|

Muslimah Reformis

Keadaban Publik dalam Perspektif Islam

Memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin 

Islam berakar dari kata “salam” artinya kedamaian. Jadi tujuan Islam adalah mewujudkan perdamaian bagi umat manusia dan seluruh makhluk di alam semesta. Perdamaian hakiki hanya dapat diwujudkan melalui penguatan sifat rahmah (cinta, kasih sayang dan penghormatan yang tulus tanpa pamrih). Al-Qur’an menyebut kata rahmah, rahmân, rahîm dan derivasinya berulangulang dalam jumlah yang begitu besar, setidaknya dijumpai pada lebih dari 90 ayat. Ketika mengangkat Muhammad menjadi rasul-Nya, Allah mengingatkan bahwa dia diutus semata untuk menebar rahmah bagi semua makhluk di alam semesta (Q.S. al-Anbiyâ, 21:107). Pesan kerahmatan ini tersebar luas bukan hanya dalam Al-Qur’an tapi juga dalam hadis Nabi SAW, misalnya sebuah hadits qudsi mengingatkan pernyataan Allah: “Anâ ar-rahmân. Anâ ar-rahîm” (Aku Maha pengasih. Aku Maha penyayang). Tuhan mempertegas eksistensi diri-Nya dengan dua sifat rahmah tersebut.

Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi Muhammad SAW dengan pernyataan yang terang benderang:”Inni bu’itstu li utammima makârim al-akhlâq” (Aku diutus Tuhan semata untuk membentuk moralitas kemanusiaan yang luhur).  Atas dasar inilah, Nabi selalu menolak dan melawan secara tegas berbagai bentuk ketidakadilan dan kebiadaban (kejahiliyahan). Untuk lebih mempertegas fungsi kerahmatan tersebut, beliau bersabda:ما بعثت لعانا وانما بعثت رحمة (Aku tidak diutus sebagai seorang pengutuk, melainkan sebagai orang yang pengasih dan penyayang.

Allah telah memberikan kesaksian sekaligus merestui metode dakwah dan penyebaran Islam yang mengedepankan kasih-sayang bukan dengan pemaksaan dan penindasan sebagaimana firmanNya: “Maka berkat rahmah Allah, kamu mampu merangkul mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauh darimu, maka maafkanlah dan mohonlah ampunan bagi mereka serta bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan” (Q.S. Âli ‘Imrân, 3:159). Firman Allah tersebut seharusnya menginspirasi setiap Muslim untuk mengedepankan sifat rahmah, dan sebaliknya menghindari semua bentuk ketidakadilan dan kebiadaban dalam pergaulan sosial. Sebab, itulah dasar utama dalam penegakan nilai-nilai keadaban publik agar semua manusia merasakan indahnya damai dan harmoni dalam kehidupan bersama (Mulia, 2010).

Islam memanusiakan manusia

Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan visi yang jelas, yaitu sebagai khalifah fil ardh (agen moral). Adapun misi utama manusia adalah amar ma’rûf nahi munkar, yaitu melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi demi terwujudnya masyarakat yang berkeadaban (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur), yaitu masyarakat yang mengimplementasikan dengan sadar akan nilai-nilai keadaban publik (Mulia, 2020).

Penegakan keadaban publik meniscayakan adanya penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity), dalam term Islam disebut karamatul insan. Islam sangat kuat mengajarkan penghormatan terhadap sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial (gender), ras, suku bangsa, dan berbagai ikatan primordial lain. Karena itu, ajaran Islam dapat dilihat dari dua aspek: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (Madjid, 2000). Sayangnya, kebanyakan umat Islam lebih fokus mengamalkan ajaran ketuhanan dan cenderung mengabaikan ajaran kemanusiaan. Tidak heran jika sebagian umat Islam terkesan kurang manusiawi.

Ajaran kemanusiaan Islam telah dielaborasi dengan baik oleh sufi ternama, Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) dan dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Abu Ishaq al-Syathiby (w.790 H). Rumusan ajaran itu kemudian dikenal dengan konsep al-dlarûriyât al-khams (lima bentuk perlindungan). Al-Ghazali mengatakan, tujuan utama syariat Islam (maqâshid al-syarî’at) adalah mewujudkan kesejahteraan sosial atau kemaslahatan bersama, inilah yang dimaksud dengan keadaban publik. Beliau menulis: “Kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan agama yang memuat lima bentuk perlindungan (al-dlarûriyât al-khams), yakni pertama, perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup (hifdh al-nafs); kedua, perlindungan terhadap hak kebebasan berpikir dan berpendapat (hifdh al-‘aql); ketiga, perlindungan hak kesehatan reproduksi (hifdh an-nasl); keempat, perlindungan hak milik dan kekayaan (hak properti) (hifdh al-mâl); dan kelima, perlindungan terhadap hak berkeyakinan (hifdh al-dîn). Umat Islam baik sebagai individu, maupun anggota masyarakat berkewajiban menegakkan lima hak dasar tersebut yang merupakan cikal bakal perlindungan hak asasi manusia (al-Ghazali, 1905).

Tauhid sebagai sumber ajaran keadaban publik 

Ajaran tentang keadaban publik dalam Islam sesungguhnya berakar dari pengamalan tauhid, inti ajaran Islam. Hal itu terlihat dari perintah Allah untuk hablun minallah dan hablun minannas. Artinya, hubungan baik dengan sang Khalik tercermin dalam hubungan baik dengan sesama manusia, sesama makhluk, termasuk lingkungan hidup dalam arti luas. Kesalehan individual harus berjalan seiring dengan kesalehan sosial. Karena itu, ketakwaan dan kesalehan seorang manusia dalam Islam diukur dari sejauh mana dia memberikan manfaat kepada sesama. Bukan terlihat dari gaya hidup, pilihan busana, cara beribadah dan sebagainya. Melainkan terlihat dari akhlak mulia yang ditampilkan dalam seluruh aspek pergaulan sehari-hari (Nasution, 1995).

Tauhid adalah inti ajaran Islam, mengajarkan bagaimana berketuhanan secara benar dan sekaligus menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Tauhid mengajarkan hanya ada satu Tuhan yang patut disembah dan dipertuhankan, selebihnya adalah makhluk. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.

Ajaran tauhid diimplementasikan dengan baik oleh Rasulullah dalam kehidupan individual maupun sosial. Dengan ajaran ini, Rasulullah melakukan perubahan radikal di segala bidang, dari tingkat ideologis sampai ke tingkat praktis. Keyakinan akan keesaan Allah membuat Rasulullah dengan tegas melarang praktik mempertuhankan apa pun selain Allah, seperti patung berhala, ideologi, kebesaran suku, pemimpin, penguasa, termasuk hawa nafsu dan ego yang ada dalam diri manusia. Dengan demikian, tauhid mendorong manusia membebaskan sesama dari kebiadaban perbudakan, praktek dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan semua bentuk kekerasan. Ajaran tauhid membuat Rasul berani membela kelompok mustadh’afîn, yaitu mereka yang direndahkan, teraniaya dan tertindas secara struktural dan sistemik, seperti kaum perempuan, budak, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya (Mulia, 2005).

Tauhid melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka rakyat tidak boleh mempertuhankan raja dan pemimpin, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasan dan istri tidak boleh mempertuhankan suami, begitu seterusnya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.

Tauhid bukanlah sekadar doktrin keagamaan yang statis melainkan sumber energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral dan berkeadaban. Tauhid mendorong manusia mewujudkan keadaban publik seperti telah dipraktekkan Rasulullah pada masa pemerintahannya di Madinah (Nasution, 1995).

Hanya saja, dalam implementasinya di masyarakat, tauhid sering kali direndahkan maknanya sedemikian rupa sehingga menjadi doktrin yang tidak menyentuh masalah-masalah kemanusiaan. Tauhid sering kali dipahami hanya sebatas mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui rukun iman atau semacamnya. Tauhid tidak lagi tampak sebagai kekuatan pencerahan dan pembebasan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan dan berbagai bentuk kebiadaban.

Keadaban publik cerminan negara maju

Bangsa-bangsa yang mewariskan sejarah besar sehingga dinilai memiliki peradaban besar umumnya dibangun dengan sikap keadaban sosial yang kuat. Negara-negara maju biasanya bukan hanya terlihat dari kemajuan ekonomi dan perdagangan serta sains dan teknologinya, melainkan juga tergambar pada kondisi keadaban publik masyarakatnya. Contoh negara-negara di Eropa Utara, lebih banyak terungkap soal kebersihan lingkungan, penegakan hukum dan HAM, budaya antri, toleran, empati, solidaritas dan pelayanan publik yang memanusiakan warganya.  Nilai-nilai yang disebutkan terakhir inilah merupakan pilar dalam membangun keadaban publik (public civility).

Keadaban publik adalah ciri masyarakat maju dan memiliki tingkat literasi yang tinggi. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang belum maju dan tingkat literasinya rendah biasanya memiliki krisis keadaban publik. Kondisi keadaban publik sebuah bangsa biasanya tidak berkaitan langsung dengan tingkat pendidikan atau soal ketaatan dalam beragama, melainkan berkaitan dengan mentalitas dan budaya serta komitmen dalam menginternalisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.

Keadaban di ruang publik dibangun berdasarkan nilai-nilai kejujuran, ketulusan dan bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi (Pasal 28J Ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945). Setiap manusia sebagai warga negara memiliki hak dan kebebasan yang setara berdasarkan sikap tanggung jawab. Setiap manusia harus menghormati hak asasi manusia lainnya. Hak asasi manusia bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh hak asasi manusia lainnya. Demikian pula dengan kebebasan manusia tidak bersifat mutlak melainkan dibatasi oleh kebebasan manusia lainnya.

Intinya keadaban publik (public civility) adalah sikap atau perilaku menghargai, menghormati, dan peduli terhadap sesama, saat pada aturan dan norma sosial serta menerapkan dalam kehidupan publik (masyarakat). Keadaban publik juga harus menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam menjalankan aktivitas pemerintahan. Prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance), seperti transparansi, partisipasi, dan sikap inklusif, harus menjadi prioritas dan benar-benar diterapkan. Selain itu, keadaban publik harus dilakukan secara terus-menerus oleh institusi demokrasi, seperti lembaga parlemen, partai politik dan semua pemangku kepentingan di tengah (kekhawatiran) regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia. Begitu juga kelompok masyarakat sipil agar menjadi pelopor untuk mempromosikan keadaban publik.

Mengapa terjadi kemerosotan keadaban publik?

Penting digarisbawahi, keadaban publik juga mencakup keadaban digital (digital civility). Jika melihat sepintas alur komunikasi yang terjadi dalam ruang digital, baik lewat aplikasi sosial media atau mesin pencari digital, segera terlihat betapa komunikasi digital dipenuhi dengan hoaks, fitnah, caci maki, perundungan, penipuan, dan hal-hal negatif lainnya. Meski juga tetap dijumpai hal-hal yang positif, memberi manfaat untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan, dakwah agama, urusan ekonomi dan sebagainya, tapi sisi negatif lebih menonjol.

Tahun 2021 Microsoft mengeluarkan Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index) yang menilai perilaku pengguna internet dari 32 negara di dunia.  Indeks ini disusun dengan melakukan survei terhadap lebih dari 16.000 pengguna internet termasuk dari Indonesia. Hasilnya, warganet Indonesia merupakan pengguna internet dengan peringkat keadaban paling buruk di Asia. Sementara, dua negara di Asia Pasifik, Singapura dan Taiwan, menduduki posisi lima besar dunia dengan skor DCI paling tinggi, masing-masing menempati posisi keempat dan kelima. Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara yang diteliti, hanya lebih baik dari Meksiko, Rusia dan Afrika Selatan. Menarik dicatat, dalam survei tersebut remaja (13-16 tahun) memiliki tingkat kesopanan lebih baik dibandingkan orang dewasa.

Microsoft kemudian memperkenalkan istilah Digital Civility Challenge, berisi empat prinsip keadaban dalam penggunaan internet. Pertama, menjalankan golden rule: memperlakukan semua orang dengan hormat, penuh empati, kasih sayang, dan kebaikan dalam setiap interaksi digital. Kedua, menghormati perbedaan budaya dan keragaman sudut pandang, saling berinteraksi dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain dan menghindari sikap saling menyerang. Ketiga, berpikir matang sebelum merespon suatu berita. Perlu berhenti sejenak dan berpikir sebelum menanggapi atau mengirim apa pun yang dapat menyakiti orang lain, merusak reputasi seseorang, atau mengancam keselamatannya. Terakhir, membela keselamatan diri sendiri dan orang lain. Perlu mengingatkan seseorang saat merasa tidak aman, menawarkan dukungan kepada mereka

yang menjadi sasaran pelecehan atau kekejaman online, dan melaporkan aktivitas yang mengancam keselamatan jiwa (News, Microsoft.com, 25/05/2021).

Kondisi kemerosotan keadaban publik (public civility) bukan hanya terlihat dalam dunia digital, melainkan juga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, terutama sejak tahun 1998 usai orde baru berkuasa, kondisi krisis keadaban publik dijumpai dalam berbagai segi kehidupan warga. Spektrumnya sangat luas mencakup dunia politik, hukum, ekonomi bahkan juga dalam kehidupan keagamaan. Hal itu terlihat jelas dalam berbagai berita di media, seperti:  Wijayanto Halim, kakek umur 89 tahun sedang mengendarai mobil di Jakarta Timur, tanpa kesalahan yang jelas, ia diteriaki maling oleh gerombolan pengendara motor, lalu memukulnya sampai tewas (23 Januari 2022). Berita lain, seorang pengendara sedan Mercy di Bantul, DIY cekcok dengan juru parkir yang meneriakinya maling; massa pun beringas merusak mobilnya (27 Januari 2022). Berikutnya, seorang anak pemulung mengais sisa makanan di tong sampah lalu ditangkap petugas karena dianggap merusak fasilitas publik. Membaca berita-berita tersebut seakan kita berada di suatu wilayah antah-berantah, tanpa aturan hukum yang jelas, semua orang bisa main hakim sendiri.

Krisis keadaban publik juga terlihat kasat mata dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Bagitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan, terungkaplah sejumlah kasus kekerasan seksual -yang dulunya amat tabu disebut- kini menyeruak ke publik. Bagaikan membuka kotak pandora, satu persatu kebejatan moral masyarakat terbongkar. Fatalnya, tidak sedikit pelaku kekerasan seksual justru mereka yang selama ini dimuliakan karena profesinya yang dianggap suci dan sakral. Beberapa pimpinan pesantren melakukan perkosaan terhadap santri perempuannya, ibarat pagar makan tanaman.

Kemerosotan keadaban publik yang paling banyak dipertontonkan di media berwujud kejahatan korupsi atau lebih lengkap lagi KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Hal yang sering menyedihkan, tidak sedikit masyarakat membenarkan perilaku biadab itu dengan dalih agama. Misalnya, boleh korupsi sepanjang digunakan untuk sedekah membantu pembangunan pesantren, rumah ibadah, panti jompo dan rumah yatim. Saya sering mendengar ucapan, “kami memberikan uang ini dengan keikhlasan” Tidak heran jika korupsi secara berjamaah masih menjadi tren mengemuka di berbagai instansi pemerintah.

Kemerosotan keadaban publik juga menyangkut bidang kehidupan yang pada dasarnya dianggap ‘kriminalitas ringan’, tetapi sudah dianggap tidak lagi merupakan pelanggaran hukum. Kenyataan ini bisa dilihat dari rendahnya disiplin warga dalam berlalu lintas dan menjaga kebersihan lingkungan. Sejumlah pengendara cenderung berperilaku biadab, tak menghiraukan orang-orang di samping kanan dan kirinya. Rendahnya keadaban publik juga terlihat dalam kebiasaan membuang sampah seenaknya di berbagai tempat, seperti jalan raya, sungai, dan tempat atau fasilitas umum. Akibatnya, lingkungan hidup Indonesia salah satu yang terkotor di dunia.

Pertanyaan kritis muncul, mengapa warga Indonesia yang selama ini diklaim sebagai bangsa relijius menjadi tak berkeadaban? Sejumlah faktor ditengarai sebagai penyebab merosotnya keadaban publik di Indonesia. Pertama, adanya intensifikasi keagamaan (religious intensification) tapi minus penguatan akhlak. Kedua, maraknya proyek islamisitas tanpa peningkatan kualitas literasi agama. Ketiga, menguatnya konservatisme yang mengedepankan pandangan keislaman intoleran dan eksklusif.

1.     Intensifikasi keagamaan (religious intensification), minus etika

Sejak 1980-an masyarakat Indonesia penganut berbagai agama mengalami intensifikasi keagamaan (religious intensification), khususnya di kalangan pemeluk Islam, karena jumlahnya yang mayoritas sehingga lebih terlihat menonjol. Kalangan sosiolog agama menyebut fenomena itu sebagai ‘konversi,’ tapi bukan dalam pengertian ‘pindah agama’, melainkan pindah dari tidak menjalankan ajaran agama (non-practicing atau ‘abangan’) menjadi pengamal intensif ajaran agama (practicing atau ‘santri’).

Dalam intensifikasi pemahaman dan praksis keagamaan, banyak orang mengalami ‘kelahiran kembali’ seperti tercermin dari ungkapan ‘born again Muslim’ atau ‘born again Christian’ (istilah ini populer pertama kali di AS sejak 1970-an). Mereka yang mengalami ‘kelahiran kembali’ sebagai orang beriman, lalu mempraktekkan doktrin agama secara ketat dan kaku. Sikap keagamaan demikian acapkali menimbulkan ketidaknyamanan bagi kelompok lain. Sebab, dengan pemahaman dan praksis keagamaan yang kaku dan rigid, mereka cenderung tak peduli nilai-nilai keadaban yang justru menjadi intisari ajaran agama, seperti bersikap inklusif, toleran, menghargai perbedaan, mengedepankan persaudaraan dan seterusnya, baik terhadap mereka yang seimanseagama maupun terhadap mereka yang berbeda agama. Indonesia dengan mayoritas absolut penduduknya Muslim, intensifikasi keagamaan itu terlihat jelas dengan maraknya pemakaian jilbab, bahkan penggunaan cadar sudah terlihat luas. Bertambahnya jumlah infrastruktur dakwah dan pendidikan keislaman, seperti masjid, mushala, madrasah, sekolah Islam, pesantren, rumah sakit, panti asuhan, dan seterusnya.

Intensifikasi keagamaan tersebut berbarengan dengan perbaikan kondisi ekonomi umat Islam sehingga jumlah kelas menengah Muslim meningkat. Indikasinya, terjadi peningkatan jumlah jamaah haji secara fenomenal yang mengakibatkan perpanjangan masa tunggu keberangkatan belasan sampai puluhan tahun. Demikian pula peningkatan jumlah jamaah umrah dari tahun ke tahun. Indonesia terus memperpanjang rekor sebagai pengirim jamaah haji dan umrah terbanyak di antara negara anggota OKI. Kelas menengah Muslim juga menjadi faktor instrumental dalam peningkatan filantropi Islam.

Pengumpulan dana zakat, infak dan wakaf dari umat Islam  hampir selalu bertambah dari tahun ke tahun. Penyalurannya pun bukan hanya kepada umat Islam yang tidak mampu di tanah air, melainkan juga ke mancanegara, seperti pembangunan rumah sakit dan sekolah di Palestina atau di Myanmar. Anehnya, peningkatan ekspresi intensifikasi pemahaman dan pengamalan agama itu tidak berjalan seiring dengan peningkatan keadaban publik. Lihat saja, kasus-kasus korupsi, kekerasan berbasis agama dan gender serta berbagai bentuk kriminalitas tetap hadir menghiasi pemberitaan berbagai media setiap hari.

Menurut hemat saya, hal itu kemungkinan besar terjadi karena intensifikasi keagamaan cenderung terpusat hanya pada praksis ibadah mahdhah dengan kesalehan personalnya, tetapi belum optimal mempraktekkan ibadah ghairu mahdhah yang membawa kepada kesalehan sosial dalam kehidupan publik. Tidak salah jika disimpulkan, umat Islam umumnya baru bermuslim di masjid, namun belum terlihat bermuslim di jalan raya, di pasar, atau di kantor. Umat Islam umumnya terpaku pada hal-hal yang bersifat ritual, hal-hal yang bersifat legal-formal, hukum fiqhiyah (halalharam), abai terhadap penerapan etika, padahal ujung dari semua ritual itu adalah menegakkan etika atau akhlak karimah.

2.  Peningkatan islamisitas, namun abai dalam penguatan literasi agama

Maraknya kehidupan keagamaan di tanah air juga dipengaruhi oleh penetrasi organisasi Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Hizbut Tahrir dari Lebanon. Penetrasi ajaran mereka berjalan mulus mendompleng pada upaya-upaya demokratisasi pasca orde baru. Sungguh ironis bahwa atas nama demokrasi, kelompok ini menyuarakan secara lantang pandangan keislaman mereka yang anti demokrasi, anti Barat dan anti Pancasila. Sejak kehadiran kelompok Islam transnasional tersebut berjamurlah berbagai institusi keislaman, lembaga perbankan, lembaga fatwa, lembaga pendidikan, ormas perempuan dan pemuda. Hampir semua institusi tersebut kurang mendukung implementasi nilai-nilai humanis Islam sehingga upaya penguatan literasi agama tidak tercapai.

Jika seseorang mengamalkan agama sekadar menjalani ritual dan hal-hal yang bersifat legalformal maka tidak terjadi proses penguatan spiritual dalam dirinya. Sebaliknya, jika seseorang menjadikan agama sebagai media pembersihan jiwa, maka proses beragama yang dilaluinya berdampak pada penguatan spiritual dan kebersihan jiwa yang indikasinya akan terlihat pada perilakunya yang semakin menunjukkan akhlak karimah dalam semua hal. Jadi, upaya pensucian jiwa sebagai bagian dari ajaran agama diharapkan berimplikasi terhadap keadaban publik.

Dalam Islam juga diajarkan sejumlah ritual, seperti puasa. Puasa sebagaimana tuntunan Nabi, lebih dari sekadar berpantang dari makan, minum, dan seks, melainkan juga sebagai aktivitas rohani yang dapat membersihkan jiwa dari berbagai hasrat dan nafsu yang mengotori jiwa, menguatkan spiritualitas manusia dengan implikasi yang kuat pada dimensi sosial yang mengantarkan manusia untuk menjaga nilai-nilai keadaban publik.

Revitalisasi keadaban publik memerlukan konsolidasi dan revitalisasi kesatuan holistik pemahaman dan praksis Islam menjadi kaffah atau syumul (sempurna). Kesenjangan praksis keislaman mengakibatkan defisit keadaan publik dengan segala dampak negatifnya terhadap kehidupan umat-bangsa. Kesenjangan antara kesalehan personal dan kesalehan publik mencerminkan pribadi terpecah (split personality). Itulah bahayanya proses islamisitas tanpa diikuti upaya penguatan literasi agama.

3.  Meningkatnya konservatisme Islam

Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, conservāre artinya melestarikan, menjaga, memelihara, mengamalkan. Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan berbeda-beda pula. Umumnya, kalangan konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman lampau. Dalam Islam, pemahaman konservatif mengekalkan pandangan keislaman berdasarkan pemahaman literalis yang dirumuskan ulama abad pertengahan yang sebagian besar sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang karena mengabaikan prinsip maqasid syari’ah (tujuan obyektif dari syariat Islam) dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Temuan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2020 menyimpulkan, potret keagamaan masyarakat didominasi oleh pemahaman keagamaan konservatif. Konservatisme agama merupakan narasi dominan di televisi dengan angka tertinggi sebesar 46,3 %, disusul narasi moderat 33,4 %, liberal 0,6 %, Islamis 0,4 %, dan radikal 0,1 %

(https://www.cnnindonesia.com/nasional/2021042915571120636526/risetppimnarasikonservatifagamadominasisiarantv.

Meski narasi agama konservatif secara umum dapat disebut aman, namun posisinya lebih rentan mendekati corak radikal, dan biasanya dari level radikal tinggal selangkah lagi menuju aksi terorisme. Secara umum, narasi konservatif memang tidak bersifat politis, tidak melanggar aturan hukum dan juga tidak mengedepankan aksi kekerasan. Namun, perlu dicermati bahwa seseorang yang memiliki pemahaman keagamaan konservatif cenderung bersikap intoleran sehingga jika diprovokasi sedikit saja, akan segera bergeser menjadi radikal. Dan itu tinggal selangkah lagi menuju terorisme.

Konservatisme keagamaan juga mendominasi kehidupan masyarakat dalam sosial media. Penelitian PPIM dilakukan dengan mengumpulkan data dari Twitter dan Youtube serta wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data secara kualitatif. Selama tahun 2009-2019 terdapat 1,9 juta tweet dan difiltrasi menjadi 458,582 tweet dari 100,799 user dengan 7,367,190 follower. Hasilnya, pandangan konservatif mendominasi viralitas tweet keagamaan sebesar 67,20%, Pemahaman islamis 4,50%, Pemahaman moderat 22,20 % dan pemahaman liberal 6,10%. Terlihat jelas, akun moderat tertinggal jauh dibandingkan akun konservatif.

Pertanyaannya, dimanakah mereka yang mengaku Islam moderat? Meskipun paham moderat memiliki proporsi lebih besar dibandingkan islamis, namun sifat partisipasinya yang cenderung diam, jauh terkalahkan oleh gerakan islamis yang lebih militan dan sangat aktif bersuara. Temuan ini menguatkan posisi kelompok islamis sebagai noisy minority, kelompok dengan jumlah sedikit, namun gaungnya lebih besar di media sosial dan sangat mewarnai potret keagamaan masyarakat.

Potret keagamaan kelompok milenial tidak jauh berbeda, bahkan terlihat lebih buram. Penelitian PPIM tahun 2018 pada 18 kota mengungkapkan, narasi ekstremisme dan ujaran kebencian beredar sangat massif di kalangan milenial sehingga mengubah cara beragama mereka yang pada dasarnya lebih bergantung kepada referensi digital daripada referensi akademik yang lebih otoritatif. Kehadiran media sosial telah dengan sangat signifikan menggantikan peran pendidikan agama dalam keluarga, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan. Lemahnya literasi keagamaan inilah yang berkontribusi besar terhadap kerentanan generasi milenial terhadap kecenderungan intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme agama.

Penelitian tersebut juga mengkomfirmasi, narasi keagamaan yang berkeadilan gender belum menjadi narasi mainstream. Narasi agama di media sosial masih didominasi pemahaman konservatif terkait perempuan, mengukuhkan pandangan budaya patriarki yang sangat bias gender, mengekalkan subordinasi perempuan, menolak ide kesetaraan gender, apalagi ide feminisme. Narasi mengenai perempuan hanya berkutat pada ruang domestik, bahkan hanya berkutat di area kasur, sumur dan dapur serta pada perannya sebagai anak, ibu dan istri.

Terdapat indikasi kuat bahwa perempuan lebih rentan terhadap paparan fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki. Dominasi narasi konservatif dalam isu gender dan tingginya proporsi narasi konservatif di kalangan perempuan melahirkan transmisi konservatisme antar generasi, dan itu sangat membahayakan masa depan bangsa karena sungguh-sungguh menggerus kemanusiaan perempuan (Mulia, 2020).

Temuan lain penelitian tersebut adalah politisasi narasi keagamaan memengaruhi peningkatan paham konservatisme di media sosial. Indikasinya, keterkaitan isu agama dengan politik sangat kuat (https://mediaindonesia.com/humaniora/361293/konservatismeberagamakuasainarasidimedsos). Wacana keagamaan konservatif lebih banyak muncul beriringan dengan event-event politik praktis. Kompetisi politik di Indonesia banyak memanfaatkan isu agama sebagai sumber perebutan massa. Tambahan lagi, politisasi narasi agama tidak hanya dilakukan oleh partai Islam tapi juga oleh partai nasional yang katanya mengusung demokrasi.

Corak keagamaan konservatif ini mendukung penelitian Pew Research Centre, kesemarakan beragama tidak memberikan manfaat signifikan bagi tumbuhnya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Pemahaman agama secara konservatif hanya melihat agama sekedar menyembah Tuhan dalam makna sempit, melaksanakan ritual sebagai kegiatan seremonial. Ajaran agama yang dikembangkan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Tidak heran jika mayoritas umat Islam menegakkan ibadah shalat hanya sebagai ritual, shalat belum dimaknai sebagai upaya penguatan kualitas spiritual diri. Seharusnya shalat berujung pada upaya kontrol diri dan pembebasan manusia dari belenggu kejahiliyahan, membuat manusia menghindarkan diri dari semua perilaku keji dan tak terpuji. Orang yang konsisten menegakkan shalat mestinya berkomitmen mendukung terwujudnya keadaban publik.

Lalu, siapakah yang berpengaruh menyebarkan narasi keagamaan konservatif tersebut? Hasil penelitian menunjukkan siapa saja bisa memiliki otoritas dalam menyebarkan narasi agama meskipun dengan basis follower kecil atau tanpa otoritas keagamaan yang sah. Dampak buruk dari disrupsi digital, antara lain menguatnya pemahaman keagamaan konservatif dan cenderung radikal sehingga tidak heran jika atas alasan agama masyarakat semakin intoleran, eksklusif, mudah menghakimi kelompok lain yang berbeda serta acuh terhadap upaya-upaya membangun peradaban untuk kesejahteraan dan perdamaian manusia (Jalaluddin, 1994).

Pada prinsipnya, semua agama tumbuh berdasarkan iman atau kepercayaan. Kepercayaan seharusnya dilengkapi dengan penjelasan rasional atau alasan pembenaran bagi adanya kewajibanlarangan, nilai moral baik-buruk, dan upacara-upacara ritual yang mesti dijalankan. Akan tetapi, faktanya lebih banyak penganut agama tidak memerlukan alasan-alasan rasional bagi tindakan keagamaan mereka. Akibatnya, mereka tidak mudah mengubah pandangan walau terlihat tidak masuk akal meski diajukan berjuta argumentasi yang rasional dengan bukti-bukti kasat mata atau sangat logis. Mereka hanya akan berubah jika mendapatkan doktrin dari pemimpin spiritual yang mereka yakini.

Fatalnya lagi, bagi kalangan konservatif, doktrin ajaran agama terkadang lebih berwibawa daripada kitab suci. Mereka lebih percaya kepada pandangan imam kelompoknya meski tidak rasional. Tak sedikitpun mereka mau mendengar pandangan ulama yang memiliki otoritas dan keahlian dalam bidang agama. Masuk akal atau tidaknya pemahaman terhadap teks kitab suci terkadang tidak penting, yang terpenting adalah pendapat, paham dan tafsir dari orang yang sudah terlanjur mereka jadikan imam atau panutan. Di sinilah sering muncul sikap keagamaan yang tidak manusiawi, jauh dari sikap kritis dan rasional, bahkan jauh dari prinsip rahmatan lil alamin yang menjadi inti ajaran Islam. Akibatnya, para penganut pandangan konservatif tersebut cenderung tidak kritis dan rasional dalam memahami agama sehingga sulit menerima ide-ide pembaharuan, seperti pemikiran tentang HAM, demokrasi, dan pluralisme. Apalagi pemikiran feminisme yang mengedepankan prinsip kesetaraan gender bagi semua manusia.

Kesimpulan

Islam memandang manusia dengan pandangan yang positif dan optimis, manusia adalah makhluk mulia, diciptakan dengan harkat dan martabat (karamatul insan). Visi penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) adalah sangat spesifik dan terhormat, yakni menjadi khalifah fil ardh atau agen moral (al-Baqarah, 2:30). Dalam menjalankan tugas sebagai khalifah, ia harus mengedepankan cinta-kasih sebagai esensi Islam, baik untuk sesama manusia, maupun sesama makhluk di alam semesta (al-Anbiyâ, 21:107). Adapun misi manusia adalah amar ma’ruf nahy munkar, melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi sehingga terwujud baldah thayyibah wa rabbun ghafur, negara yang maju, sejahtera, penuh kedamaian.

Tujuan obyektif Islam adalah “rahmatan li al-‘âlamîn” menebarkan cinta, kasih-sayang dan kebaikan kepada semua makhluk di alam semesta. Makna esensial ayat tersebut adalah Islam harus dirasakan manfaatnya, bukan hanya oleh mereka yang mengaku Muslim, melainkan juga semua manusia dimana pun mereka berada. Bahkan, juga untuk semua makhluk di alam semesta.

Untuk mewujudkan tujuan obyektif tersebut, manusia dituntut berkarya membangun budaya dan peradaban melalui upaya-upaya transformasi dan humanisasi, seperti peningkatan ilmu, teknologi dan penguatan ekonomi serta berbagai kegiatan positif, produktif, dan konstruktif lainnya. Upayaupaya humanisasi tersebut dilakukan terus-menerus untuk memanusiakan sesama, mencerahkan masyarakat atau membela kelompok-kelompok rentan yang mengalami penindasan dan perlakukan tidak adil, seperti kelompok miskin, minoritas, perempuan dan anak, khususnya anak terlantar, kelompok difabilitas dan penderita HIV/Aids dan sebagainya.

Islam sebagai agama tidak memberikan ketentuan yang rinci dan detail bagaimana seharusnya mengelola keadaban publik. Namun, Islam cukup menjelaskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam mengelola kehidupan bersama di masyarakat, yakni prinsip persaudaraan, prinsip kesetaraan dan keadilan serta prinsip kemerdekaan manusia. Terkait ini, agama memainkan fungsi ganda, yakni fungsi legitimasi dan sekaligus fungsi kritik. Yang pertama berupa pembenaran dari perspektif ajaran agama terhadap upaya-upaya mewujudkan keadaban publik demi membangun masyarakat yang berkeadaban. Sedangkan yang kedua adalah fungsi kritik dari agama. Melalui fungsi kritik inilah, peranan agama sebagai landasan moral, etik dan spiritual dalam kehidupan bersama menjadi kenyataan.

Islam datang membebaskan manusia dari semua sistem tiranik, despotik, dan totaliter. Islam datang untuk membangun masyarakat sipil yang berkeadaban (civic and civilized society), masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, kemaslahatan, kesetaraan, dan kebersihan.

Itulah tugas kenabian (prophetic task) yang diemban oleh Rasul. Tugas kenabian tersebut tidak berakhir dengan wafatnya Nabi saw, melainkan dibebankan ke pundak kita semua sebagai orang beriman, baik perempuan dan laki-laki. Untuk dapat melaksanakan tugas kenabian tersebut secara optimal, semua Muslim: laki-laki dan perempuan, perlu dibekali penguatan literasi agama agar dapat menjalankan visi dan misi kemanusiaannya secara optimal.

Tidak fair kalau hanya agama, termasuk pranatanya yang harus menanggung beban, karena di luar agama sesungguhnya masih terdapat unsur-unsur penentu lainnya yang ikut memegang peranan, terutama negara. Dalam posisi “hegemonic”, negara beserta aparaturnya seharusnya bisa mengambil peran lebih besar dalam usaha pembinaan moral masyarakat dan penegakan tertib sosial dan tertib hukum. Rendahnya keadaban publik di masyarakat sesungguhnya merupakan cerminan riil dari sikap dan perilaku negara yang tidak pernah sungguh-sungguh dalam menaati berbagai ketentuan dari peraturan yang dibuatnya sendiri.

Untuk itu, revitalisasi keadaban publik dapat dilakukan melalui upaya-upaya konkret berikut. Pertama, upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, mulai dari pendidikan dalam keluarga hingga pendidikan tinggi. Pendidikan haruslah bermakna penguatan literasi, termasuk literasi agama. Karena itu, pendidikan hendaknya mampu menanamkan kemampuan berfikir kritis dan sikap inklusif sehingga masyarakat terbiasa kritis, terbuka dan toleran dalam segala hal, termasuk dalam kehidupan keagamaan. Kedua, upaya penguatan law enforcement, negara harus bersikap tegas menegakkan hukum secara adil tanpa kompromi, selain itu perlu juga reformasi undang-undang, peraturan dan kebijakan publik yang masih diskriminatif. Masyarakat butuh teladan konkret dari para elit penguasa dalam penerapan nilai-nilai keadaban publik. Ketiga, upaya reinterpretasi ajaran agama agar lebih mengedepankan nilai-nilai humanis sehingga masyarakat sadar bahwa tujuan akhir dari agama adalah memanusiakan manusia. Agama harus mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan dan kebiadaban.

Penguatan literasi agama akan menyadarkan masyarakat tentang fungsi penting agama dalam membangun kebudayaan dan peradaban manusia. Setidaknya tiga fungsi penting agama, yakni humanisasi, yaitu memanusiakan manusia dengan mengangkat harkat-martabat manusia. Fungsi liberasi, yaitu membebaskan manusia dari semua bentuk ketidakadilan dan krisis keadaban publik. Terakhir, fungsi transendensi, menguatkan spiritualitas manusia agar hidupnya lebih bermakna bagi sesama, maupun bagi seluruh makhluk di alam semesta.

Sebagai penutup, izinkanlah saya membacakan sebuah surat dalam Al-Qur’an, surat ini sangat pendek tapi sarat dengan pesan moral keadaban publik, yakni surat al-Ashr.

وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلِۡۡنسََٰنَ لفَِي خُسۡرٍ إلََِّّ ٱلَّذِينَ ءَامَنوُاْ وَعَمِلوُاْ ٱلصََّٰلِحََٰتِ وَتوََاصَوۡاْ بِٱلۡحَ قِ وَ توََاصَوۡاْ بِٱلصَّۡۡرِ

Demi waktu, sesungguhnya semua manusia terancam celaka, kecuali mereka yang sungguhsungguh beriman dan berkarya melalui upaya-upaya membangun peradaban demi kemaslahatan semua makhluk di alam semesta. Wallahu a’lam.

 

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES, Jakarta.

Ali, A. Mukti. 1981. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Rajawali, Jakarta.

Al-Ghazali, Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad. Tanpa tahun. al-Mustashfâ min’ Ilm alUshûl, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa.1962.Tafsir al-Maraghi. Mustafa al-Babi al-Halabi, Kairo.

Ackermann, Robert John, 1985.Religion as Critique, Massachusetts Press, Massachusetts,

Alisjahbana, S. Takdir, 1992. Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Manusia, Dian Rakyat, Jakarta.

Bahma, Archie J, 1964. The World’s Living Religions, Dell Publishing Co., Inc, New York.

Barnsley, John H, 1972. Sosial Reality of Ethics, A Comparative Analysis of Moral Codes, Routledge Kegan Paul, London.

Bertens, BC, 1997. Etika, Jakarta, Gramedia

Burgess, Paul Wehr and Burgess, Guy, 1994. Justice without Violence, , Lynne Roenner Publisher, London.

Cohen, Jean L. and Arato, 1994. Andrew, Civil Society and Political Theory, The MIT Press. Cambridge & London.

Cannon, Dale. 2002. Enam Cara Beragama, Penerjemah Djam’annuri, Jakarta, Dipertais Depag RI.

Effendy, Bakhtiar. 1999. Wawasan Al-Qur’an tentang Masyarakat Madani Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern, Paramadina, Vol. I N o. 2.

Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia.

Lois Beck and Nikki Keddie (eds) 1978, Women in The Muslim World, Harvard University Press, London.

Madjid, Nurcholish. 2000. Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta, Paramadina.

Mansour Fakih 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Margot Badran M & Cooke, M 1990, Opening the gates: A century of Arab feminist writing, Indiana University Press, Bloomington.

Moghadam, M. V., 2002, Islamic Feminism and its Discontents: Toward a Resolution of the Debate, Signs, vol. 27, no. 4.

Muhammad Abduh 1881, Hukm al-Syari’ah fi Ta’addud al-Zawaj, al-Waqa’i al-Mishriyah, Kairo.

Mulia, Musdah 2005, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung.

—————–, 2020. Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi, Penerbit BACA, Jakarta.

—————-, 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Press, Yogyakarta.

Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional, Bandung, Mizan.

————-, 1995. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, U I Press.

Nursyahbani Katjasungkana 2002, Kasus-Kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan, LBH APIK, Jakarta.

Qasim Amin 1998, al-A’mal al-Kamilah, Dar al-Syuruq, Kairo.

Rahmat. 1999. Efektivitas Berkomunikasi dalam Islam, Mizan, Bandung.

Rahmat, Jalaluddin, 1994. Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim, Mizan, Bandung.

Rifa’ah Al-Tahtawi 1843, Takhlis al-Ibriz fi Talkhis Bariz, Matba’ah Syirkah ar-Ragaib, Kairo.

Saefullah, 1996. Kapita Selekta Komunikasi: Pendekatan Agama dan Budaya, Simbiosa

Rekatama Media, Bandung.

Tibi, Bassam. 1999. Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana.

Zuhaily, Wahbah, 1994. Tafsir Munir, Dar al-Fikr, Beirut.