“Jangan dekat-dekat wong Samin, mereka sering ngajak berantem dan membuat masalah!”, ujar teman saya menceritakan apa yang sering ia dengar mengenai Sedulur Sikep alias wong Samin.
Sore hari di pertengahan Januari, saya, teman-teman Muda Bersuara, dan Perempuan Mahardhika menapakkan kaki di Sukolilo, sebuah kecamatan di Kabupaten Pati yang berada di lereng Pegunungan Kendeng. Menjelang maghrib, bus kami mendarat di halaman Omah Kendeng. Kami disambut dengan senyum hangat Sedulur Sikep di Omah Kendeng. Tidak hanya itu, kami disuguhi makanan desa ala Sukolilo, seperti lele, sup, aneka sayuran, dan jamu yang mereka racik sendiri.
Berdosa sekali saya jika langsung mengamini apa yang tidak orang ketahui dari Sedulur Sikep tanpa bertemu langsung dengan mereka. Bahkan, beberapa teman sulit mendapatkan izin dari orang tua ketika menyampaikan kalau hendak berkegiatan bersama Sedulur Sikep. Tetapi lain, yang kami rasakan justru kehangatan dan keramahan Sedulur Sikep di Omah Kendeng.
Omah Kendeng merupakan ruang yang dibangun untuk melakukan musyawarah, nguri-uri budaya, dan belajar berbagai hal: mulai dari membaca, menulis, berhitung, nembang Jawa, maupun menabuh gamelan. Alat musik gamelan yang ada di Omah Kendeng dibeli oleh Sedulur Sikep secara mandiri. Sebisa mungkin mereka tidak ingin menggantungkan dirinya kepada orang-orang di luar sana.
Sedulur Sikep memiliki cara sendiri untuk mendidik anak-anaknya yaitu dengan tidak menyekolahkan mereka di sekolah formal. Meskipun begitu, mereka belajar dibimbing oleh Mbak Gunarti (sosok perempuan yang berada di garis terdepan dalam perjuangan masyarakat lereng Pegunungan Kendeng menolak pendirian pabrik semen). Malam itu, saya mengajak para Wiji Kendeng untuk berbincang santai sambil mengupas kulit kacang dan kulit pisang, kemudian melahap isinya. Nikmat sekali rasanya. Wiji Kendeng merupakan anak-anak muda di Sedulur Sikep. Saat duduk melingkar bersama di Omah Kendeng, mereka menuturkan banyak hal, termasuk mengenai pendidikan, budaya, kehidupan sosial masyarakat sekitar, dan lain-lain.
Oiya, ada suatu hal yang perlu diketahui mengenai Pegunungan Kendeng; Awalnya, saya, kawan-kawan, dan kebanyakan pendatang mengira bahwa tempat yang akan kami kunjungi ini gersang dan tandus! Namun, semua asumsi itu terpatahkan setelah pagi itu kami menyapa langsung angin yang berhembus di tebing-tebing dan pepohonan asri yang tumbuh di Pegunungan Kendeng.
Bahkan, kata Mbak Gunarti, masyarakat Sukolilo menemukan ada sekitar 49 mata air yang berasal dari Pegunungan Kendeng. Mata air pun mengalir melalui gua dan sungai bawah tanah. Mengapa pabrik semen hendak didirikan di lingkungan yang asri seperti ini? Entah untuk kepentingan siapa, yang pasti masyarakat tidak diprioritaskan dalam hal ini. Kami pun melanjutkan menanam bibit alpukat di lahan miring di Pegunungan Kendeng.
Nandur adalah kegiatan sehari-hari Sedulur Sikep dan masyarakat lereng Pegunungan Kendeng. Mereka mengajarkan kita untuk senantiasa hidup sederhana dengan bertani. Bagi Sedulur Sikep, nandur merupakan aktivitas spiritual. Sejak kecil, anak-anak diajak ke kebun dan sawah untuk belajar menanam dan mencintai lingkungan. Benar kata Mbak Gunarti, kita harus merasakan segaranya udara dan melihat langsung hijaunya Pegunungan Kendeng yang terus dirawat oleh masyarakat sekitar agar mampu berpikir untuk mempertahakankan kelestariannya dan mendapatkan alasan mengapa masyarakat harus memperjuangkan perlawanan tolak pabrik semen.
Di sini, peran para perempuan sangat signifikan. Perempuan dan laki-laki berbagi peran untuk berkumpul serta mencari nafkah. Mbak Gunarti bercerita bahwa dulu ia awalnya mengajak perempuan lain dengan cara telaten berkunjung ke desa satu, dan berpindah ke desa lain menaiki sepeda onthel, kadang juga mengendarai sepeda motor ketika lokasi desa berada di atas.bukit.
Mbak Gunarti bahkan menghadiri acara ibu-ibu Tahlilan dan Yasinan walau ia penganut ajaran Samin Surosentiko. Perjuangan menjaga kelestarian Pegunungan Kendeng adalah milik semua agama dan kepercayaan di sana. Perjuangan menolak pabrik semen juga bukan hanya milik laki-laki, perempuan pun harus segera dipahamkan. “Berani karena mengerti”, tegasnya kembali.
Namun, oleh beberapa orang di luar sana, peran perempuan sering disederhanakan menjadi 3M (masak, macak, manak), yang berarti memasak, berdandan, dan memberi keturunan. Sungguh, ini konsep yang sangat tidak jelas pun tentu saja tak memiliki dasar menurut saya. Walau tak sedikit juga perempuan yang mengamini kata-kata tersebut. Namun, kenyataannya peran perempuan tak hanya itu-itu saja!
Mbak Gunarti dan perempuan lereng Kendeng membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Simbar Wareh. Simbar bermakna dua sumber mata air, Simbar Joyo dan Gua Wareh, yang akan terancam apabila pabrik semen didirikan. Mereka juga memproduksi jamu-jamu untuk kesehatan, seperti kunyit asem, kunyit putih, beras kencur, dan temulawak hasil Pegunungan Kendeng.
Lingkungan harus dijaga karena lingkungan merupakan milik kita dan generasi selanjutnya. Perlahan tapi pasti, ibu-ibu diajak untuk memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng yang menghidupi mereka sehari-hari. Pernah, suatu hari air di Gua Wareh mendadak surut selama setengah jam saja. Namun, dampaknya sangat dirasakan oleh warga sekitar yang tiap hari hidup dengan memanfaatkan air di sana. Sungguh, hal itu juga membantu menyadarkan masyarakat sekitar untuk memandang bahwa alam telah berbuat sangat baik kepada mereka, dan kini mereka harus mempertahankan kelestariannya untuk kemudian dimanfaatkan secukupnya dan diwariskan.
Dulu, Mbak Gunarti menyusuri sungai yang jernih untuk menuju ke Gua Lawa. Begitu sampai di sana, ia sangat miris dan hatinya teriris karena Gua Lawa diobrak-abrik untuk dieksploitasi fosfatnya. Sejak saat itu, ia bersumpah untuk menyelamatkan lingkungan tempatnya melangsungkan kehidupan. Papan panggonan-nya akan dirusak oleh orang!
Hebatnya, masyarakat lereng Kendeng yang memiliki perbedaan latar belakang kepercayaan dan budaya bersatu untuk berjuang melawan orang-orang yang ingin merusak sumber kehidupan mereka. Tokoh agama di sana berceramah pun dikaitkan dengan kelestarian lingkungan, sungguh ceramah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat sekitar seperti inilah yang kita butuhkan di masa sekarang. Hal ini seharusnya bisa menjadi teladan bagi orang-orang lain di berbagai daerah di luar Pegunungan Kendeng.
“Seberapa penting lemah, banyu, dan semen?” tutur Mbak Gunarti yang membuat kita kembali berpikir bahwa keegoisan manusia lah yang telah menuntun mereka melakukan hal yang merugikan orang lain demi sebuah kepentingan. Tentu saja masyarakat sekitar akan mendapatkan begitu banyak dampak buruk ketimbang dampak baik yang fana jika pabrik semen tetap didirikan di lingkungannya. Perempuan-perempuan Kendeng menjadi yang terdepan untuk berdiskusi dan melakukan aksi penolakan. Di dalam diri para perempuan terdapat sisi-sisi kelembutan, kekuatan, keuletan, kemandirian, dan keberanian yang siap sedia memperjuangkan apa yang seharusnya mereka perjuangkan.
Perlawanan Sedulur Sikep dan masyarakat lereng Kendeng mampu memukul mundur pendirian pabrik semen di Sukolilo, Pati. Namun, hingga sekarang, perlawanan belum usai mengingat pendirian pabrik semen masih ada di daerah lain di Pegunungan Kendeng, seperti di Blora, Rembang, dan Grobogan. Semua dilakukan demi ibu bumi dan anak cucu! Duduk, nembang, dan berdoa sebagai cara mereka untuk berjuang. Mereka tetap berjuang di tengah dilema bahwa siapa yang menolak pendirian pabrik semen akan dianggap melawan negara. .
Kata Mbak Gunarti, “Urip ing ngendi, lan sing maringi urip iku sapa?” yang artinya ‘Kita hidup di mana dan yang memberi hidup itu siapa?’ ini harus terus direnungkan dan direfleksikan oleh masyarakat supaya tumbuh kesadaran untuk menjaga lingkungan yang telah berjasa menghidupi mereka. Mbak Gunarti menuturkan, “Tresnanana ibu bumi kaya nresnani awakmu dhewe!”(Cintai ibu bumi seperti kita mencintai diri sendiri!) Sedulur Sikep dan masyarakat lereng Kendeng mengamini bahwa ibu bumi seharusnya tidak dianggap sebagai benda mati, namun ia perlu ditanami, dirawat dengan telaten, dihormati, digunakan secukupnya, dan perlu diwariskan.
Oleh Sedulur Sikep dan masyarakat Kendeng, kita kembali diingatkan bahwa peran perempuan bukan sekadar mengurusi ranah domestik. Perlu kesalingan dengan laki-laki untuk berkomunikasi dan berbagi mengenai peran-peran yang hendak dijalankan, seperti nandur, mendidik anak, berdiskusi, dan melakukan aksi. Dengan kesalingan, perempuan dan laki-laki bisa bersama-sama membantu mewujudkan cita-cita luhur yang berguna bagi banyak orang, di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Selain itu, berbuat baik kepada sesama, bersikap sederhana, dan melestarikan lingkungan merupakan hal penting yang baiknya kita teladani dari Sedulur Sikep dan masyarakat Kendeng.
oleh: Lena Sutanti
editor: Wiwit Musaadah