PIDATO KEBUDAYAAN
Merawat Toleransi, Menumbuhkan Perdamaian
untuk Indonesia yang Berkeadaban
Oleh: Musdah Mulia
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om swastiastu,
Namo buddhaya,
Salam kebajikan,
Rahayu.
Yang saya hormati para pemimpin agama, para tokoh masyarakat, para akademisi, dan seluruh hadirin yang berbahagia.
Pada hari ini, kita berkumpul untuk merayakan Fesival Toleransi yang diselenggarakan oleh ICRP dan didukung sejumlah kementerian dan lembaga serta ormas masyarakat yang peduli pada upaya-upaya merawat toleransi demi terwujudnya Indonesia yang Berkeadaban.
ICRP sebagai organisasi lintas iman, lintas agama dan kepercayaan menjadikan toleransi sebagai syarat penting wujudnya perdamaian yang merupakan ajaran substansi semua agama dan kepercayaan.
Toleransi sebuah nilai yang menjadi napas kehidupan bangsa, di samping perdamaian, dan kemanusiaan. Nilai yang tidak hanya berdiri sebagai konsep moral, tetapi sebagai tiang penyangga Indonesia yang berkeadaban.
Pertanyaan kritis, Mengapa Toleransi adalah Nafas Bangsa? Indonesia bukan sekadar negara-bangsa; ia adalah rumah besar keberagaman dan kemajemukan sehingga sangat tepat jika para leluhur kita memilih istilah Bhinneka Tunggal Ika sebagai ikon persatuan bangsa. Kita sangat beragam dalam hampir semua aspek kehidupan, namun keragaman itulah yang mempersatukan kita sebagai satu bangsa yang berdaulat.
Kita memiliki lebih dari 1.700 pulau besar dan kecil, 1.300 suku bangsa, ratusan bahasa daerah, dan juga ratusan agama dan kepercayaan. Keberagaman ini membuat Indonesia indah, tetapi juga rentan. Di sinilah toleransi menjadi prinsip utama. Dalam Islam, Allah SWT mengingatkan: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini tidak memerintahkan kita agar seragam, tetapi memerintahkan ta’aruf, saling mengenal, menghargai, dan saling menguatkan. Ajaran serupa juga termaktub dalam kitab suci lain. Dalam Perjanjian Baru tertulis: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Markus 12:31). Dalam Dhammapada (Buddha) disebutkan: Kebencian tidak akan pernah berakhir dengan kebencian; kebencian akan berakhir dengan cinta (Dhammapada 5). Dan dalam Bhagavad Gita: “Ia yang melihat semua makhluk dengan kasih sayang, dialah yang dekat dengan-Ku.” (Bhagavad Gita 6:30). Semua agama mengajarkan satu prinsip: kemanusiaan yang mempersatukan.
Ulama besar Syekh Yusuf al-Makassary, tokoh yang sangat saya kagumi, menekankan bahwa seseorang hanya bisa dekat dengan Tuhan bila ia menebarkan salam atau kedamaian kepada sesama. Bagi beliau, ibadah tidak sempurna tanpa keadilan, welas asih, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Selanjutnya, Ibn Arabi, sufi besar, pernah berkata: “Hatiku telah mampu menerima segala bentuk; ia adalah padang rumput bagi rusa dan biara bagi para rahib. Aku mengikuti agama cinta; ke mana pun arah cinta berhembus, di sanalah agamaku.” Ini adalah teologi cinta, teologi yang menjadikan perbedaan sebagai keindahan, bukan ancaman.
Perdamaian: Jalan Tengah Peradaban
Perdamaian tidak hadir secara otomatis; ia harus diusahakan, dibangun, dan dilestarikan. Dalam Islam, kata Islam sendiri berasal dari akar kata salam, artinya damai. Dan Allah berfirman: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya.” (QS. Al-Anfal: 61). Dalam tradisi Kristen: “Berbahagialah para pembawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Matius 5:9). Dalam Buddha Dharma: “Kemenangan melahirkan kebencian. Yang kalah hidup dalam penderitaan. Yang damai hidup bahagia, meninggalkan menang dan kalah.” (Dhammapada 201).
Sementara Dalai Lama menuturkan: “Perdamaian dunia harus tumbuh dari kedamaian dalam diri.” Ini adalah ajakan bahwa perubahan sosial harus dimulai dari kedewasaan personal: kemampuan menahan amarah, memahami orang lain, dan mengedepankan empati. Perdamaian adalah persimpangan ajaran suci semua agama. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan sebagai jalan mulia.
Toleransi bukan hanya etika sosial, tetapi juga manifestasi keimanan. Seorang beriman sejati hadir membawa kesejukan, bukan permusuhan; menjadi sumber kedamaian, bukan sumber ketakutan. Dalam tradisi Islam disebutkan bahwa seorang Muslim adalah dia yang membuat orang lain selamat dari lisan dan tangannya. Dalam perspektif teologi publik, toleransi adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan melalui layanan kepada sesama manusia, terlepas dari agama, suku, atau pilihan hidup mereka. Dengan kata lain, toleransi adalah ibadah sosial, ibadah yang membangun kedamaian di bumi sebagai refleksi cinta kepada Sang Pencipta.
Faktor-Faktor Pendukung Toleransi dan Perdamaian
a. Pendidikan yang Inklusif dan Moderat: Pendidikan yang menanamkan nilai kemanusiaan, keberagaman, dan dialog lintas iman sangat efektif menumbuhkan sikap toleran. Kurikulum yang mengintegrasikan nilai moderasi beragama menjadi modal sosial yang kuat.
b. Kepemimpinan yang Bijaksana dan Anti-Polarisasi: Pemimpin, baik pemimpin negara, agama, ataupun komunitas, yang menolak politisasi identitas dapat menciptakan suasana sosial yang lebih tenang dan damai.
c. Media dan Ruang Publik yang Mencerahkan: Media yang mempromosikan literasi, verifikasi informasi, dan narasi damai akan memperluas pemahaman masyarakat terhadap perbedaan.
d. Tradisi Keagamaan yang Menekankan Kasih dan Kemajemukan: Ajaran agama yang menonjolkan welas asih, keadilan, dan saling menghormati menjadi fondasi moral yang kuat untuk toleransi.
e. Interaksi Sosial yang Positif: Semakin sering masyarakat berinteraksi lintas agama, suku, dan budaya, semakin tipis pula prasangka dan stereotip yang memicu konflik.
Faktor-Faktor Penghambat Toleransi dan Perdamaian
a. Polarisasi Sosial dan Politisasi Identitas: Perbedaan agama, etnis, atau ideologi sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Polarisasi ini menumbuhkan sentimen “kami versus mereka”.
b. Literasi Digital yang Rendah: Masyarakat mudah terjebak hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi di media sosial. Informasi palsu ini memperkuat kecurigaan dan prasangka.
c. Ekstremisme Keagamaan dan Ideologi Kekerasan: Kelompok ekstrem sering memaksakan tafsir sempit dan eksklusif, menolak dialog, dan menganggap kekerasan sebagai legitimasi moral.
d. Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi: Kesenjangan, diskriminasi, dan akses yang tidak merata terhadap kesejahteraan menciptakan kemarahan sosial yang mudah berkembang menjadi konflik.
e. Kurangnya Ruang Dialog dan Pertemuan Antar-Kelompok: Keterbatasan ruang dialog memperkuat jarak sosial. Ketika kelompok terisolasi, prasangka tumbuh dan potensi konflik meningkat.
Membangun Indonesia yang Berkeadaban
Berkeadaban berarti menjadikan akhlak, etika, dan kebijaksanaan sebagai prinsip hidup berbangsa. Indonesia yang berkeadaban adalah Indonesia yang:
- Menghormati martabat setiap warga negara, tanpa memandang agama, suku, atau jenis kelamin.
- Menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, sesuai amanat konstitusi.
- Mendorong dialog lintas iman untuk mencegah radikalisme.
- Membudayakan literasi digital, agar masyarakat tidak mudah terseret provokasi.
- Mengutamakan keadilan sosial, sebab ketidakadilan adalah akar konflik.
Sebagaimana pesan KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah):“Agama itu adalah akal budi. Jika engkau mendapati ajaran agama yang bertentangan akal budi, maka itu bukan agama.” Dan pesan Gus Dur yang legendaris: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik bagi semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Inilah roh keberagaman yang perlu kita rawat sebagai fondasi peradaban.
Merawat Kemanusiaan, Mengalahkan Ketakutan
Kemanusiaan adalah jembatan yang menghubungkan perbedaan. Ketika kita melihat orang lain sebagai “kita”, bukan “mereka”, maka toleransi tumbuh dengan sendirinya.
Ketika kita menolong bukan karena agama, tetapi karena dia manusia, maka peradaban menemukan maknanya. Sebagaimana Hadis Nabi SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad). Nilai ini sejalan dengan ajaran Hindu: “Tat Twam Asi, artinya Aku adalah engkau, engkau adalah aku.” Dan dalam tradisi Buddha: “Semua makhluk ingin bahagia. Oleh karena itu, jangan sakiti siapa pun.” Kemanusiaan adalah bahasa universal yang mengalahkan ketakutan, prasangka, dan kebencian.
Langkah Strategis Bagi Pemerintah
- Memperkuat pendidikan moderasi dan kebhinekaansejak dini.
- Menegakkan hukum secara adil, melindungi setiap warga tanpa kecuali.
- Mengawasi hoaks dan ujaran kebenciandengan pendekatan edukatif dan regulatif.
- Memfasilitasi dialog lintas agama dan budayahingga tingkat desa.
- Mengurangi ketimpangan ekonomi dan diskriminasi.
Langkah Masyarakat Agama
- Menghadirkan tafsir keagamaan yang humanis dan inklusif.
- Mendorong kerja sama lintas iman, dalam aksi sosial dan kemanusiaan.
- Menjadi teladan moral, menolak kebencian atas nama agama.
- Menjadikan rumah ibadah pusat pendidikan damai.
- Menanamkan etika digital, agar media sosial menjadi sarana kebaikan.
Tokoh perdamaian Mahatma Gandhi pernah berkata: “Kekuatan tidak berasal dari kekerasan, tetapi dari keteguhan hati yang damai.” Ini sejalan dengan pesan seluruh agama: kedamaian bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral dan spiritual tertinggi.
Penutup: Jalan Kita ke Depan
Toleransi adalah pondasi bagi masyarakat yang adil, damai, dan berkeadaban. Kita membutuhkan: Pendidikan agama yang moderat dan inklusif; Kebijakan publik yang menjamin kesetaraan warga; Kepemimpinan moral yang menolak politisasi identitas; dan Ruang dialog lintas iman yang berkelanjutan.
Dengan semangat toleransi, kita tidak hanya mencegah konflik, tetapi juga membangun peradaban damai di mana setiap manusia dapat hidup bermartabat. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membimbing kita semua untuk menjadi pembawa kedamaian dan cahaya bagi sesama.
Toleransi bukan sekadar pilihan moral, tetapi strategi peradaban. Perdamaian bukan utopia, tetapi tanggung jawab bersama. Kemanusiaan bukan slogan, tetapi komitmen harian yang harus kita wujudkan dalam tindakan kecil maupun besar. Mari kita jadikan Indonesia sebagai rumah tempat setiap warga merasa aman, dihargai, dan dicintai.
Kondisi ini sejalan dengan .pesan luhur Al-Qur’an:Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya: 107). Demikian juga pesan universal Nelson Mandela: “Tidak ada yang terlahir membenci. Jika orang bisa belajar membenci, mereka juga harus lebih bisa belajar mencintai.”
Festival Toleransi ini mengingatkan kita bahwa Indonesia tidak hanya dibangun oleh kekuasaan, tetapi oleh nilai-nilai luhur: kebhinekaan, gotong royong, keadilan, dan persaudaraan.
Mari kita jadikan toleransi bukan sekadar slogan, melainkan laku hidup: di keluarga dan komunitas, di sekolah dan kampus, di rumah ibadah, di media sosial, di ruang publik dan ruang batin kita masing-masing.
Semoga kita semua menjadi bagian dari generasi yang merawat toleransi, menumbuhkan perdamaian, dan memuliakan kemanusiaan demi Indonesia yang benar-benar berkeadaban.
Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.






