|

Muslimah Reformis

Membangun Spiritualitas Bangsa Melalui Dialog Agama

Menghayati kemajemukan bangsa Indonesia

 Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan total penduduk lebih dari 270 juta jiwa, menduduki peringkat keempat di dunia. Luas wilayahnya lebih dari dua juta km2 membentang di garis khatulistiwa. Terdiri dari 17.000 pulau, besar dan kecil, sebagian besar tidak berpenghuni. Penduduknya sangat heterogen, terdiri lebih dari 200 suku bangsa dan memiliki lebih dari 700 bahasa. Bahkan, untuk wilayah Papua saja dijumpai ratusan suku dan bahasa. Semua gambaran ini menunjukkan betapa majemuknya bangsa Indonesia.

Meskipun bahasa mayoritas adalah bahasa Jawa, namun para pendiri bangsa sepakat memilih bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan selanjutnya disebut Bahasa Indonesia. Selain beragam suku bangsa dan bahasa, mereka juga terdiri dari beragam corak budaya, agama, dan kepercayaan. Di antara agama yang dianut penduduk adalah Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, Baha’i, Sikh, Yahudi, dan lebih dari 400 kepercayaan lokal (indigenous religion).

Indonesia sangat unik, walaupun mayoritas penduduk menganut Islam, namun para pendiri bangsa yang sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh Muslim yang taat- tidak menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Mereka justru menyepakati Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara. Pancasila terdiri dari lima prinsip yang berisi nilai-nilai luhur yang mencerminkan esensi ajaran semua agama yang berkembang di negeri ini. Karena itu, semua pemeluk agama tidak sulit menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai alat pemersatu bangsa.

Namun, akhir-akhir ini muncul kekhawatiran akibat menguatnya populisme. Akibatnya, masyarakat cenderung kepada sikap dan perilaku radikal yang ditandai dengan meningkatnya sikap intoleransi dan eksklusif khususnya dalam isu agama. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena gejala populisme diikuti oleh kecenderungan masyarakat menggunakan politik agama dan politik identitas dalam kehidupan politik praktis, terutama dalam kegiatan Pilkada dan Pemilu. Akibatnya, demokrasi hanya dimaknai sebatas prosedural belaka, tanpa mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai basis inti demokrasi.

Terlebih lagi, dalam banyak hal hubungan inter dan antar-agama di Indonesia saat ini belum sampai ke tahap pluralisme yang substansial. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog agama yang konstruktif dan berkesinambungan sebagai jembatan menuju masyarakat agama yang humanis dan pluralis sesuai prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai esensial Pancasila yang pada gilirannya nanti menjadi landasan utama bagi terwujudnya NKRI yang maju dan berdaulat.

Memahami dialog agama secara benar

 Tujuan hakiki agama adalah memanusiakan manusia. Artinya, dengan beragama manusia mampu meningkatkan kualitas spitualnya yang tercermin dari perilaku sehari-hari, baik dalam relasi dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dengan lingkungan semesta. Spiritualitas yang kuat akan mendorong manusia berani menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan semua manusia. Implikasinya adalah semua penganut agama tergugah mengeliminasi semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, termasuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan kekerasan seksual yang semakin mengemuka akhir-akhir ini.

Spiritualitas yang kokoh membimbing manusia tegar melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dalam memajukan sains dan teknologi demi kemashlahatan semua manusia. Spiritualitas yang matang menuntun manusia melawan semua bentuk oligarki, korupsi, nepotisme dan perbudakan, mengikis semua bentuk imperialisme dan kolonialisme, termasuk mengikis cara hidup konsumeristik dan hedonistik yang membuat manusia tercerabut jati dirinya. Spiritualitas yang solid mengarahkan manusia mencintai perdamaian dan keharmonisan, menolong sesamanya dari kehancuran peradaban sekaligus menjaga kelestarian alam semesta.

Dialog agama harus dibangun untuk tujuan memperkuat spiritualitas manusia. Masalahnya, dialog agama yang selama ini dilakukan, baik bersipat internal dalam satu agama, maupun dialog lintas agama dan kepercayaan umumnya hanya bersifat seremonial belaka. Tidak heran jika berbagai dialog agama belum membawa hasil optimal membangun perdamaian. Muncul pertanyaan, dialog agama seperti apa yang perlu dikembangkan?

Pengalaman saya selama ini bekerja dalam isu dialog agama menyimpulkan paling tidak ada enam syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah dialog agama. Pertama, dialog agama adalah sebuah perjumpaan dimana semua pihak diharapkan bersikap tulus, jujur dan berani mengungkapkan common understanding serta fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai. Esensi dialog adalah a way of knowing or understanding. Dialog berbeda dengan debat karena dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Karena itu, dalam dialog tidak ada kalah-menang, melainkan penguatan literasi, khususnya literasi keagamaan.

Kedua, dialog agama bukan sekedar face-to-face conversations, seperti dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau semacamnya. Dialog adalah proses komunikasi yang intens dan terus-menerus untuk memahami pemikiran, ajaran, tradisi, budaya, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders). Pemahaman yang mendalam terhadap suatu agama akan melahirkan empati kemanusiaan, sikap rendah hati dan keinginan untuk berbagi.

Ketiga, dialog agama akan efektif manakala masing-masing partisipan memiliki niat tulus dan komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama dua syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran bagai jamur di musim hujan.

Keempat, dialog agama harus dapat meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan, seperti umumnya dalam debat. Dengan demikian, dialog hendaknya berangkat dari komitmen tulus masing-masing individu atau kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan “kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih.

Kelima, dialog agama harus berakhir dengan aksi konkret melawan semua musuh agama. Dialog agama bukan hanya berakhir di level wacana, melainkan diimplementasikan dalam aksi-aksi konkret kemanusiaan. Misalnya, berbagai kelompok agama berkolaborasi dan bekerjasama untuk melawan musuh-musuh agama. Musuh agama sangat jelas, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan mewujud dalam banyak bentuk, seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, sistem politik yang tiranik dan despotik yang membawa kepada kolonialisme dan imperialisme. Ketidakadilan juga melahirkan pendewaan diri melalui perilaku konsumeristik, individualistik, dan hedonistik. Ketidakadilan mewujud dalam bentuk relasi yang timpang dan tidak setara yang pada gilirannya melahirkan dominasi, diskriminasi, eksploitasi dengan beragam kekerasan dan kebiadaban.

Keenam, dialog agama adalah sebuah proses transformasi sosial. Dialog agama harus mampu mentransformasikan atau mengubah sikap dan perilaku pemeluk agama yang semula sangat keras, fanatik, arogan, konservatif, berprasangka buruk, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan menjadi pengikut agama yang rendah hati, memiliki rasa cinta damai, penuh respek, ramah, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis.

Dengan ungkapan lain, dialog agama harus mampu mengubah individu atau kelompok yang semula saling membenci, mencurigai, memusuhi, dan antipati menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Dengan dialog diharapkan para pemeluk agama yang berbeda menjadi sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka.

Karena itu materi yang dibahas dalam aktivitas dialog agama harus menyentuh persoalan riil yang nyata dihadapi masyarakat sehari-hari. Di antaranya, bagaimana meningkatkan mutu literasi dan pendidikan generasi muda, mengeliminasi kemiskinan, mengurangi pengangguran, memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih serta makanan sehat dan begizi, mengolah sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat, meningkatkan kualitas kesehatan dan mencegah HIV\Aids dan berbagai penyakit menular, serta upaya-upaya menjaga kelestarian alam dan kesehatan lingkungan. Bagaimana melepaskan masyarakat dari bahaya narkoba, perjudian, korupsi, sistem yang despotik serta belenggu perbudakan, trafficking, dan jeratan kapitalisme dan imperialisme.

Dialog agama harus menyentuh isu-isu lain yang dianggap sensitif, seperti mengeliminasi berbagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang selama ini terpinggirkan. Di antaranya, memanusiakan mereka yang tidak mampu dan bermukim di tempat terpencil, membantu kelompok disabilitas sehingga mereka dapat hidup mandiri. Menghentikan diskriminasi terhadap kelompok queer dan minoritas gender lainnya.

Dialog lintas agama dalam pandangan Islam

Esensi Islam terkandung dalam ajaran tauhid. Tauhid artinya hanya ada satu Tuhan yang patut disembah, yakni Allah SWT, selain Dia, semua yang ada hanyalah makhluk belaka. Pemahaman tauhid yang benar melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka rakyat tidak boleh mempertuhankan raja dan pemimpin, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasan dan istri tidak boleh mempertuhankan suami, begitu seterusnya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.

Tauhid bukanlah sekadar doktrin keagamaan yang statis melainkan sumber energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral dan berkeadaban. Tauhid mendorong manusia mewujudkan keadaban publik seperti telah dipraktekkan Rasulullah pada masa pemerintahannya di Madinah.

Hanya saja, dalam implementasinya di masyarakat, tauhid sering kali direndahkan maknanya sedemikian rupa sehingga menjadi doktrin yang tidak menyentuh masalah-masalah kemanusiaan. Tauhid sering kali dipahami hanya sebatas mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui rukun iman atau semacamnya. Tauhid tidak lagi tampak sebagai kekuatan pencerahan dan pembebasan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan dan berbagai bentuk kebiadaban.

Ajaran tauhid berisi dua prinsip utama, yakni hablun minallah dan hablun minannas. Artinya, hubungan baik dengan sang Khalik tercermin dalam hubungan baik dengan sesama manusia, sesama makhluk, termasuk lingkungan hidup dalam arti luas. Kesalehan individual harus berjalan seiring dengan kesalehan sosial. Karena itu, ketakwaan dan kesalehan seorang manusia dalam Islam diukur dari sejauh mana dia memberikan manfaat kepada sesama. Bukan terlihat dari gaya hidup, pilihan busana, cara beribadah dan sebagainya. Melainkan terlihat dari akhlak mulia yang ditampilkan dalam seluruh aspek pergaulan sehari-hari.

Dengan demikian, ajaran tauhid menginspirasi pentingnya dialog lintas agama untuk mengimplementasikan prinsip hablun minanna (relasi yang baik di antara sesama). Rasulullah saw adalah sosok manusia utama yang sangat cinta damai. Beliau sangat mementingkan pendekatan damai dalam membina umatnya. Ada ratusan hadis yang menghimbau agar umat Islam selalu menggunakan cara-cara damai dan humanis dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan bersama umat agama yang berbeda.

Sejumlah aktivitas berikut membuktikan betapa Rasulullah saw sangat konsen membangun damai di masyarakat melalui upaya-upaya dialog, termasuk dialog agama. Dialog tidak selalu berbetuk verbal, melainkan juga mengambil bentuk kerjasama kemanusiaan antar golongan yang berbeda.

Pertama, aktivitas Rasul mendamaikan berbagai suku yang berkonflik. Aktivitas ini dikenal dengan nama ‘Hilful Fudūl.’ Ini dilakukan jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Beliau tampil mendamaikan konflik di antara para pemimpin suku Arab yang bertikai tentang siapa yang paling berhak meletakkan hajar Aswad ke tempatnya semula akibat diterpa banjir.

Kedua, Piagam Madinah. Rasul membuat perjanjian damai dengan para pemimpin Yahudi dan pemimpin kelompok penyembah berhala (musyrikin) dan pimpinan kelompok lainnya yang bermukim di Madinah. Perjanjian ini dianggap sebagai konstitusi pertama yang mengatur kehidupan warga negara yang sangat majemuk. Isinya, antara lain mengatur hak dan kewajiban yang setara bagi semua kelompok di Madinah dalam posisi mereka sebagai warga negara yang merdeka. Mencermati isi Piagam Madinah, tidak salah jika disebutkan betapa Islam sangat kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi substansial.

Ketiga, Perjanjian Hudaibiyah. Sebuah perjanjian damai antara pengikut Islam dan penduduk Mekkah yang masih pagan. Isinya menunjukkan betapa Rasul lebih mengedepankan politik perdamaian, bukan politik kekerasan dan eksploitasi dalam membangun kekuasaan Islam. Rasul menunjukkan perlunya sikap rendah hati dan mengutamakan sikap compassion dan kerjasama, meski sedang berada dalam posisi menang dan berkuasa.

Keempat, khutba hujjat al-wadā. Khutbah Rasul yang terakhir dalam ibadah haji di Mekkah. Khutbah ini mengandung pesan-pesan moral Rasul yang sangat kuat menekankan pentingnya persatuan dan perdamaian serta pemenuhan hak-hak asasi manusia, khususnya kelompok tertindas dan marjinal. Materi khutbah wada’ ini menurut saya bukan hanya sebagai the first ‘Charter of Human Rights’ melainkan juga sebuah landasan kokoh untuk menegakkan perdamaian dunia melalui kegiatan dialog agama.

Penutup

Dialog agama, baik yang bersipat intra atau lintas agama dan kepercayaan yang berbeda hendaknya diarahkan untuk aksi-aksi konkret bersama mengeliminasi musuh agama yang sama, yakni ketidakadilan. Melalui dialog agama komunitas agama hendaknya bergandeng-tangan dan berkolaborasi membangun persatuan, kedamaian dan kemajuan bangsa.

Pemuka agama hendaknya selalu bersatu mengeliminasi semua bentuk ketimpangan sosial, ekonomi dan politik dalam wujud kebobrokan moral, krisis keadaban publik, kemiskinan, korupsi, pengangguran dan sebagainya. Lalu bersama-sama mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bahagia melalui upaya-upaya peningkatan kualitas literasi, pendidikan, kesehatan, dan kemajuan ekonomi serta pemenuhan hak-hak asasi semua warga tanpa kecuali agar terwujud masyarakat bermoral dan berkeadaban, yaitu masyarakat yang mencintai keadilan.

Untuk dapat mencintai keadilan, seseorang atau masyarakat harus memiliki spiritualitas yang kuat, dan ini diperoleh dengan berupaya menghidupkan nilai-nilai moral yang sudah ada dalam diri setiap manusia sebagai anugerah Tuhan.

Akhirnya, dialog agama harus mampu menghidupkan spiritualitas dalam diri manusia dalam bentuk penguatan nilai-nilai moral agama yang esensinya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan.

Dengan menghidupkan nilai-nilai tersebut akan terbangun relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens dan penuh damai. Hal itu harus dimulai dari diri sendiri dalam keluarga untuk selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wallahu a`lam bi al-shawab.