Teringat jelas dalam ingatan kita, insiden mengenai perisakan terbuka yang terjadi pada mahasiswa di institusi pendidikan ternama di daerah Sulawesi Selatan saat kegiatan Pengenalan kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB). Dalam potongan video yang tersebar di sosial media, terlihat bahwa sang dosen memaksa mahasiswanya untuk memilih identitas gender antara laki-laki atau perempuan di hadapan banyaknya mahasiswa baru yang tengah mengikuti kegiatan pengenalan kampus tersebut. Alih-alih memilih salah satu dari dua pilihan yang disebutkan, sang mahasiswa justru menegaskan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang nonbiner (gender netral). Hal ini kemudian membuat Wakil Dekan Fakultas Hukum Bagian Kemahasiswaan itu murka dan memilih untuk mengusir mahasiswa itu dari acara pengenalan mahasiswa baru di Fakultas Hukum tersebut.
Kejadian ini mungkin bukanlah yang pertama. Laporan catatan yang dibuat oleh SGRC UI pada tahun 2019 dalam rangka memperingati Hari Internasional Melawan Homophobia, Bifobia, dan Transfobia dengan tajuk “Kampus Persekusi” memuat banyaknya catatan kelam mengenai tindakan persekusi yang secara terang-terangan dilakukan oleh institusi pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh, pembredelan yang terjadi pada Maret 2019 ketika Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Universitas Sumatera Utara (USU) dilarang mempublikasikan cerpen bercerita tentang diskriminasi ragam gender dan seksualitas yang berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” hingga berbuntut pada nonaktifnya 18 orang pengurus Suara USU dan mendapat ancaman dikeluarkan.
Dari kasus-kasus tersebut, kemudian mengantarkan saya untuk bertemu dan mendengarkan cerita Farel (bukan nama sebenarnya). Mahasiswa universitas di Jawa Timur ini berbagi cerita mengenai bagaimana dirinya berjuang menjalani hari-harinya di institusi pendidikan yang membuatnya merasa terkungkung akibat banyaknya peraturan dan norma-norma yang masih sangat heteronormatif dan bias gender “Aku pikir-pikir selama aku menempuh pendidikan, setidaknya (bukan hanya) sekali, aku pernah mendapatkan entah itu bullying, entah itu diskriminasi atas seksualitas aku.” ujarnya pada Kamis (17/10/22) melalui sambungan secara daring.
Dengan suara yang penuh dengan kehati-hatian, dirinya bercerita bagaimana ketika seharusnya institusi pendidikan menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk bisa menempuh pendidikan, berbalik menjadi sebuah tempat penuh penghakiman atas seksualitas dan ekspresi gender yang dimilikinya. “Aku gak pernah mengungkapkan seksualitasku, tapi dari ekspresi genderku keliatan banget kalo aku ini lebih menonjol ke sisi femininnya, meskipun aku ini seorang maskulin (re: laki-laki).” tuturnya.
Diskriminasi yang diterima Farel bukan terjadi di perguruan tinggi saja. Sejak menempuh pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, perlakuan ini terus menerus terjadi kepada dirinya. Mirisnya, berbagai pembenaran dan pembiaran juga terus ia temui. Bagaimana pihak-pihak di institusi pendidikan tempatnya menimba ilmu seakan memosisikan ragam gender dan seksualitas dari dikotomi laki-laki dan perempuan sebagai suatu yang tidak bisa untuk diterima serta harus dihindari.
Beberapa untaian kalimat yang dilontarkan pada Farel kerap menggambarkan bagaimana para tenaga pendidik di institusi pendidikan tempatnya belajar keliru dalam memahami konsep kejantanan dan maskulinitas yang dianggap hanya sebatas bagaimana seorang anak laki-laki harus gagah, kuat, berani, dan sebagainya. Kalimat-kalimat seperti, “Kamu ini jadi laki-laki tuh harus kuat” atau “Jadi laki-laki tuh nanti kalo nikah misal rumahnya bocor, gimana gentengnya? Masa yang benerin istrinya?”
Hal ini tentu membuat jengah Farel. Dirinya merasa terpojokan dengan lontaran kalimat tersebut. Menurutnya pemikiran tersebut sangatlah kuno dan naif. Hal itu hanya semakin menggambarkan betapa rapuhnya maskulinitas para tenaga pendidik hari ini yang mengkotak-kotakan peran gender antara laki-laki dan perempuan secara biner.
“Selalu dihubungkan dengan menikah. Aku gak ngerti sih ya kalo gentengnya bocor kan kita bisa manggil tukang. Kayak, normatif banget gila..” Decak Farel.
Setali tiga uang dengan Farel, Rini (bukan nama sebenarnya) juga merasakan hal sama. Baginya, masih kental terasa stereotip yang berdampak negatif dan mendiskriminasi keberadaan teman-teman ragam gender dan seksualitas di institusi pendidikan Indonesia.
Hal tidak mengenakkan dialami oleh Rini ketika ia mulai memangkas rambutnya yang sebelumnya panjang menjadi pendek. Selama ini, Rini selalu konsisten menggunakan hijab saat berada di sekolah. Dengan penampilan barunya itu, ia kemudian memberanikan diri untuk pergi ke sekolah tanpa menggunakan hijab. Hal itu dilakukannya untuk dapat merasakan apakah dengan penampilannya seperti ini mampu membuatnya merasa nyaman atau tidak. Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah Rini dihadapkan dengan perbedaan sikap teman-temannya yang cukup drastis setelah ia mengubah penampilannya itu.
“Temen-temen yang biasanya akrab, tidak ngobrol denganku lagi. Temen-temen yang dulu aku punya kok tiba-tiba menghilang.” ucap Rini (29/10/22). Dengan penampilannya yang saat ini terlihat lebih maskulin dari sebelumnya, membuat tindak diskriminasi yang terjadi kepada Rini ini semakin parah akibat tersebarnya rumor palsu dan asumsi mengenai orientasi seksualnya. “Aku sadar ternyata ada satu cowok dan dia sebenernya temen sekelas aku, dia menyebarkan suatu rumor kalo karena rambut aku: aku adalah seorang yang berorientasi seksual tidak mayoritas (re: heteroseksual).” lanjutnya.
Tak sampai di situ, nyatanya tindakan tidak mengenakkan ini masih terus berlanjut. Rini dipanggil ke ruang guru oleh seorang guru seni budaya. Pertanyaan ambigu kemudian dilontarkan oleh sang guru yang lebih terasa seperti kalimat penghakiman karena menegur Rini yang telah memotong rambutnya menjadi pendek dan bertanya mengapa ia bertingkah laku seperti ‘itu’. “Pas dia ngomong ‘bertingkah laku seperti itu’ aku bingung, tapi aku tidak bertanya karena aku tidak berani. Itu pertama kali aku dipanggil ke ruang guru soalnya.” jelas Rini.
Sejak saat itu, Rini kemudian dengan terpaksa mengenakan hijab selama di sekolah. Individu yang mengidentifikasi diri sebagai nonbiner itu merasa bahwa masih ada beberapa tenaga pendidik di Indonesia yang secara gamblang dan terang-terangan menampakan ketidaksukaannya dengan mengucapkan kalimat-kalimat sindiran secara langsung di depan peserta didiknya hingga melontarkan pertanyaan yang meragukan identitas gender peserta didiknya.
“Ada berbagai jenis guru dalam menghadapi siswa dari ragam gender dan orientasi, kadang-kadang mereka juga membuat penilaian terhadap siswanya tersebut secara tidak adil.” imbuh Rini.
Mengapa Diskriminasi Ragam Gender dan Seksualitas Terjadi di Institusi Pendidikan?
Diskriminasi terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas di Indonesia, khususnya di institusi pendidikan, merupakan masalah serius. Melansir jalastoria.id dalam artikel yang bertajuk “Menghapus Diskriminasi Berbasis SOGIESC di Kampus” perwakilan Cangkang Queer, Keenan Abraham, menjelaskan bahwa salah satu diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT didukung oleh lambatnya penanganan institusi pendidikan, dalam hal ini kampus (21/05/22).
Bagi Keenan, kampus tersebut tidak membuka ruang diskusi terhadap pemikiran dan ekspresi mahasiswanya sendiri. “Apakah ruang pendidikan tempat yang aman untuk bisa belajar? Itu masih dipertanyakan. Bahkan ada ujaran kebencian kepada LGBT,” tuturnya.
Sementara itu, menurut Vania Sharleen, dosen Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, hal yang membuat diskriminasi di institusi pendidikan ini terus terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa yang tidak setara antara dosen sebagai tenaga pendidik dengan mahasiswa atau peserta didik.
“Ada yang karena situasi timpang. Nah itu aku pikir itu adalah akarnya gitu, ditambah lagi kita pelanggengan budaya gitu. Banyak senioritas ya kalau di kampus.” tambah Vania (31/10/22).
Dosen yang saat ini mengampu mata kuliah Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan itu juga menambahkan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia termasuk pada individu di tataran institusi pendidikan masih memiliki pola pikir yang biner mengenai gender dan seksualitas, “Di luar itu masih minim sekali penerimaan, bahkan kalau ada bullying juga yang disalahkan adalah si korbannya yang berasal dari ragam minoritas gender dan seksualitas gitu.” lanjut Vania.
Mengutip artikel pada laman magdalene.co (14/08/17) dengan judul “Diskriminasi Gender di Lingkungan Sekolah Berbahaya” mengenai penjelasan Wawan Djunaedi dan Iklikah Muzayyanah dalam Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah. Setidaknya ada lima bentuk diskriminasi gender di sekolah yaitu pelabelan, penomorduaan, pemiskinan, kekerasan, dan beban ganda. Sekolah, meski tidak diatur secara tertulis, dalam ranah sosial menolak laki-laki yang berperawakan seperti perempuan dan sebaliknya. Laki-laki dipaksa berperilaku macho dan harus menjadi pemimpin sedangkan perempuan wajib bertingkah laku lembut dan mesti mengalah dari laki-laki. Sekolah tidak mewadahi ekspresi gender murid, yang sama artinya dengan pengekangan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Fakta-fakta di atas menarik perhatian saya untuk membedah lebih dalam mengenai bagaimana praktik diskriminasi sistemik dan berlapis yang kerap menyasar kelompok dari ragam gender dan seksualitas di institusi pendidikan dapat terjadi. Sebagai institusi formal, institusi pendidikan di Indonesia seakan melakukan pembiaran mengenai praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi yang terus menyerang kelompok ragam gender dan seksualitas di Indonesia. Jelas, praktik diskriminasi dan persekusi yang terjadi ini merupakan warisan budaya patriarki, sesuatu yang telah mengakar yang kemudian direproduksi terus menerus dalam struktur masyarakat konservatif. Jika terus dilanggengkan, dikhawatirkan hal ini akan berdampak negatif dan berujung pada tindak kekerasan yang semakin memarjinalisasi kelompok ragam gender dan seksualitas.
Refererensi:
JALASTORIA. 2021. “Menghapus Diskriminasi Berbasis SOGIESC di Kampus”, https://www.jalastoria.id/menghapus-diskriminasi-berbasis-sogiesc-di-kampus/
MAGDALENE. 2017. “Diskriminasi Gender di Lingkungan Sekolah Berbahaya” https://magdalene.co/story/diskriminasi-gender-di-lingkungan-sekolah-berbahaya
SGRC. 2019 “HARI INTERNASIONAL MELAWAN HOMOFOBIA, BIFOBIA DAN TRANSFOBIA: KAMPUS PERSEKUSI”
Oleh: Aulia Maulani (Content Creator Staff YIFoS Indonesia)