|

Muslimah Reformis

Apakah Demokrasi Sejalan dengan Islam ?

Akhir-akhir ini -sebagai imbas dari merebaknya radikalisme dalam masyarakat Islam, termasuk di Indonesia- banyak kalangan Islam mengharamkan demokrasi. Mereka umumnya tidak mampu menjelaskan dengan argumentasi teologis yang memadai mengapa Islam mengharamkan demokrasi.Bagi mereka, demokrasi adalah produk Barat yang artinya juga produk kafir. Seiring dengan itu, mereka mengkampanyekan sistem khilafah sebagai pengganti sistem demokrasi yang dianggap menjadi penyebab mundur dan melemahnya umat Islam. Ketika dikejar apa yang dimaksudkan dengan sistem khilafah, kelompok itu pun tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Umumnya, mereka hanya mengatakan, sistem khilafah adalah sistem Islam yang diwariskan Rasul dan sahabatnya. 

Memahami demokrasi

Sebelum mengemukakan pendapat, baik menerima atau menolak demokrasi, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa arti demokrasi. Sebab, boleh jadi karena keterbatasan pemahaman kita tentang sesuatu hal lalu kita memandang sesuatu itu sebagai negatif atau semacamnya.

Demokrasi memiliki banyak definisi, namun umumnya secara esensial istilah tersebut menunjukkan arti kekuasaan dari rakyat, dengan rakyat, dan untuk rakyat. Secara riil konsep yang sangat ideal tersebut memang tidak pernah dapat ditegakkan secara sempurna. Namun, intinya dalam demokrasi rakyat bebas memilih para penguasa mereka.

Dalam demokrasi, rakyat bebas mengawasi pemerintah untuk dapat mengetahui dengan jelas apakah mereka menjalankan tugas negara atau pemerintahan sungguh-sungguh untuk kemaslahatan rakyat ataukah untuk kepentingan mereka sendiri. Apabila rakyat tidak puas dengan pemerintahan mereka dan tidak lagi percaya, maka rakyat dapat mencabut kekuasaan mereka. Sangat diakui konsep ini tidak mudah diimplementasikan dalam kehidupan nyata, ada banyak faktor penyebabnya.

Pengertian demokrasi seperti inilah yang dipakai masyarakat Yunani Kuno dan demikian pula yang dianut masyarakat modern. Hanya saja ruang lingkup pengertian rakyat berbeda. Pada zaman Yunani Kuno “rakyat“ diartikan sangat sempit, terbatas pada pengertian sekelompok kecil penduduk, hanya merekalah yang mempunyai persamaan hak di depan undang-undang.

Setelah Revolusi Perancis, kata “rakyat” mempunyai arti yang lebih luas, yakni mencakup sebagian besar penduduk. Mereka itulah yang menikmati hak-hak politik, tetapi belum mencakup keseluruhan rakyat, sebab masih dibatasi dengan jumlah kekayaan yang dimiliki seseorang, jumlah pajak yang dibayar, atau tingkat pendidikan yang diperoleh.

Kemudian pada abad XIX kata “rakyat” mempunyai arti yang lebih luas lagi, mencakup semua penduduk laki-laki dan perempuan yang telah mencapai usia dewasa. Dengan demikian maka demokrasi yang sempit atau yang luas telah menjadi suatu sistem yang tetap menjamin terpeliharanya hak-hak rakyat dan kebebasannya, termasuk memilih sendiri dan mengawasi penguasanya.

 

Ajaran tentang keadilan dalam Islam mendukung prinsip demokrasi

Thaha Husein, pakar pembaru pemikiran Islam asal Mesir menjelaskan bahwa siapa saja yang berusaha mengajak umat Islam, khususnya orang-orang Mesir untuk kembali kepada sikap hidup yang berlaku di zaman Fir’aun, di zaman Yunani-Romawi, atau di masa-masa permulaan Islam, akan dicemooh rakyat. Masyarakat termasuk kalangan konservatif dan mereka yang tidak senang dengan setiap usaha pembaruan ajaran Islam juga menilai bahwa kembali ke warisan kuno Islam adalah sikap yang keliru.

Lebih jauh Thaha mengatakan: “Kita harus menyadari pula bahwa tanda tangan yang kita bubuhkan dalam naskah-naskah perjanjian internasional, yang dengannya kita memperoleh kemerdekaan, dan dengannya pula kita terhindar dari kekalahan, jelas mewajibkan kita untuk mengikuti jejak bangsa-bangsa Eropa dalam pemerintahan, ketatanegaraan, dan dalam hukumnya.

Obsesi Thaha Husein untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi Barat didasarkan pada dua argument pokok. Pertama, beliau membuktikan bahwa tidak ditemukan ajaran mengenai sistem politik dalam Al-Qur’an. Kedua, beliau juga membuktikan bahwa sistem demokrasi itu mampu mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi umat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, dan durhaka. Meminjam istilah Bertrand Russell bahwa demokrasi telah dapat mencegah penyalahgunaan terburuk dari kekuasaan.

Dalam prakteknya terlihat bahwa penyalahgunaan terburuk kekuasaan berupa ketidakadilan, tindakan sewenang-wenang, perampasan hak dan kebebasan, ketidakjujuran yang menyebabkan mundurnya suatu masyarakat, sering kali muncul sebagai akibat dari kekuasaan mutlak seorang raja atau presiden. Oleh karenanya, pemerintahan suatu negara tidak boleh diserahkan kepada satu orang saja, sungguh pun siapa dia. Kita tidak boleh mengandalkan kekuasaan dimonopoli oleh satu orang.

Di sini harus diletakkan gagasan Thaha Husein untuk mengambil sistem demokrasi Barat sebagai suatu yang absah menurut “pandangan” Al-Qur’an, dan untuk melihat keabsahannya kiranya perlu diketengahkan lebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut. Pertama, mengapa harus demokrasi Barat? Kedua, bagaimana Al-Qur’an menganjurkan ditegakkannya keadilan, kebajikan, keterbukaan, kebebasan, membantu kaum lemah, melarang perbuatan yang tidak senonoh dan tercela, serta bagaimana kemungkinan nilai-nilai itu dapat ditegakkan dalam suasana kehidupan demokrasi.

Sebenarnya tidak ada kesulitan bagi umat Islam untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi itu karena beberapa alasan. Pertama, umat Islam sejak masa-masa awal perkembangannya telah berpaling dari sistem feodal yang mengandalkan keunggulan suku atau clan, serta tidak menjadikan kesamaan agama dan bahasa sebagai dasar pemerintahan.

Nabi saw membangun negara Madinah dan demikian juga sistem politiknya atas dasar kepentingan-kepentingan praktis. Kondisi ini terjadi sebelum abad II hijriyah berakhir, yakni ketika Daulah Ummayah di Spanyol menantang Daulah ‘Abbasiyyah di Baghdad. Keadaan ini berlanjut terus hingga berdirinya berbagai pemerintahan di negeri-negeri Islam yang di dasarkan atas kepentingan ekonomi dan geografis.

Kedua, sedemikian jauh pemikiran dan tingkah laku politik Barat telah menjadi pemikiran dan menjadi tingkah laku pemikiran umat Islam khususnya di Mesir. Umat Islam di berbagai wilayah dapat dengan mudah menerapkan sistem politik Eropa yang demokratis. Hal itu karena sistem demokrasi yang diterapkan di berbegai negara Eropa tadi mengedepankan prinsip kesetaraan bagi semua warga negara, memandang perlunya penegakan hukum yang adil dan netral serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Meskipun demikian tetap saja di berbagai wilayah Islam muncul godaan untuk menerapkan pemerintahan absolut. Yang saya maksudkan adalah bahwa pemerintahan absolut yang seringkali terjadi di negara-negara Muslim timbul disebabkan pengaruh pemerintahan absolut yang berkembang di Eropa sebelum munculnya paham demokrasi.

Demikian juga bentuk pemerintahan di negara-negara Islam yang terbatas itu dibentuk oleh sistem pemerintahan terbatas yang juga ada di Eropa sebelumnya. Artinya, umat Islam sudah sejak lama berkiblat ke Barat atau Eropa, jadi tidak perlu malu untuk mengadopsi system demokrasi yang ternyata mampu membawa Eropa ke arah kemajuan dan kesejahteraan seperti sekarang.

Menurut Thaha Husain, pemikir pembaruan Mesir, mereka yang berusaha melaksanakan pemerintahan absolut (tak terbatas) di Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Louis XIV di Perancis daripada mengikuti pola Abd al-Hamid di Turki. Sisi lain yang lebih penting dari analisis ini adalah bahwa kecenderungan pemerintahan absolut yang seringkali muncul di berbagai dunia Islam di abad modern adalah disebabkan adaptasi dan peniruan yang sangat terlambat dan ketinggalan terhadap Eropa. Dengan demikian, ia melihat bahwa peniruan atau adopsi yang keliru terhadap Barat akan mendatangkan malapetaka bagi umat Islam.

 

Demokrasi adalah penghargaan terhadap hak asasi manusia

Menurut saya, umat Islam tidak perlu meniru sepenuhnya sistem demokrasi Barat atau Eropa, melainkan perlu mengembangkan alternatif lain dengan lebih mengedepankan prinsip-prinsip demokratisnya. Hal paling penting dari sistem demokrasi adalah penghargaannya yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pengakuan akan kesetaraan dan kesederajatan semua manusia tanpa kecuali.

Dalam sistem demokrasi tidak dikenal hak-hak istimewa bagi kelompok tertentu seperti diterapkan dalam sistem masyarakat feodal. Dalam demokrasi seharusnya semua bentuk bias gender dan bias nilai-nilai patriarkal serta bentuk-bentuk intoleransi ditinggalkan. Semua warga negara diperlakukan sederajat karena hukum tak mengenal kompromi. Mayoritas dan minoritas mendapatkan hak yang setara sehingga tidak muncul arogansi dan tirani mayoritas. Sebaliknya, minoritas pun harus taat pada aturan bersama yang dibuat untuk kemaslahatan bersama. Disinilah letak persamaan yang hakiki antara Islam dan demokrasi.

Demokrasi Islam dapat memberikan teladan yang lebih menekankan pada nilai-nilai keadilan. Sebuah sistem pemerintahan yang mendasarkan seluruh bangunan di atasnya pada nilai keadilan maka akan tumbuh beragam lembaga yang komitmen pada penegakan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Dengan demikian tujuan negara berupa keadilan, kemashlahatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga dapat diwujudkan secara nyata, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dengan terminologi indah: baldatun thayyibah wa Rabbun Ghafur, yaitu negara yang makmur dan berkeadaban.

Beberapa lembaga Islam di masa lampau sebenarnya telah mempraktekkan nilai-nilai demokrasi seperti mahkamah-mahkamah syari’ah. Lembaga peradilan ini menegakkan hukum dengan mengedepankan nilai keadilan bagi siapa pun. Di berbagai negara Islam seperti di Mesir meski menerapkan sistem demokrasi namun tetap mempertahankan lembaga waqaf dan membentuk kementerian khusus untuk mengurusnya.

Saya yakin cara demokrasi Mesir tidak dikenal oleh para pendahulu kita andaikata mereka hidup kembali saat ini. Itulah sebabnya, banyak pakar politik Mesir yang menganggap kementerian itu kuno dan tidak sesuai dengan zaman moderen. Beberapa orang bahkan menganjurkan untuk membubarkannya atau mengganti lembaga waqaf itu sendiri agar sesuai dengan tuntutan-tuntutan ekonomi moderen.

Sejumlah pemikir Muslim seperti Husein Haekal, dan pemikir Islam kontemporer semisal Muhammad Arkoun menyebutkan bahwa Barat pun menerapkan demokrasi secara bertahap. Kalau sebelum abad XVIII, kata Arkoun, raja di Eropa belum dianggap sah jika tidak diakui oleh gereja, maka dengan Revolusi Perancis hal itu telah berubah, legitimasi gereja tidak lagi diperlukan. Sebagai gantinya legitimasi bagi rezim politik akan diberikan oleh kedaulatan rakyat, oleh suara demokratis oleh seluruh rakyat yang hidup dalam masyarakat, dan oleh suara bebas yang diberikan oleh semua warga negara yang ada di masyarakat tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan pertama, dapat dijelaskan bahwa memang dunia belum pernah menyaksikan usaha yang lebih sungguh-sungguh dan lebuh sistematis untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuk pelaksanaan yang terlembagakan daripada yang dilakukan orang Barat sejak terjadinya Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Pengejewantahan terpenting cita-cita itu adalah sistem politik demokratis yang sampai saat ini menurut kenyataan baru mantap dilaksanakan di kalangan bangsa-bangsa Eropa Barat Laut dan keturunan mereka di Amerika.

 

Keadilan merupakan esensi Islam

Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa keadilan merupakan esensi dari ajaran semua agama, termasuk Islam. Ajaran keadilan dalam Islam bersumber dari ajaran tauhid. Tauhid mengajarkan hanya ada satu Tuhan yang patut disembah, selain Tuhan semuanya adalah makhluk.

Tauhid membebaskan manusia dari pemahaman paganisme, membebaskan manusia dari ketidakadilan, dari penindasan kelas, dari ordonansi-ordonansi dan hukum-hukum yang dibebankan demi keuntungan satu kelompok, satu kelas tertentu. Ini merupakan misi Rasulullah saw., dan kita seharusnya meneruskan misi Rasul itu. Para syuhada juga meneruskan misi yang sama, melawan budaya-budaya yang dipaksakan, melawan sistem ekonomi yang dipaksakan, melawan hukum yang dipaksakan, melawan pelarangan-pelarangan yang kadang-kadang dipaksakan kepada masyarakat atas nama agama.

Seruan Islam adalah untuk rahmat dan pembebasan. Awal setiap surat dimulai dengan penyebutan dua jenis rahmat, yang umum dan yang khusus: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” dan “Kami mengutusmu (Muhammad saw.) untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. 21:107). Rahmat ini adalah kasih bagi seluruh manusia. Bahkan, bagi pelaku dosa yang dihukum mati dalam hukum Islam masih juga berhak akan kasih sayang, bahkan dosa-dosanya mungkin dibersihkan dari kejahatannya, dan bahwa manusia berpotensi menjadi bebas dengan mengasihi orang lain.

Jihad Nabi (perjuangan keagamaan) adalah rahmat, hijrahnya [perpindahan dari Mekkah ke Madinah] juga adalah rahmat, hukumnya adalah rahmat, bimbingan prinsip-prinsipnya adalah rahmat: karenanya ajaran Islam seharusnya didasarkan pada [prinsip] rahmat ini. Jika demikian, agama harus tampil sebagai pemberi solusi atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi manusia. Kalau keadilan diyakini sebagai esensi dari ajaran semua agama, seyogyanya semua penganut agama bergandeng tangan untuk mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan di masyarakat, termasuk dalam wujud kemiskinan. Hanya dengan demikian kita bisa membangun masa depan peradaban manusia yang lebih humanis dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Intinya, jika keadilan dipandang sebagai esensi demokrasi, maka Islam adalah agama yang paling depan mendukung sistem demokrasi. Demokrasi haruslah bertujuan untuk kesejahteraan dan kemashlahatan semua manusia.