencerahkan sesama dengan pemikiran keagamaan yang kritis, humanis dan pluralis. Ulama itu adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang akrab dengan panggilan Cak Nur.

Beliau adalah ikon pemikir kritis Indonesia. Sebagai cendekiawan Islam ternama, pemikirannya berkelindan di antara tiga tema besar, yaitu Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan. Pandangannya tentang tiga tema tersebut bersandar pada gagasan radikal terhadap prinsip utama ajaran Islam, yakni konsep tauhid (keesaan Tuhan). Baginya, konsep tauhid bukanlah semata ajaran ketuhanan, melainkan sarat dengan ajaran kemanusiaan, yakni tentang bagaimana seharusnya memanusiakan manusia.

Cak Nur sangat yakin, tujuan penciptaan manusia adalah menjadi khalifah (pengelola, penata atau pemimpin). Sebagai khalifah di bumi, manusia memiliki kedudukan sangat sentral. Untuk dapat melaksanakan peran penting tersebut dengan baik, manusia diberikan kemerdekaan dengan penuh tanggung jawab. Itulah sebabnya, beliau sangat gigih membela prinsip kemerdekaan manusia. Bagi Cak Nur, kemanusiaan harus tegak dan berdiri kokoh di atas prinsip kebebasan manusia, yaitu kebebasan dari berbagai ikatan yang dapat membelenggu dan menindasnya. Jika manusia memahami dengan benar visi penciptaannya sebagai khalifah fil ardh, maka ia terbebas dari semua perilaku tidak manusiawi. Sebaliknya, seluruh hidupnya penuh dihiasi nilai-nilai kasih sayang, kerendahan hati, kejujuran dan penghargaan terhadap sesama tanpa kecuali, serta dapat bekerjasama dengan semua kelompok dengan penuh tanggung jawab.

Tulisan ini bukan hanya mengungkapkan pandangan dan pemikiran kritis Cak Nur terkait tiga tema besar yang disebutkan tadi, melainkan juga memaparkan perilaku beliau yang mencerminkan nilai-nilai tauhid. Betapa beliau sebagai manusia merdeka mampu membebaskan diri dari godaan hidup duniawi, sikap arogan dan perilaku hedonistik. Beliau aktif dalam upaya-upaya menegakkan perdamaian demi membangun masyarakat harmoni penuh toleransi. Beliau selalu menekankan pentingnya membangun spiritualitas melalui pendidikan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Menarik karena apa yang beliau katakan sejalan dengan apa yang beliau praktikkan dalam kehidupan nyata. Bagi saya, satunya kata dan perbuatan menempatkan Cak Nur sebagai guru bangsa yang patut diteladani.

Figur pemikir yang demokratis, rendah hati dan penuh empati

Interaksi awal saya dengan Cak Nur terjadi pada 1987, sebagai peneliti muda di Kantor Litbang Kemenag, Makassar, Sulawesi Selatan, saya mendapat tugas meliput ceramah beliau. Beliau diundang oleh IAIN Alauddin (kini bernama UIN Alauddin) menyampaikan ceramah di hadapan civitas akademika dan para tokoh agama. Pandangan keislaman beliau yang sangat progresif memukau banyak orang, terutama kalangan muda. Beliau telah membuka selubung tebal yang menutupi pemikiran, khususnya bagi kalangan pesantren seperti saya. Waktu itu beliau menyampaikan ceramah secara lisan, tidak tertulis. Meski alat-alat perekam belum secanggih sekarang, namun karena semangat saya mampu menuliskan secara detil semua pandangan beliau dalam ceramah tersebut. Tulisan saya hasil liputan itu kemudian menjadi bahan diskusi di lingkungan akademisi Sulawesi Selatan. Inti ceramah beliau menekankan pentingnya umat Islam mengedepankan pemikiran kritis agar berkembang daya inovasi dan kreativitasnya demi membangun peradaban yang lebih maju. Umat Islam memiliki pijakan kuat dalam kitab suci untuk mengembangkan peradaban modern.

Lalu, pada 1990 saya melanjutkan studi ke Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, ketika itu dipimpin Prof. Dr. Harun Nasution. Belum sebulan saya diterima di sana, datang berita dari salah satu universitas di Manila, Filipina mengabarkan kelulusan saya. Saya pun menghadap Prof. Harun, dan beliau begitu meyakinkan saya bahwa kuliah di Pasca UIN jauh lebih baik. Alasannya, dosen-dosen yang mengajar sangat mumpuni, perpaduan Barat dan Timur. Saya ingat beliau mengatakan: ”di sini anda akan mendapatkan ilmu dari lulusan Barat dan Timur sehingga memperluas perspektif anda. Ada Cak Nur dari Barat, sedangkan lulusan Timur seperti Prof. Muslim Nasution. Intinya, studi keislaman di sini lebih lengkap.” Ketika menyebut nama Cak Nur, hati saya langsung merasa mantap memilih studi di sini. Meski Cak Nur dikenal liberal, tapi dalam perkuliahan beliau justru mengajak kembali menelisik dan menelaah literatur keislaman klasik. Beliau mengampu mata kuliah Pemikiran Islam Klasik dengan referensi utama kitab kuning karya Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al Ra’i wa al Ra’iyah. Kitab ini membahas kewenangan dan tanggung jawab kepala negara menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, sebaliknya tanggung jawab dan kewajiban rakyat terhadap negara.

Tidak banyak mahasiswa berani mengambil mata kuliah ini karena kesulitan membaca kitab gundul. Cak Nur mewajibkan kami membaca sejumlah halaman kitab kuning, lalu menganalisa makna kontekstual dan relevansinya dengan kehidupan kontemporer. Cak Nur mengajarkan kami pentingnya penguatan literasi keislaman. Beliau selalu meminta kami mengedepankan pemahaman rasional yang kritis, melakukan analisa filosofis dan melihat isu yang kami bahas dari berbagai perspektif: politik, hukum, ekonomi, sosiologis dan seterusnya. Berbeda sekali dengan di pesantren, kitab kuning hanya dibaca dan dimaknai secara tekstual, bahkan terkesan menghafal teks. Selama mengikuti perkuliahan beliau di Pascasarjana UIN saya dapat merasakan vibrasi dari keluasan pandangan Cak Nur. Penguasaan beliau begitu mendalam terhadap literasi keislaman, baik klasik maupun modern. Selain itu, juga terlihat betapa gigihnya beliau memperkenalkan  isu-isu demokrasi dalam perspektif Islam.

Sambil kuliah di Pascasarjana UIN, saya juga berkantor di Litbang Kemenag Pusat, ketika itu dipimpin oleh Hafid Dasuki, sahabat dekat Cak Nur, keduanya alumni Pesantren Gontor. Pak Hafidz mendapat tawaran dari PT. Van Hope menyusun Ensiklopedi Islam yang kelak merupakan Ensiklopedi Islam pertama di Indonesia. Saya dan suami menjadi administrator kegiatan penulisan tersebut. Hafidz Dasuki meminta Cak Nur menjadi Ketua Dewan Redaksi. Selama dua tahun proses penulisan ensiklopedi inilah saya intens bertemu dan berdialog dengan Cak Nur, terutama membahas entri-entri dalam ensiklopedi tersebut. Cak Nur bagi saya adalah figur yang sangat demokratis. Setiap keputusannya selaku Ketua Dewan Redaksi selalu mempertimbangkan pendapat anggota dewan redaksi, yang sebagian besar adalah muridnya. Beliau juga amat teliti, mengoreksi hampir semua tulisan, memberikan catatan kritis untuk revisi dan penyempurnaannya. Beliau tidak mau menerima honor jika pekerjaannya belum tuntas. Sikap disiplin, kerja keras penuh tanggung jawab inilah yang saya selalu ingat dari beliau.

Saya semakin mengenal Cak Nur melalui organisasi ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), sebuah organisasi lintas iman yang sangat aktif mempromosikan kemerdekaan beragama. Secara historis, organisasi ini merupakan bagian dari WCRP (World Conference on Religion and Peace), berkedudukan di New York. Saya membantu Gus Dur dan sejumlah pemuka agama mendirikan ICRP pada 1997, lalu tahun 2005-2020 saya dipercaya menjadi ketua umum ICRP. Ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia (akhir 1999), beliau menunjuk Cak Nur menggantikan posisinya sebagai salah satu ketua WCRP. Sejak itulah Cak Nur sering mewakili WCRP di berbagai forum internasional, berbicara tentang isu peace and religion.

Satu hal yang saya catat terkait pemikiran Cak Nur mengenai isu-isu perdamaian dan relasi antar agama, beliau selalu mampu menjelaskannya dengan landasan teks-teks suci Al-Qur’an dan Hadist. Saya seringkali terpukau dengan penjelasan Cak Nur yang selalu berpijak pada tradisi keislaman yang kuat. Cak Nur berhasil menunjukkan sikap skripturalisme yang unik. Sebab, beliau memiliki kemampuan membaca secara literal teks-teks suci dengan cara berbeda dari kalangan fundamentalis yang biasanya konservatif. Sikap skriptualisme beliau justru menggugah kesadaran kritis untuk melihat teks secara liberal sehingga terbebas dari belenggu mitos, khurafat dan takhayul.

Sebagai pimpinan ICRP, saya beberapa kali mengikuti beliau menghadiri forum internasional. Salah satu yang amat berkesan adalah Konferensi WCRP di Amman, Yordan tahun 1999. Kami para delegasi Indonesia senang berkumpul dalam satu meja ketika waktu makan. Pada kesempatan seperti itulah kami bisa ngobrol lama dan santai dengan Cak Nur. Dalam beberapa perjalanan bersama beliau, kami beberapa murid beliau terkesima dengan sikap beliau yang rendah hati, jauh dari sikap sombong dan arogan, meski beliau tokoh internasional. Rasanya semua orang ingin menggunakan kesempatan menimba ilmu beliau sebanyak-banyaknya. Meski terlihat lelah, beliau tetap ramah dan bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Wajahnya tak pernah lepas dari senyuman, penuh respek kepada sesama tanpa mengenal hirarki. Meski begitu, jika ada di antara kami yang berpendapat kurang relevan, beliau dengan tegas menolak dan lalu menyatakan pandangannya. Misalnya, suatu ketika seorang peserta seminar menyatakan bahwa umat Nasrani sekarang ini sudah tidak murni lagi karena mereka banyak menyalahgunakan isi kitab suci mereka. Dengan tegas beliau menjawab, umat Islam juga banyak yang menyalahgunakan Al-Qur’an. Maksudnya, kita tidak boleh menghakimi umat beragama lain dengan berbagai stigma negatif. Sebaiknya tunjukkan penghargaan dan rasa hormat kepada sesama umat beragama.

Saya ingat betul, dalam suatu acara makan malam, seorang teman bertanya kepada Cak Nur, mengapa beliau tidak membahas secara mendalam isu-isu perempuan dalam tulisannya. Secara mengejutkan beliau menjawab, “ahh… itu merupakan porsinya Musdah, biarkan dia mengulasnya dengan tuntas.” Jawaban Cak Nur yang spontan tadi kelak menggugah kesadaran saya mengambil tanggung jawab mendalami isu gender. Alhasil, beberapa tahun kemudian saya melahirkan beberapa karya terkait isu perempuan dan keadilan gender. Mengikuti cara berpikir beliau, saya pun menggunakan landasan tauhid sebagai inti ajaran Islam dalam mengeksplorasi kajian tersebut. Bahkan, saya sampai pada kesimpulan, jika seseorang menghayati dan mengimplementasikan ajaran tauhid dengan benar, pasti akan terhindar dari semua bentuk tindakan dan perilaku tidak adil, diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan berbasis apa pun, termasuk berbasis gender. Itulah pentingnya konsep tauhid.

Tauhid dan Pembebasan Manusia

Bagi Cak Nur, tauhid merupakan komitmen manusia pada Tuhan yang memiliki dua dimensi pembebasan kemanusiaan yang sangat berarti. Pertama, dimensi pembebasan diri (self liberation) dari semua godaan hawa nafsu yang merendahkan martabat manusia. Kedua, dimensi pembebasan sosial (social liberation) dengan aktif berjihad menentang semua bentuk thagut dan ketidakadilan.

Tauhid kemanusiaan adalah bentuk perlawanan terhadap perampasan hak asasi manusia. Tauhid memiliki korelasi positif dengan nilai-nilai pribadi yang positif, seperti iman, sikap kritis, kemandirian, keterbukaan, dan kejujuran, serta mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Tauhid dalam tingkat yang tinggi dan abstrak adalah perjalanan yang mensyaratkan kekosongan pikiran perbandingan mengenai Tuhan.

Tauhid menguatkan nilai-nilai pribadi yang positif seperti iman yang benar, sikap kritis, penggunaan akal sehat (sikap rasional), kemandirian, keterbukaan, kejujuran, sikap percaya kepada diri sendiri, berani karena benar, serta kebebasan dan rasa tanggungjawab. Tauhid mendorong wujudnya kebebasan, sekularisasi, demokrasi, dan kemajuan peradaban umat manusia. Tauhid meyakinkan manusia bahwa wujud sempurna hanyalah Tuhan. Selain Tuhan, semuanya fana dan penuh dengan kekurangan. Tauhid membawa kepada kemerdekaan manusia. Kemanusiaan menjadi pondasi utama dalam tegaknya agama dan negara. Kehidupan masyarakat dalam era modernisasi hendaknya dibekali dengan tradisi pemahaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

Intinya, tauhid adalah gagasan besar Islam yang memberikan pesan kepada setiap Muslim untuk membangun suatu masyarakat terbebas dari perilaku diskriminatif, eksploitatif, feodalistik dan menghindari pelapisan (stratifikasi) masyarakat berdasarkan kelas, ras, latar belakang genetik dan sebagainya. Itulah mengapa Islam hadir untuk memberangus semua sistem tirani yang despotic dan penuh ketidakadilan. Tauhid sebagai kekuatan pendobrak, memiliki fungsi praktis idealis, praktis sebagai kekuatan untuk membangun kembali peradaban Islam dan idealis sebagai sentrum seluruh pengetahuan.

Kebebasan Berpikir

Tauhid membawa kepada kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir adalah karakteristik dasar manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Al-Qur’an banyak menyerukan kepada manusia untuk berpikir. Sebagai khalifah Allah di Bumi, manusia diberi kebebasan menggunakan akal pikirannya untuk memakmurkan kehidupan. Kebebasan berpikir adalah hak seseorang untuk memiliki atau mempertimbangkan sudut pandang atau pemikiran yang berbeda dari sudut pandang orang lain. Kebebasan berpikir juga disebut sebagai kebebasan hati nurani.

Kebebasan berfikir perlu diimbangi dengan penerapan etika di dunia akademis. Penerapan etika untuk menghindari terjadinya efek-efek yang negatif. Kebebasan berfikir adalah kebebasan yang mempunyai tanggung jawab bukan kebebasan yang liar. Kebebasan berpikir berpijak pada prinsip berikut: kebenaran akidah selalu dipegang sebagai kebenaran sejati; menjadikan hasil evaluasi sebagai pangkal perubahan; memiliki sikap terbuka dalam ide-ide kemajuan.

Islam tidak melarang seorang Muslim untuk bebas berpikir, berfilsafat, namun hendaknya dalam kebebasan berpikir harus tetap berpegang kepada nilai, norma dan ajaran Islam. Pendidikan harus menghasilkan siswa yang cerdas dalam ilmu pengetahuan dan mempunyai karakter yang baik.

Al-Quran mengemukakan pentingnya memberdayakan kemampuan berpikir khususnya dalam pendidikan. Akan tetapi kenyataan tersebut kurang disadari sebagian besar umat Islam, padahal berpikir adalah sumber kekuatan untuk meraih peradaban.

Al-Quran menyebutkan tujuan berpikir kritis yaitu, mendapatkan kebenaran, mengamalkan syariat Islam, lebih dekat dengan Allāh Swt, dan agar terbentuk akhlak mulia. Cara berpikir menurut Alquran: berpikir dengan hati yang bersih, berpikir dengan logika atau akal yang benar disertai bimbingan wahyu, berpikir luas dengan cara yang sederhana agar mudah dipahami, dan terbuka dengan pemikiran orang lain. Adapun manfaat berpikir: mengetahui hikmah dari syariat Islam,  mengetahui hikmah dan tujuan ciptaan Allah Swt, termotivasi melakukan kebaikan, diangkat derajatnya, terhindar dari hawa nafsu, dan mendapat ilmu pengetahuan.

Kebebasan mempunyai kaitan erat dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Kebebasan akan terwujud jika ada keadilan. Ini berarti bahwa kebebasan seseorang akan terlaksana dengan menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain, menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak ada penganiayaan, paksaaan maupun penindasan. Kebebasan harus disertai sikap lemah lembut, toleransi, persaudaraan, kasih sayang, ketegasan, kontrol, dan kekuatan undang-undang. Hal-hal inilah yang merupakan dasar adanya hubungan harmonis dalam masyarakat. Kebebasan bergantung dan bertitik tolak pada kepercayaan akan harga diri manusia. Manusia mempunyai nilai dalam kehidupannya karena adanya harga diri yang dimilikinya. Kebebasan menjadi tidak berguna apabila harga diri manusia tidak mendapatkan penghormatan selayaknya.

Islam dan Kemodernan

Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah (hukum illahi). Agar dapat menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam. Cak Nur sering menegaskan bahwa kekuatan Islam itu justru ada pada isu kemodernannya. Itulah mengapa beliau sangat gigih mengelaborasi Al-Quran dan tradisi Islam lainnya untuk menjelaskan segala isu Islam modern sembari memperkenalkan hermeneutika Al-Quran.

Menariknya, beliau sangat mengidolakan masa klasik Islam sebagai contoh kemodernan Islam. Beliau pun tidak tanggung-tanggung mengumpulkan banyak catatan para pemikir Barat yang mendukung gagasan kemodernan masa klasik. Di antaranya, Robert N. Bellah, Marshall Hodgson, Ernest Gellner, Bernard Lewis, Cyril Glasse, dan Bertrand Russell. Mereka semua mengamini sebuah model masyarakat klasik yang sangat baik bagi umat Islam untuk dikembangkan lagi di masa modern ini. Adapun strategi yang harus ditempuh umat Islam bukanlah dengan mengubah ajaran Islam seperti banyak disuarakan pemikir modern, melainkan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri. Di sinilah, menurut Cak Nur, relevansinya kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Dengan metodologi pengembangan hermeneutika Al-Quran ini, Cak Nur membuat suatu pembaruan yang liberal, yang sudah menjadi agendanya sejak 1970-an, hanya saja sekarang itu dilakukannya dengan cara yang tidak kontroversial, karena menggunakan hermeneutika Al-Quran. Namun, dengan cara yang quranik ini pun Cak Nur tetap saja dianggap kontroversial.

Sepanjang karir pembaruannya, Cak Nur mengeksplorasi hampir semua ide-ide modern, seperti demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, sosialisme, kapitalisme, humanisme, sekulerisme dan perkembangan sains modern. Mengolah kembali khazanah terbaik umat manusia sekarang ini, dan menjadikannya sebagai milik umat Islam adalah hakikat makna ijtihad atau pembaruan. Bagi Cak Nur, ijtihad atau pembaruan haruslah merupakan proses terus-menerus sebagai pemikiran yang orisinal, berlandaskan penilaian atas gejala-gejala sosial dan sejarah, yang sewaktu-waktu harus ditinjau kembali benar salahnya.

Ijtihad merupakan suatu proses di mana kesalahan proses akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan. Sungguhpun demikian, itu pun, menurut Cak Nur, masih lebih ringan daripada beban stagnasi sosial sejarah akibat tidak adanya pembaruan. Dan bagi Cak Nur, tidak mungkin ada ijtihad dan pembaruan yang akan mengubah masyarakat ke arah peradaban, jika tidak ada organisasi-organisasi penelitian dengan dasar yang kuat, yang mempunyai metode yang unggul untuk menganalisis situasi apa pun, dan mempunyai pengetahuan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan kemajuan kemanusiaan dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di setiap bidang, baik sosial maupun alam. Pekerjaan pembaruan, menurut Cak Nur, adalah pekerjaan dari kalangan masyarakat yang mempunyai kemampuan berpikir kritis. Dengan kata lain, pekerjaan kaum terpelajar, dengan tanggung jawabnya yang berat, yaitu kemajuan umat Islam, dan kemajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Pandangan Cak Nur tentang kemodernan juga membawa gagasan kosmopolitan Islam. Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi rahmatan lil alamin yakni kebaikan bagi seluruh alam. Untuk meyakinkan pandangan ini, beliau selalu merujuk ke firman Allah swt (Q.S. Al-Anbiya:107). Institusi negara diperlukan dalam pengelolaan masyarakat demi penegakan keadilan. Untuk itulah pemerintahan dibangun sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat demi menegakkan keadilan. Pemerintahan harus ditopang oleh dua pilar yaitu keadilan dan upaya mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).

Gagasan Cak Nur tentang pentingnya penegakan keadilan ini terlihat sangat menonjol karena sebagai ulama beliau juga pernah bertugas sebagai komisioner Komnas HAM, institusi yang bertanggungjawab bagi upaya-upaya penegakan keadilan di negeri ini. Keadilan merupakan salah satu isu penting manusia modern. Saya yakin, pandangan-pandangan keislaman Cak Nur mampu membawa umat Islam, khususnya di negeri ini menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi. Semoga!

Daftar Pustaka

 

Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Ali, A. Mukti. 1981. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press.

Al-Ghazali, Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad. Tanpa tahun. alMustashfâ min Ilm alUshûl, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa.1962.Tafsir al-Maraghi. Mustafa al-Babi al-Halabi, Kairo.

Madjid, Nurcholish. 1987. Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.

———-, 1987. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

———-, 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina.

———-, 1994. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Penerbit Paramadina.

———-, 1995. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina.

———-, 1995. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Paramadina.

———-, 1996. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: Penerbit Paramadina.

———-, 1997. Masyarakat Religius. Jakarta: Penerbit Paramadina.

———,2000. Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina.

———,2003. Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan, dalam Charles Kurzman (Ed.) Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina.

Download file disini