Baru-baru ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian untuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa aturan tersebut tertulis soal perizinan poligami bagi ASN pada pasal 4 yang isinya ‘Bagi ASN yang ingin melakukan poligami, harus mendapat izin dari atasan. Jika tidak, maka ASN akan diberikan sanksi berat.
Selain itu Pergub Nomor 2 Tahun 2025 juga menyebut bahwa Pegawai ASN pria yang akan beristri lebih dari satu, wajib memperoleh izin dari Pejabat yang Berwenang sebelum melangsungkan Perkawinan. Selanjutnya pada Pasal 5, diatur soal syarat untuk mendapatkan izin poligami bagi ASN karena beberapa alasan yang mendasari Perkawinan diantaranya:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 (sepuluh) tahun Perkawinan
- Mendapat persetujuan istri atau para istri sebelumnya secara tertulis
- Mempunyai Penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan para Anak
- Sanggup berlaku adil terhadap para istri dan para anak
- Tidak mengganggu tugas kedinasan
- Memiliki putusan pengadilan mengenai izin beristri lebih dari seorang.
Lalu pada Pasal 6, ada beberapa poin yang membuat ASN tidak mendapat izin poligami yaitu karena bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut ASN, alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat, dan atau mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan. Sementara aturan poligami ASN yang sudah diatur sebelumnya pada PP Nomor 45 Tahun 1990 Pasal 4 yang berisi ASN pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat, Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
Yang Perlu Dipertanyakan dari Pergub ini diantaranya
- Apakah PJ atau pejabat sementara boleh menerbitkan kebijakan yang substansinya bersifat umum dan mengatur, karena dia bukan pejabat definitif.
- Sudah ada Peraturan yaitu PP No 45 tahun 1990 tentang Perubahan PP No 10 tahun 1983 tentang Izin perkawinan dan Perceraian Pegawai negeri sipil.
- Dalam PP No 45 tahun 1990 disebutkan: bahwa ASN boleh poligami apabila;Perkawinan antara ASN dengan istrinya sudah 10 tahun dan belum memiliki keturunan, Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, mengalami cacat badan, memiliki penghasilan yang cukup untuk memelihara lebih dari satu isteri dan anak-anak, mendapatkan ijin tertulis dari istrinya, mendapatkan ijin dari atasan, ada peraturan PJ diatur selain mendapat cacat tubuh, suami juga boleh Poligami jika isteri mengalami sakit badan yang sudah bertahan tahun. Aturan ini bahaya dan mendiskriminasi isteri yang mengalami disabilitas dan sakit menahun.
Aturan Sangat Diskriminatif terhadap Perempuan
Pergub Nomor 2 Tahun 2025 isinya sangat diskriminatif terhadap perempuan, karena poin per poin dari Pergub ini jelas perempuan (istri) yang lagi-lagi dirugikan untuk kepentingan, kepuasan dan kesenangan segelintir orang yang ingin beristri lebih dari satu.
Masih banyak peraturan yang harus segera dibuat urgent oleh pejabat negeri ini untuk kepentingan rakyat kecil, yang lebih penting dari hanya sekedar urusan kawin lagi dan beristri banyak untuk segelintir orang yang gajinya pun berasal dari anggaran negara yang jelas-jelas adalah uang rakyat, lalu dengan lenggangnya Pergub ASN boleh beristri lebih dari seorang ini dibuat tanpa ‘empati’ pada rakyat yang masih kesulitan dalam ekonomi, PHK, Pengangguran dan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang dipertotonkan pejabat tanpa rasa malu. Koruptor yang beristri satu saja masih melakukan korupsi, lalu bagaimana jika ASN, Pejabat beristri lebih dari satu, peluang korupsi pun akan semakin tinggi karena terdesak kebutuhan keluarga besar bukan?
Bagaimana Fenomena Poligami?
Dalam Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis, Realita sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa poligami kerap dikaitkan dengan ajaran Islam. Menurut UU Perkawinan suami boleh poligami ‘kalau mampu berlaku adil dan ada izin dari istri dengan tiga syarat yaitu kalau istri mandul, sakit berkepanjangan dan istri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri. Walau pada kenyataanya banyak pelaku poligami yang melakukannya diam-diam dari istri sebelumnya dan tidak bisa berlaku adil (karena sejatinya perempuan lah yang merasakan sikap adil atau tidak dari sebuah poligami). Semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat perspektif kepentingan laki-laki (suami) dan tidak sedikit pun mempertimbangkan perasaan dan kepentingan perempuan (istri), bagaimana kalau posisinya dibalik, suami mandul, suami disabilitas atau sakit berkepanjangan sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai seorang suami apakah pengadilan agama juga akan mengizinkan perempuan (istri) menikah lagi?
Ketentuan hukum yang ada tentang poligami jelas menunjukkan inferior dan subordinat perempuan dihadapan laki-laki dan ini bertentangan dengan esensi Islam yang sejatinya mengedepankan kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan. Agama sejatinya membuat hidup manusia lebih bermakna baik bagi dirinya, sesama dan alam semesta. Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan sekaligus rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Belajar dari Perkawinan Monogami Rasulullah
Banyak hal yang bisa diambil pelajaran dari sejarah kisah cinta Nabi Muhammad SAW Namun, segelintir orang yang secara ‘pribadi’ memang menyukai perkawinan lebih dari satu istri kerap mengambil tafsir Poligami untuk membenarkan pilihannya supaya bisa berpoligami. Alasan yang paling sering adalah’Poligami sama dengan menjalankan Sunnah Nabi’. Jika umat Islam sungguh-sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka sejatinya kita lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Banyak aktivitas yang dapat dilakukan untuk meniru sunnah Nabi, satu diantaranya membantu anak-anak yatim agar mereka dapat penghidupan yang manusiawi.
Padahal faktanya, meski sebagian kalangan yang melakukan poligami itu meniru Nabi Muhammad SAW, namun jika mengecek lagi catatan sejarah Muhammad Rasulullah sang pembawa risalah Islam, sebetulnya Nabi hidup dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami tetapi justru Muhammad memilih monogami.
Rasul menikahi Siti Khadijah saat usia 25 tahun, perlu disadari Umat Islam bahwa perkawinan beliau yang monogami dipenuhi kebahagiaan selama 28 tahun, 17 tahun dijalani sebelum kerasulan (qobla al-bi’tsah) dan 11 tahun sesudahnya (bada al-bi’tsah). Kebahagiaan pasan setara ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam.
Kendati Rasul punya alasan kuat untuk melakukan poligami saat khadijah masih hidup yaitu Khadijah belum memberikan anak laki-laki yang hidup hingga dewasa, tapi Muhammad tetap setia pada pilihannya untuk monogami. Baginya, khadijah bukan semata Istri yang menemani kala tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog, tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan jiwa.
Perkawinan monogami Rasulullah dengan Khadijah yang penuh kedamaian dan kebahagiaan seharusnya menginspirasi umat Islam untuk memilih monogami, BUKAN poligami. Bahkan sebagai seorang Ayah sikap Nabil sangat terpuji untuk mengikuti Sunnah Rasul untuk TIDAK mengizinkan putrinya yaitu Fatimah untuk dipoligami. Rasul melarang menantunya melakukan poligami.
Semoga kita bisa belajar dan memahami literasi Sunnah Rasul secara utuh, kritis dan tepat agar tidak mudah menelan tafsir mentah hanya untuk membenarkan perilaku poligami untuk mengisi tangki hawa nafsu dalam diri.