“Masuk-masuk”, aku dengar teriakan guru ngajiku sambil melambaikan tangan memberikan isyarat kami untuk memasuki surau.
“Jangan mengucapkan hari Natal! itu haram”, aku masih terngiang-ngiang kata-kata guru agamaku sore itu.
“Agama Islam adalah agama yang paling benar dan sempurna”, pesan ini terekam jelas saat guru ngajiku mengajar di muka kelas.
Setiap guru agama pasti ingin anak muridnya militan dalam beragama.
Beberapa potong cuplikan percakapan pengajaran agama di atas pada pendidikan formal maupun non formal membuat anak-anak menjadi Si paling benar. Imbas dari pengajaran agama yang menyatakan diri sebagai kebenaran mutlak menjadikan pribadi yang eksklusif. Tidak heran penganut agama mudah untuk ditakut-takuti menjadi kafir, pendosa, ataupun murtad (keluar dari agamanya). Alangkah bahayanya ketika menjalani profesi guru agama dengan cara menjadi Si paling benar.
Pertanyaan saya, pendidikan agama dengan cara mengajarkan menjadi paling benar apakah ini masih efektif di tengah keragaman Indonesia? Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2022 menyebut 33 juta penduduk di Indonesia terpapar radikalisme. Anak didik di bangku sekolah merupakan sasaran empuk dan rentan bagi kelompok untuk merusak masa depan bangsa melalui paham radikalisme. Melihat ke belakang data radikalisme di lembaga pendidikan yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2018, ada sebanyak 57,03% guru baik pada level SD dan SMP yang memiliki pandangan intoleran di Indonesia. Hal itu senada dengan data yang dirilis Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), data itu menyebutkan 48,9% siswa mendukung adanya tindakan radikal.
Adanya radikalisme di lembaga pendidikan merupakan fenomena kontradiktif. Mengapa? Pendidikan seharusnya menjadi lembaga untuk membangun pribadi yang memiliki karakter toleran, inklusif, dan manusiawi dan menyiapkan hidup di tengah keragaman Indonesia yang multikultural malah justru sebaliknya. Adanya radikalisme di lembaga pendidikan menjadi lembaga yang mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia. Alasan masuk akal radikalisme muncul karena pemahaman keagamaan yang sempit.
Keragaman budaya, agama, suku, agama, ras, dan orientasi seksual bukan membuat pemeluk agama menjadi eksklusif namun menjadi inklusif, toleran, dan empati. Guru seharusnya bisa mengemas agama dengan kemasan moderat dengan ciri mengutamakan perdamaian, kasih sayang, jalan tengah (wasatiyyah), merespon keadilan dan kesetaraan termasuk keadilan dan kesetaraan gender, dan agama yang kondusif bagi semua manusia tanpa pengecualian.
Guru agama harus membangun sikap moderat pada peserta didik. Alasannya pertama, membuat tidak mudah terprovokasi berbagai macam isu termasuk isu agama yang dapat menimbulkan konflik, Kedua, membangun pemahaman kebenaran bukanlah dimiliki oleh kelompok tertentu sebab kebenaran manusia adalah kebenaran subjektif. Ketiga, membentuk sensitifitas rasa kemanusiaan yang tinggi, menghormati perbedaan setiap pilihan manusia dan menjujung tinggi prinsip demokrasi.
Menjadi guru agama adalah jalan untuk membangun gerakan sosial. Mengapa gerakan sosial? sebab mendidik generasi bukan hanya untuk kepentingan agama namun untuk kepentingan bangsa dan negara. Tidak sepatutnya ketika menjadi guru agama hanya membekali untuk kesiapan hidup dalam situasi homogen sehingga mengesampingkan keragaman. Keragaman adalah rahmatan lil alamin maka setiap pemeluk agama harus disiapkan untuk hidup pada kondisi yang heterogen atau multikultural.
Pengajaran agama harus penuh dengan pilihan dan alternatif sehingga peserta didik akan kreatif dalam merespon pesan-pesan agama. Menjadi Si paling benar sebagai guru agama bukan strategi yang tepat dalam mengajarkan agama entah itu agama Islam ataupun agama lainnya. Tentu, mengemas pengajaran agama dengan wawasan moderat menjadi tantangan para guru agama. Maka guru agama harus terus belajar mengenali keragaman, merasakan pengalaman keragaman, belajar literasi agama, dan kebudayaan dengan kacamata progresif, inklusif, manusiawi, dan moderat.