Tia Mega Utami
Penyelenggaraan pemilu menjadi momentum penting dalam perjalanan demokrasi bangsa, tahapan pemilu 2024 yang berlangsung saat ini tengah dimanfaatkan sebagai ajang popularitas mencari dukungan rakyat, tak heran banyak alat peraga parpol atau individu tengah mewarnai jalanan dengan slogan-slogan yang mencerminkan tujuan dan identitas mereka. Terkait dengan hal tersebut, minimnya literasi demokrasi membuat masyarakat rentan digunakan sebagai praktik politik kotor yang menguntungkan diri sendiri.
Berbicara soal partisipatif perempuan dalam politik, sudah berlangsung sejak abad 19, beberapa negara seperti Amerika dan Inggris telah menggaungkan isu keterlibatan perempuan dalam politik yang membuat selangkah lebih maju dibandingkan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki yang terus melekat dengan pandangan misoginis dan diperkuat oleh ajaran agama, sehingga partisipasi perempuan dalam politik harus melalui proses yang panjang. Selama masa penjajahan Belanda, perempuan tidak diberikan akses dan politik dianggap sebagai pekerjaan laki-laki. Pada masa perjuangan kemerdekaan, perempuan aktif dalam pergerakan nasional yang mana banyak dari mereka turut serta memperjuangkan kemerdekaan dan mengorganisir aksi-aksi politik. Salah satunya Cut Nyak Dien, pahlawan nasional yang memimpin perlawanan melawan Belanda. Barulah tahun 1945 perempuan terlibat secara formal dalam politik, yang mempunyai hak pilih dan dipilih, beberapa perempuan berhasil menduduki jabatan-jabatan penting.
Pada masa orde baru politik perempuan sempat dipatahkan dengan membatasi dan menempatkan perempuan lebih tradisional. Namun saat reformasi kembali terjadi perubahan yang besar, hal ini membuka ruang bagi seluruh perempuan, termasuk dibentuknya UU tentang Pemilu yeng memperkenalkan tentang affirmative action, guna mendorong partisipasi perempuan dalam politik. Hingga saat ini masyarakat sipil dan organisasi-organisasi semakin menyadari pentingnya keterlibatan perempuan dalam semua proses pengambilan kebijakan, meskipun harus menempuh perjalanan yang panjang, perempuan semakin aktif dalam politik. Tentu saja keterlibatan perempuan dalam politik terus mengalami banyak tantangan dan perubahan, perempuan terus menghadapi hambatan sistematik dan steorotip yang membatasi partisipasi mereka dalam dunia politik. Meskipun demikian, di beberapa tempat, politik perempuan mengalami kemajuan yang signifikan dan berhasil memperoleh kekuasaan yang penting.
Berkaca pada Pemilu 2019, terdapat kendala dalam memastikan partisipasi politik yang lebih baik bagi perempuan. Meskipun terjadi peningkatan sebesar 20,8% keterwakilan perempuan di jumlah kursi legislatif, yaitu sebanyak 120 anggota dari total 575 anggota DPR-RI (KPU, 2019). Menurut saya, semua itu belum memberikan hasil yang memuaskan dalam pengambilan kebijakan responsif gender bagi masyarakat khususnya kelompok rentan yang masih menghadapi stigma dan diskriminasi.
Dalam menghadapi setiap pemilu, tidak lepas dari adanya kendala, termasuk pesepsi masyarakat mengenai peran perampuan dalam politik, kurangnya dukungan dari partai politik, dan diskriminasi gender yang terjadi didalam partai politik itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, misalnya kuota 30% dari total kandidat perempuan pada pemilihan legislatif berdasarkan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen dan posisi kepemimpinan politik. Meskipun kuota 30% pencalonan perempuan masih belum dimaksimalkan dengan baik.
Peningkatan kebijakan responsif gender dalam agenda pemilu 2024, perlu upaya yang lebih besar dibandingkan pemilu 2019. Namun faktanya, posisi perempuan dalam politik masih terbilang sulit, bahkan ada yang sampai dijadikan pelengkap demi memenuhi kebutuhan partai politik dalam pencalonan. Selain itu keberadaan PKPU No. 10 tahun 2023 dinilai tidak sejalan dengan konstitusi karena menghalangi pencapaian target afirmasi perempuan di parlemen. Ketentuan mengenai Pasal 8 ayat (2) tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota berpotensi membuat perempuan sebagai calon anggota legislatif di bawah 30% jumlah bakal calon perempuan pada tiap dapil menghasilkan pecahan, dilakukan pembulatan ke atas. Jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil perhitungan dilakukan pembulatan ke bawah, (Kompas, 2023). Peraturan semacam ini berpotensi mengurangi keterwakilan jumlah perempuan di parlemen.
Dalam mempersiapkan kebijakan responsif gender pemilu 2024, penting untuk memastikan pemilu dilakukan secara adil dan merata bagi semua warga negara serta menjamin bahwa hak politik adalah hak setiap individu. Pentingnya kebijakan responsif gender bertujuan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang adil terhadap sumber daya dan peluang politik. Upaya tersebut dapat dilakukan dalam beberapa aspek. Pertama, partisipasi perempuan dalam politik harus ditingkatkan, baik sebagai pemilih, penyelenggara maupun sebagai calon. Dalam hal ini, diperlukan langkah-langkah khusus dan dukungan semua pihak termasuk peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perempuan dalam politik baik dalam bentuk pelatihan maupun dukungan lainnya yang diperlukan terutama bagi mereka yang ingin mencalonkan diri. Kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu gender dan keadilan, tujuannya supaya dapat menghilangkan diskriminasi dan stereotipe yang berkaitan dengan politik perempuan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa semua pemilih, penyelenggara pemilu dan calon diperlakukan secara adil dan merata. Ketiga, Mendorong partai politik untuk mencalonkan lebih banyak perempuan sebagai calon, baik ditingkat daerah maupun pusat guna meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mengakomodasi kepentingan perempuan dalam kebijakan politik. Keempat, pastikan perempuan yang mencalonkan diri mendapatkan perlakukan yang adil dengan calon laki-laki dalam semua tahapan pemilu, termasuk mendapatkan hak yang adil dalam akses media dan dukungan finansial. Penting untuk diingat bahwa politik bukan hanya tentang jumlah, tetapi pengaruh dan suara dalam pengambilan keputusan. Kelima, tingkatkan perlindungan perempuan dalam politik, baik sebagai pemilih, penyelenggara maupun sebagai calon. Hal ini untuk melindungi perempuan dari kekerasan, ancaman dan intimidasi terkait dengan politik.
Dukungan dan kerjasama menjadi elemen penting mendorong partisipasi perempuan dalam politik guna mencapai perubahan yang signifikan. Kampanye sosial dan pendidikan masyarakat mengenai pentingnya partisipatif perempuan dapat membantu mengubah persepsi dan mengatasi stereotipe masyarakat terhadap perempuan. Negara harus memastikan implementasi kebijakan yang efektif dan program yang mendukung perempuan dalam politik dengan berbagai inisiatif, termasuk advokasi penghapusan diskriminasi gender dan memberikan kesempatan setara dalam kepemimpinan perempuan di berbagai tempat.
Kebijakan responsif gender untuk pemilu 2024 merupakan langkah yang tepat dalam memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan adil, merata dan transparan. Dalam konteks pengambilan kebijakan, nilai-nilai kesetaraan dan keadilan akan mengarah pada upaya memperbaiki ketimpangan yang ada di masyarakat. Dengan mengutamakan nilai-nilai tersebut, diharapkan bahwa semua proses pengambilan keputusan politik menjadi lebih representatif, inklusif dan adil bagi semua warga negara tanpa memandang gender.