|

Muslimah Reformis

Memahami Ahmadiyah Melalui Ziarah Spiritual Musdah Mulia

Refleksi 100 tahun Ahmadiyah

Peringatan seratus tahun keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menggugah nurani dan merenung kritis, mengapa negara yang katanya demokratis ini belum mampu menjamin kemerdekaan beragama pengikut Ahmadiyah? Bukankah konstitusi menyatakan jaminan tersebut bagi semua warga tanpa kecuali? Lalu mengapa mayoritas umat Islam belum juga dewasa dalam beragama?

Setidaknya tiga faktor mengapa negara masih sulit memenuhi kewajiban tersebut. Pertama, negara seringkali tunduk pada kepentingan dan penghakiman mayoritas. Mayoritas umat Islam menganggap Ahmadiyah sesat karena meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad, padahal itu hanyalah perbedaan tafsir tentang definisi kenabian. Seharusnya, negara tidak menjadikan pandangan mayoritas sebagai landasan kebijakan, terutama jika bertentangan dengan konstitusi. Kedua, negara belum mampu bersikap adil dan imparsial sesuai amanat pendiri bangsa. Akibatnya, perilaku diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama tak dapat dihindari. Bukan hanya terhadap Ahmadiyah, melainkan juga terhadap kelompok Syi’ah, penganut kepercayaan dan penganut agama lain di luar enam agama “resmi” negara sering bersikap diskriminatif. Ketiga, negara belum mengimplementasikan prinsip kewarganegaraan berbasis bhineka tunggal ika. Hal itu akibat lemahnya penegakan nilai-nilai Pancasila dan law enforcement, menguatnya politik identitas dan rendahnya tingkat literasi masyarakat, khususnya literasi sejarah dan kebangsaan. Masih banyak warga bangsa, termasuk para pemimpinnya buta sejarah. Umumnya, belum menyadari bahwa Ahmadiyah sudah hadir sejak 1925 di Indonesia, bahkan sebelum republik ini lahir. Ahmadiyah telah berkontribusi positif dan konstruktif dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, seperti pendidikan, sosial dan ekonomi. Mereka aktif membangun bangsa dengan berpijak pada slogan love for all, hatred for none. Itulah prinsip islami paling hakiki, merajut damai bagi semua tanpa kecuali.

Secara spiritual saya mengenal Ahmadiyah sejak awal 2000. Dimulai ketika ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) memberikan dukungan investigasi terhadap kasus pembakaran Masjid Nurul Iman di Manislor, Kuningan, Jawa Barat tahun 2001. Pukul satu malam kami menerima telpon dari Manislor, masjid mereka dibakar, lalu pukul 05.00 pagi, kami segera menuju lokasi. Menyaksikan langsung bekas-bekas pembakaran, hati saya membatin betapa kejinya aksi teror tersebut. Hati tercabik-cabik melihat lembaran Al-Qur’an hangus terbakar berserakan di lantai. Semua hancur tinggal puing-puing masjid menghitam bekas jilatan api. Sejumlah informasi menyebutkan, polisi ada di lokasi tetapi tidak memberikan perlindungan.

Sejak kasus tersebut, mewakili ICRP saya aktif memberikan advokasi pembelaan terkait sejumlah kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah, di antaranya kasus Parung, kasus Masjid Balikpapan, Jakarta dan beberapa kali mengunjungi lokasi pengungsian warga Ahmadiyah di Lombok, NTB. Pengamatan dan pengalaman saya dalam beberapa kasus tersebut menyimpulkan, negara seringkali abai terhadap hak-hak asasi warganya. Tentu saja itu merupakan pelanggaran berat HAM.

Negara seharusnya melindungi semua warga tanpa diskriminasi sedikit pun. Negara harus bersikap adil dan imparsial (netral dan tidak memihak). Dalam konteks keadilan dan HAM, imparsial berarti bersikap adil dan memperlakukan setara terhadap semua warga, tidak membedakan berdasarkan latar belakang sosial, jenis kelamin, ras, etnis, atau keyakinan politik dan agama. Negara harus bertindak sebagai wasit yang adil, hanya memihak kepada nilai-nilai keadilan dan kebenaran sesuai konstitusi dan perundang-undangan. Siapa pun melanggar konstitusi, undang-undang atau kebijakan hukum lainnya haruslah dikenakan sanksi, tanpa melihat unsur mayoritas dan minoritas. Jika kelompok Ahmadiyah terbukti melanggar hukum, negara segera menindaknya sesuai aturan berlaku. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat melakukan tindakan anarkis dan main hakim sendiri. Itu berbahaya bagi kelangsungan demokrasi.

Mengenal Ahmadiyah melalui ziarah spiritual

Tak kenal maka tak sayang. Pengenalan mendalam terhadap suatu kelompok biasanya akan mengurangi berbagai stigma negatif dan selanjutnya mengikis kebencian dan permusuhan akibat ketidaktahuan. Mayoritas umat Islam memahami agama melalui pendidikan tradisional yang mengedepankan doktrin, bukan ajaran keislaman yang kritis dan rasional. Akibatnya, mereka kebanyakan hanya patuh menjalankan ritual ibadah yang bersifat vertikal, namun tidak termanifestasi dalam hubungan horisontal dengan sesama makhluk.

Untuk memahami keyakinan Ahmadiyah diperlukan sikap keagamaan kritis dan rasional. Di antaranya, keberanian berinteraksi langsung dengan para pengikut Ahmadiyah, mengamati perilaku keagamaan mereka sehari-hari. Bukan hanya terpaku pada ujaran kebencian penuh hoaks dan berbagai fitnah dari kelompok anti-Ahmadiyah.

Selain itu, perlu juga mempelajari aspek historisnya dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah mereka. Pengalaman historis biasanya membantu memperkuat pemahaman seseorang untuk dapat memberikan apresiasi walau berbeda, dan sekaligus mengikis permusuhan dan kebencian. Kita tidak harus meyakini kepercayaan Ahmadiyah untuk sampai kepada sikap respek dan mencintai mereka sebagai sesama manusia. Bukankah dalam Islam sangat kuat diajarkan prinsip persaudaraan? Sejumlah ayat Al-Qur’an menegaskan ajaran tersebut. Saya selalu ingat prinsip persaudaraan dari Ali bin Abi Thalib. Beliau mengatakan, persaudaraan itu hanya dua jenis, yakni persaudaraan karena seiman dan persaudaraan karena sesama manusia. Bahkan saya berkesimpulan, sikap persaudaraan seseorang terhadap sesama menunjukkan jati dirinya yang paling hakiki.

Berikut ini saya berbagi pengalaman ziarah spiritual ke berbagai tempat bersejarah Ahmadiyah. Tradisi ziarah dijumpai pada semua agama dan kepercayaan. Ziarah ke berbagai tempat suci, seperti makam para Nabi dan orang-orang suci disamping memberikan informasi mendalam terkait suatu keyakinan, juga menggugah kesadaran nurani bersikap toleran dan menghargai perbedaan.

Kota suci Qadian

Kota Qadian terletak di distrik Gurdaspur, negara bagian Punjab, India. Sebuah wilayah di utara India berbatasan dengan Himalaya. Ia dulunya bernama Majha, didirikan tahun1530 M, pada masa pemerintahan Kaisar Mughal Babar. Kota ini dianggap suci karena di sanalah tempat lahir Mirza Ghulam Ahmad dan menghabiskan hampir seluruh hidupnya sampai dimakamkan di sana.

Kehadiran saya di Qadian dalam rangka mengikuti Jalsa Salana, semacam pertemuan tahunan pengikut Ahmadiyah. Saya beserta beberapa tokoh Islam lainnya diundang sebagai tamu kehormatan. Sudah merupakan tradisi organisasi ini mengundang kalangan non-Ahmadi pada setiap Jalsa Salana untuk menyaksikan kegiatan keagamaan mereka. Hal itu patut diapresiasi sebagai sikap persaudaraan dan sekaligus bentuk keterbukaan mereka terhadap kelompok lain. Saya beberapa kali mengikuti Jalsa Salana, baik di Indonesia maupun di Inggris, dan pertama kali ke Qadian tahun 2024.

Leluhur Mirza Ghulam Ahmad bernama Mirza Hadi Beg, kepala suku Barlas Mughal berasal dari Samarkand, Persia. Pada abad ke-18, hijrah ke India bersama keluarga dan sahabatnya, lalu bermukim di Majha. Di sana dia diangkat sebagai Qazi (hakim) atas yurisdiksi yang mencakup sekitar 200 desa. Beberapa abad berikutnya, kota Majha berubah menjadi Qadian.

Mengapa penting kota Qadian? Jemaah Ahmadiyah meyakini sabda Nabi Muhammad saw: Mahdi akan bangkit dari sebuah kota bernama Kad’ah (Jawahir al-Asrar h. 55). Hadis itu berkaitan dengan ramalan kedatangan imam Mahdi atau Al-Masih yang akan muncul di tengah umat Islam pada akhir zaman. Jemaah Ahmadiyah meyakini imam Mahdi atau Al-Masih dimaksud adalah Mirza Ghulam Ahmad dan Kad’ah adalah kota Qadian. Itulah mengapa Qadian memiliki makna historis dan spiritual. Bagi mereka, Qadian selain merupakan tempat kebangkitan Islam sesuai nubuat Nabi Muhammad saw, juga dianggap kota suci setelah Mekkah dan Madinah.

Kota Qadian seperti halnya kota-kota lain di India terlihat semrawut, penduduk sangat padat, lalu lintas tak beraturan dan mobil-mobil tak hentinya membunyikan klakson sehingga menimbulkan kebisingan luar biasa. Masyarakat India masih mempertahankan tradisi kasta, tidak heran jika segregasi antara kasta cukup menonjol, terlihat dari bangunan rumah mereka. Sejumlah bangunan megah terlihat menonjol di antara perumahan kumuh kelompok miskin yang mayoritas.

Qadian tetap menjadi pusat administratif Jemaah Ahmadiyah sampai pemisahan India dan Pakistan tahun 1947. Setelah pemisahan, Kantor Pusat Ahmadiyah pindah ke kota Rabwah, Pakistan. Lalu, sejak 1984, pindah ke London. Tepatnya di Islamabad, Tilford, Inggris. Qadian sekarang berfungsi sebagai kantor pusat nasional Jemaah Ahmadiyah India.

Memasuki kota Qadian segera terasa bedanya dengan kota-kota lain di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Sebaliknya, penduduk Qadian mayoritas beragama Islam dan umumnya pengikut Ahmadiyah. Di sini azan terdengar dari berbagai penjuru, serasa berada di Indonesia. Lafaz azan tak berbeda dengan azan di negara-negara Islam. Foto pendiri Ahmadiyah terpampang rapi di sejumlah kantor, toko dan restoran milik pengikut Ahmadiyah. Selama di Qadian saya mengunjungi sejumlah tempat bersejarah, antara lain sebagai berikut.

Masjid Mubarak

Merupakan masjid Ahmadiyah pertama, diresmikan tahun 1883 oleh Mirza Ghulam Ahmad. Perluasan pertama dilakukan tahun 1907. Pada pintu masuk tertulis kalimat dalam bahasa Arab bermakna: Masjid ini sumber keberkahan, dan keberkahan itu sendiri, setiap amal shaleh akan dilakukan di dalamnya. Masjid ini dikenal dengan dua lambang khusus, berupa Minaratul Masih atau menara putih dan bendera Ahmadiyah. Menaranya terlihat jelas begitu memasuki kota.

Qadian, sangat indah di malam hari karena memantulkan cahaya putih di puncaknya. Menara tersebut dibangun tahun 1902 mengikuti petunjuk hadis Nabi Muhammad saw bahwa Al-Masih akan turun di atas sebuah menara putih di sebelah timur Damaskus.

Demikian keyakinan Ahmadiyah. Siapa pun boleh percaya, boleh tidak. Setiap orang boleh memiliki keyakinan berbeda, dan itu dijamin dalam Islam. Yang dilarang adalah mengancam, mengintimidasi dan memaksakan pandangan atau keyakinan pada orang lain. Jika saya boleh berpegang teguh pada sebuah keyakinan, maka orang lain pun demikian. Mari saling menghargai! Hanya saja, sikap arogan dan mau menang sendiri seringkali menghalangi seseorang bersikap toleran terhadap kelompok lain, apalagi kelompok berbeda.

Di masjid ini saya beberapa kali melaksanakan shalat. Biasanya para perempuan setibanya di area masjid, langsung diarahkan menuju pintu khusus. Tempat perempuan terpisah jauh dari lelaki sehingga kami hanya bisa mendengar suara imam dari pengeras suara. Ketika datang menjelang shalat Subuh, saya memerhatikan para perempuan melakukan shalat tahajud. Bagi Ahmadiyah, shalat tahajud merupakan ajaran penting, seperti terbaca dalam baiat mereka.

Saya mengamati dengan teliti, ternyata pengikut Ahmadiyah menyebut Rasulullah, Muhammad saw dalam syahadat, shalat dan ucapan shalawat. Meskipun memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, tapi diyakini sebagai nabi yang tidak membawa syariat. Mereka menyebutnya nabi yang ummati, artinya tetap sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. Jadi, dalam pelaksanaan rukun Islam berupa ritual ibadah sehari-hari, mereka tidak berbeda dengan kelompok Islam lainnya.

Rumah tempat kelahiran dan kediaman Keluarga Mirza Ghulam Ahmad

Di dalam kompleks masjid Mubarak, terdapat sejumlah tempat bersejarah, antara lain rumah tempat kelahiran dan kediaman keluarga Mirza Ghulam Ahmad. Untuk ukuran keluarga bangsawan dan pengusaha kaya, bangunan rumah terkesan sederhana tapi sangat kokoh. Di rumah itulah pada 13 Februari 1835 lahir Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Diyakini bahwa sejak usia muda, beliau telah menerima wahyu dari Allah swt. Selain itu, beliau juga sering mendapatkan kasyaf (penglihatan batin) dan mimpi nyata. Disebutkan bahwa pada 1864 beliau mendapatkan kasyaf melihat Rasulullah saw.

Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtazha, berasal dari keluarga kaya dan bangsawan Persia. Sebetulnya, ayah beliau lebih menginginkan agar anaknya bekerja di pemerintahan dan menjadi pejabat. Dia menghendaki anaknya menjadi penguasa atas tanah pusakanya yang amat luas. Namun, beliau menganggap kesibukan dalam aspek duniawi tak ubahnya seperti “hukuman penjara.” Itulah mengapa beliau lebih tertarik mendalami ilmu agama. Sehari-hari beliau membenamkan diri dengan mempelajari Al-Qur’an, dan mengamalkan ajaran Islam dengan melayani kemanusiaan, sering membantu kelompok rentan dan teraniaya. Sekalipun begitu, demi menyenangkan hati ayahnya, beliau pernah menjadi pegawai pemerintah di Sialkot (1864-1868).

Setelah ayahnya wafat, beliau meleburkan diri sepenuhnya dalam dunia spiritual. Pengikutnya meyakini beliau sebagai Al Masih dan sekaligus Imam Mahdi. Sebab, selain bertugas memurnikan ajaran Islam, beliau juga berkewajiban melawan serangan dari umat Kristen dan kelompok yang mengaku sebagai pengikut Al-Masih. Tugas khusus beliau adalah mendakwahkan keindahan Islam ke seluruh dunia, terutama dunia Barat, pusat agama Kristen.

Keyakinan tentang kedatangan Imam Mahdi dan Nabi Isa as dikenal luas dalam masyarakat Islam. Berita tentang kedatangannya dinubuatkan sendiri oleh Rasulullah. Hal itu, misalnya termaktub dalam ayat berikut: “Dialah yang telah membangkitkan di tengah-tengah bangsa yangummi seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka tanda-tanda-Nya dan mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan nyata. Dan Dia akan membangkitkannya juga pada kaum lain dari antara mereka yang belum bertemu dengan mereka, dan Dialah Mahaperkasa, Mahabijaksana (QS Al-Jumu’ah, 62:3-4).

Bagi pengikut Ahmadiyah, sosok yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad. Dialah sosok pembaharu yang dijanjikan pada akhir zaman. Sejak kecil, sudah terlihat minat dan perhatiannya yang besar pada pendidikan agama. Ayahnya sampai memberi julukan: maseetar artinya gemar menghabiskan lebih banyak waktu di masjid untuk melaksanakan shalat. Selain rajin beribadat, beliau juga rajin menulis. Dia meninggalkan lebih dari 50 buku, buletin, serta artikel hasil karyanya. Di antara kitab terpenting, berjudul Izalatul Auham, I’jaz Ahmadi, Barahin Ahmadiyah, Anwarul Islam, I’jazul Masih, At-Tabligh, dan Tajliat Ilahiah.

Bait al-Du’a.

Saya menggunakan kesempatan terbatas itu untuk shalat Dhuha dua rakaat dan berdoa sejenak. Tidak bisa lama karena petugasnya segera bertindak menarik keluar. Dan selama kegiatan Jalsa Salana berlangsung, setiap orang hanya boleh melakukan satu kunjungan. Maksudnya, agar semua peserta yang jumlahnya puluhan ribu tersebut mendapat kesempatan. Saya selalu yakin, untuk ketertiban dan kedisiplinan, diperlukan regulasi yang adil dan ketat.

Dalam antrian menuju Bait al-Du’a yang dianggap sakral, saya membayangkan menunggu masuk Raudhah di Masjid Madinah, sebuah ruangan di antara makam Rasulullah saw dan mimbar masjid. Suasananya mirip, penuh rasa harap agar mendapat kesempatan bermunajat di sana. Tanpa sadarsaya menitikkan air mata mengenangkan betapa pendiri Ahmadiyah telah memilih hidup spiritual yang ketat. Hidup adalah pilihan, bisa saja beliau memilih hidup penuh dengan kesenangan duniawi, tetapi beliau lebih memilih hidup spiritual, penuh pengabdian kepada Allah swt. Pilihan itu tentu tidaklah mudah di tengah godaan duniawi yang begitu menggiurkan. Bagi saya, suatu pembelajaran bagaimana harus memilih dan menjalani hidup agar penuh makna serta bermanfaat bagi sesama manusia dan juga bagi sesama makhluk di alam semesta.

Makam Suci (Bahesyti Maqbarah)

Saya berkunjung ke lokasi ini pada malam hari, suasana terasa sejuk penuh rasa damai. Makam diatur sedemikian rupa, dicat warna putih dan dihiasi tanaman hijau dan bunga warna-warni serta hiasan batu-batu krikil putih. Seluruh lokasi pemakaman dipenuhi lampu hias terang-benderang. Dari jauh pemakaman ini terlihat sebagai taman bunga yang sangat indah. Tidak ada kesan angker atau menakutkan sehingga patut menjadi salah satu destinasi wisata di kota Qadian.

Pada Desember 1905, Mirza Ghulam Ahmad mendapat ilham bahwa saat kematian beliau telah dekat. Karena itu, beliau menulis sebuah buku berjudul Al-Wasiat, kemudian disebar-luaskan kepada warga Ahmadiyah. Di antara nasehat beliau adalah agar para pengikutnya tetap sabar dan berbesar hati. Selain itu, beliau mewasiatkan agar membuat sebuah lokasi pekuburankhusus yang kelak diberi nama Bahesyti Maqbarah (Pemakaman Surgawi). Terkait hal itu beliau menjelaskan: “Allah Taala telah memberi kabar suka kepadaku, bahwa pekuburan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang ahli surga. Selanjutnya, beliau membentuk sebuah badan pengelola harta kekayaan dari mereka yang dikuburkan di lokasi tersebut demi kelangsungan pengembangan Islam. Badan itu bernama Sadr Anjuman Ahmadiyah, berpusat di Qadian. Saya melihat sejumlah nama pengikut Ahmadiyah asal Indonesia tertera pada nisan di sana. Sungguh merupakan suatu kebanggaan spiritual bagi pengikut Ahmadiyah jika nama mereka atau nama keluarga terpahat indah di nisan tersebut.

Mereka yang dikebumikan di sana memenuhi sejumlah syarat, di antaranya telah mengorbankan paling sedikit 1/10 dari harta kekayaan dan 1/10 dari penghasilan setiap bulan untuk kepentingan Islam. Itulah yang disebut kewajiban candah. Candah dari Bahasa Urdu Chandah adalah semacam konsep filantropi di lingkungan Ahmadiyah. Serupa dengan infak dan sedekah, tapi jumlahnya sudah tertentu dan digunakan semata untuk kepentingan sosial dan keagamaan.

Menurut saya, itulah salah satu kelebihan Ahmadiyah. Para pengikut, lelaki dan perempuan menyatakan partisipasi dan kontribusi mereka secara nyata dalam kehidupan sosial-keagamaan berupa kewajiban membayar candah, di luar kewajiban zakat. Adapun bentuk pendistribusiannya, antara lain untuk bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial termasuk lembaga sosial kemanusiaan (humanity first), dakwah dan upaya perbaikan lingkungan baik nasional maupun internasional.

Para perempuan Ahmadiyah tergabung dalam satu organisasi, disebut Lajnah Imaillah. Organisasi ini, antara lain menghimpun perempuan Ahmadi agar memiliki komitmen selalu menjaga dan menjalankan dengan sekuat tenaga sepuluh syarat baiat dalam setiap langkah hidupnya. Menarik dicatat, salah satu baiatnya berbunyi:

Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa mendirikan shalat Tahajud, dan mengirim salawat kepada Junjungan Yang Mulia Rasulullah saw. dan memohon ampun dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukurinya dengan hati tuIus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan. Penting pula diketahui bahwa setiap baiat dalam Ahmadiyah selalu dimulai dengan dua kalimat syahadat: Saya bersaksi, bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah, Tuhan yang Maha Esa dan tidak ada sekutu baginya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Kewajiban membayar candah, termasuk bagi perempuan, melahirkan sebuah kesadaran tentang pentingnya keberdayaan ekonomi, dan ini sangat urgen dalam kehidupan perempuan. Saya menemukan sejumlah perempuan mengaku bahwa candah yang mereka bayarkan lebih besar dari jumlah candah suami. Besarnya candah juga bisa dijadikan ukuran ketaatan dan kepatuhan. Perempuan Ahmadiyah mengelola sendiri dana hasil pengumpulan candah mereka tanpa intervensi laki-laki. Dengan membayar candah, para pengikut, termasuk perempuan diajarkan kesadaran “memiliki” sehingga mereka tergugah berjihad, berjuang mengembangkan, bukan hanya kepercayaan Ahmadiyah, melainkan juga menumbuhkan rasa kemanusiaan penuh cinta- kasih dan ikatan solidaritas di lingkungan mereka.

Ziarah ke Kota Hoshiarpur

Hoshiarpur adalah ibu kota distrik Hoshiarpur di negara bagian Punjab, India sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari Qadian. Kota ini didirikan pada awal abad keempat belas. Di kota ini saya menziarahi sebuah lokasi berupa rumah yang diyakini sebagai tempat turunnya wahyu.

Sebagaimana saya tulis sebelumnya bahwa menurut sejarah, ayah Mirza Ghulam Ahmad sangat menghendaki dirinya menjadi pejabat pemerintahan. Untuk menyenangkan hati ayahnya, Mirza Ghulam Ahmad menjadi pegawai pemerintah di Sialkot. Pada tahun 1876, ayahanda beliau meninggal dunia. Sejak saat itu, beliau dengan sepenuh hati mencurahkan waktunya untuk memperdalam pengetahuannya tentang soal-soal agama. Beliau menerjunkan diri sepenuhnya dalam pembelaan Islam.

Pada waktu itu orang-orang Hindu mencetuskan sebuah gerakan baru bernama Arya Samaj. Beliau merasakan tantangan terhadap Islam di India semakin menguat. Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan jalannya dakwah Islam. Timbul keinginan beliau memperkuat benteng spiritual umat Islam dan dalam kekhawatiran itu Allah swt memberikan petunjuk agar beliau melakukan khalwat di suatu tempat yang jauh dari Qadian. Lalu beliau mendapatkan ilham dan memilih lokasinya di Hoshiarpur.

Sejak 1884 Mirza Ghulam Ahmad merasakan dorongan melakukan uzlah (mengasingkan diri) untuk memperkuat diri secara spiritualitas. Niatnya itu baru kesampaian dua tahun kemudian. Pada 22 Januari 1886 beliau berangkat menuju Hoshiarpur. Dalam perjalanan penuh berkah ini, beliau ditemani sahabatnya Mian Abdullah Sanauri, Syekh Hamid Ali dan Fateh Khan Sahib dari Rasulpur. Beliau dan rombongan tinggal di rumah Sheikh Mehr Ali Sahib, salah seorang pengikutnya di Hoshiarpur. Di sana beliau bermunajat, bertafakkur, bermeditasi selama 40 hari. Meditasi dan pengasingan diri ini merupakan bagian dari praktik chilla-nashini (semacam retreat spiritual), di mana seseorang menghabiskan waktu tertentu dalam pengasingan, semata untuk berzikir, berdoa dan beribadah mendekatkan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Setelah 40 hari melakukan retret, bermeditasi dan berkontemplasi dalam masa pengasingan tersebut, Mirza Ghulam Ahmad mendapatkan wahyu dari Allah swt. Di antaranya, wahyu berkaitan dengan karunia seorang putera sesuai firman Allah swt: “Kami akan mencurahkan roh kami ke dalam dirinya dan dia akan terlindungi di bawah naungan Tuhan.

Selama 40 hari berkhalwat, beliau berpesan tidak seorang pun boleh mengunjunginya. Lalu, setelah usai 40 hari tersebut, beliau menambah waktu tinggalnya di Hoshiarpur selama 20 hari lagi agar memungkinkan bagi pengikutnya bertemu langsung dan menghabiskan waktu bersamanya. Selama masa tersebut beliau banyak menerima kunjungan dari para pengikut dan pemuka agama. Peristiwa itulah yang menjadikan Ahmadiyah memiliki pengaruh signifikan di wilayah Hoshiarpur, dan kelak kota ini menjadi salah satu situs suci, wajib dikunjungi pengikut Ahmadiyah.

Peristiwa uzlah tersebut mengingatkan saya pada kisah Rasulullah saw bermunajat dan berkontemplasi di Gua Hira. Di sana beliau merenungkan kondisi masyarakat Arab Quraisy yang masih jahiliyah, diliputi konflik dan permusuhan di antara sesama suku. Beliau khusyuk berdoauntuk wujudnya keadilan dan kedamaian serta lahirnya sebuah masyarakat yang berkeadaban, penuh keridhaan Allah swt. Sampai akhirnya Allah swt berkenan menuntun beliau dengan turunnya wahyu pertama. Seluruh wahyu yang beliau terima kemudian dikompilasikan menjadi kitab suci Al-Qur’an.

Saya mengamati dengan seksama ruangan tempat bermunajat pendiri Ahmadiyah. Ukurannya tidak luas dan terlihat sangat sederhana, tidak dilengkapi pemanas ataupun pendingin udara. Saya bisa membayangkan betapa panasnya di musim panas dan betapa dinginnya selama musim dingin. Saya sudah pernah merasakan dua musim ekstrim tersebut di India. Saya merenungkan betapa keras pilihan hidup para pejuang Islam, termasuk pendiri Ahmadiyah. Beliau meninggalkan kehidupan duniawi yang nyaman, lalu memilih secara sadar dan sukarela kehidupan perjuangan, penuh resiko dan nestapa, pastinya tidak nyaman. Beliau makan seadanya dan lebih banyak berpuasa. Tradisi tasawuf mengajarkan bahwa ketika seseorang berpuasa, dalam kondisi fisik yang lapar dan dahaga, rohani manusia dapat lebih leluasa mendekat kepada Sang Khalik. Dari sini, saya yakin Mirza Ghulam Ahmad adalah sufi sejati, selalu berusaha hidup dekat dengan Sang Pencipta. Kedekatan itulah yang menguatkan hati nurani dan mental spiritualnya untuk tegar berjuang menegakkan kebenaran Islam dengan mengedepankan nilai-nilai cinta dan perdamaian, love for all, hatred for none.

Ziarah ke Kota Ludhiana

Ludhiana adalah kota terbesar di Punjab, terletak di sebelah utara New Delhi. Kota ini merupakan ibu kota distrik Ludhiana, negara bagian Punjab, India. Saya bersyukur pernah berziarah ke sini. Tempat bersejarah berupa rumah tempat tinggal salah satu sahabat Mirza Ghulam Ahmad, digunakan untuk melaksanakan baiat pertama terhadap pengikut Ahmadiyah. Pada pintu rumah terdapat plakat peringatan bertuliskan: Darul-Bai’at.

Pada bulan Desember 1888 Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu: Taufan kesesatan telah meliputi dunia, sebab itu sediakanlah bahtera. Barangsiapa suka naik bahtera itu akan selamatlah ia dari mati tenggelam. Adapun orang yang menolak, kematian akan menimpanya (Fathi Islam).

Wahyu itu menjadi pertanda pentingnya membangun sebuah bahtera untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan. Berdasarkan wahyu tersebut beliau mendirikan suatu gerakan, yang kemudian pada 4 November 1900 dinamakan Ahmadiyah. Untuk menguatkan gerakan tersebut dibutuhkan pengikut yang setia dan itulah mengapa beliau menerima baiat. Baiat pertama dari para sahabat setianya berlangsung di kota Ludhiana pada 23 Maret 1889. Setiap tahun, hari bersejarah itu kemudian diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Ahmadiyah.

Sejarah Ahmadiyah menuturkan, Mirza Ghulam Ahmad berangkat ke Ludhiana pada 3 Maret 1889. Beliau bermukim di rumah kediaman sahabatnya, Shahzada Ghulam Haider, berada di jalan Iqbal Ganj, Ludhiana. Di rumah itulah, beliau menerima baiat. Baiat pertama hanya terdiri dari beberapa orang yang kesemuanya adalah sahabat dekat beliau, seperti Hakim Maulvi Nuruddin, Mir Abbas Ali, Mian Muhammad Husain Moradabadi dan Mian Abdullah Sanauri. Pada awalnya, baiat dilakukan secara pribadi, satu persatu, kemudian setelah pengikut Ahmadiyah berkembang pesat, baiat dilakukan secara berkelompok.

Kini Ahmadiyah berkembang luas pada lebih 200 negara, termasuk negara-negara Barat yang dikenal sekuler. Melalui kegiatan Jalsa Salana di berbagai negara para pengikut Ahmadiyah menyatakan komitmennya membangun masyarakat Islam yang damai, penuh cinta kasih dengan mempromosikan semangat persatuan dan persaudaraan. Berharap suatu saat nanti pengikut Ahmadiyah dapat menikmati hak-haknya yang asasi dalam beragama dan diterima sepenuh hati oleh mayoritas umat Islam di negeri tercinta ini. Semoga!

Download file disini