Oleh: Musdah Mulia
Pendahuluan
Komitmen Indonesia dalam menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan gender terlihat sejak pemerintah meratifikasi dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berjudul: The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Indonesia ikut menandatangani konvensi ini, dan pada 24 Juli 1984 telah meratifikasinya melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Konvensi ini merupakan salah satu dari 8 konvensi terkait hak asasi manusia (HAM) yang diratifikasi Indonesia.
Selanjutnya, sebagai implementasi konvensi tersebut, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Pembangunan (Inpres PUG). Kemudian, pemerintah juga menandatangani kesepakatan internasional, Sustainable Development Goals (SDGs) yang di dalamnya terdapat tujuan pemenuhan kesetaraan gender dan norma-norma lainnya.
Gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan di berbagai bidang kehidupan. Strategi ini dimulai pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan, berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan, mempunyai kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan. Jadi, strategi ini bukan dimaksudkan untuk mengubah perempuan menjadi lelaki atau sebaliknya, melainkan agar keduanya memiliki kesamaan dalam akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat pembangunan.
Sejak tahun 2000, gender mainstreaming menjadi salah satu prinsip pokok pembangunan nasional di Indonesia. Hal ini menegaskan perlunya mengintegrasikan perspektif gender dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan. Kemudian, tahun 2012, pengarusutamaan gender menjadi salah satu komponen wajib dalam pengajuan rencana program pemerintah daerah. Secara spesifik, Bappenas dan Depdagri merekomendasikan bahwa tanpa adanya program berbasis gender dan anggaran responsif gender, dukungan finansial dari pemerintah pusat untuk pelaksanaan pembangunan di daerah tidak akan diberikan.
Implementasi pembangunan di semua bidang kehidupan, di samping memperhatikan prinsip gender mainstreaming, pemerintah tentu harus berpijak pada nilai-nilai luhur Pancasila yang merupakan ideologi negara dan menjadi panduan utama dalam seluruh gagasan dan aktivitas pembangunan. Untuk itu perlu menjelaskan bahwa gender mainstreaming selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Kajian filosofis Pancasila dengan pendekatan gender
Penting selalu diingat bahwa Pancasila merupakan salah satu sumber semangat untuk mencapai kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia. Tidak banyak yang tahu bahwa upaya perumusan Pancasila telah dimulai jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, yakni ketika sidang BPUPKI tanggal 28 Mei 1945-1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut muncul pertanyaan tentang dasar negara Indonesia. Para anggota sidang lalu menyampaikan sejumlah ide dan gagasan terkait apa dasar negara yang kemerdekaannya sudah di ambang pintu. Setidaknya, ada tiga tokoh yang menyampaikan pemikiran mengenai dasar negara, yaitu Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Namun, sidang tersebut belum menghasilkan konsensus di antara anggota sidang. Rumusan Pancasila baru diumumkan pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berhasil mencapai kata mufakat.
Dengan demikian, Pancasila resmi menjadi dasar negara Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Pancasila juga menjadi ideologi dan filosofi bangsa. Artinya, Pancasila merupakan cara pandang negara dan bangsa secara politik. Lalu, sebagai filosofi bangsa, Pancasila merupakan panduan moral dari setiap warga negara Indonesia.
Pancasila terdiri dari lima sila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika kita membaca Pancasila dengan optik kesetaraan dan keadilan gender akan nampak secara jelas bahwa seluruh sila dalam Pancasila mengandung prinsip kesetaraan dan keadilan gender.
Sumber Pancasila adalah kebudayaan masyarakat Indonesia dan pada dasarnya, budaya yang ada menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, khususnya nilai kesetaraan dan keadilan. Soekarno sendiri dalam bukunya berjudul Sarinah melihat bahwa bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yaitu tidak mengeksploitasi manusia lainnya.
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini mengandung nilai spiritualitas yang dalam. Bangsa Indonesia merupakan umat ber-Tuhan yang percaya dengan eksistensi Tuhan dan nilai-nilai spiritualitas. Negara memberikan kemerdekaan bagi semua warganegara untuk beragama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Jika negara memberi kebebasan kepada warga untuk beragama, berarti negara juga seharusnya memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk memilih tidak beragama. Sayangnya, prinsip ini belum dapat diterima mayoritas. Masih diperlukan upaya-upaya penguatan literasi agama bagi masyarakat.
Sebab, agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang sangat privat. Negara seharusnya menghargai privacy seorang warga. Namun, dalam implementasinya setiap warga harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku, misalnya aturan terkait kesusilaan, ketertiban, kesehatan dan keselamatan publik. Implementasi hak kebebasan beragama seseorang, tidak boleh menabrak kemerdekaan orang lain. Karena itu, dibutuhkan sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling membantu dan bekerjasama secara tulus dalam kehidupan keagamaan serta dalam upaya-upaya membangun spiritualitas bangsa.
Dalam kaitan dengan nilai spiritualitas ini, semua agama dan kepercayaan yang tumbuh kembang di negeri tercinta ini mengajarkan bahwa manusia terdiri setidaknya dari dua jenis gender, yakni lelaki dan perempuan. Keduanya merupakan makhluk Tuhan yang memiliki harkat dan martabat dan posisinya setara di hadapan Tuhan. Karena itu, tidak boleh ada perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan berbasis apa pun, termasuk berbasis agama dan keyakinan terhadap salah satu jenis gender, baik itu lelaki maupun perempuan. Sila ini mengingatkan kita pada ajaran esensial semua agama dan kepercayaan untuk memuliakan sesama tanpa ada sekat-sekat gender, jenis kelamin, suku, warna kulit, bangsa dan sejumlah ikatan primordial lainnya. Menghargai manusia berarti kita menghargai sang pencipta manusia, yang kita sebut dengan Tuhan.
Sebagai agama mayoritas, Islam mendukung prinsip kesetaraan dan keadilan gender bagi umatnya. Al-quran, Surat Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa Allah swt menciptakan semua manusia dalam posisi setara. Allah swt hanya menilai manusia berdasarkan kualitas ketakwaannya. Karena itu, tidak ada kelompok atau gender tertentu lebih superior dari lainnya. Keutamaan manusia hanya terlihat dari kualitas takwanya. Bukan hanya Islam, melainkan agama dan kepercayaan lain pun meyakini bahwa perempuan adalah setara dengan lelaki, baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai warga negara penuh.
Sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini mengandung nilai kemanusiaan universal yang sangat kuat. Hal itu menunjukkan bahwa negara dan bangsa Indonesia menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Selain itu, sila ini juga mendorong kebebasan fundamental, kesetaraan di depan hukum, persamaan kesempatan dalam mengakses bidang sosial dan politik, keterbukaan, dan perlindungan dari diskriminasi atas dasar gender.
Setiap manusia apa pun jenis kelamin dan gendernya berhak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, baik dari negara, oknum pemerintah dan juga dari sesama warga dalam bentuk apa pun terhadap seorang warga negara. Merujuk pada dokumen HAM yang paling utama, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, semua individu terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, ideologi politik dan lain sebagainya berhak untuk diperlakukan secara manusiawi, dilindungi hak-haknya yang paling mendasar dan menikmati segala bentuk pemenuhan HAM, termasuk tidak mengalami diskriminasi.
Sila ketiga yaitu persatuan Indonesia. Sila ini mengandung nilai persatuan, perdamaian dan persaudaraan yang mendorong adanya kesetaraan dan keadilan gender bagi seluruh warga, termasuk perempuan. Persatuan bangsa Indonesia akan tetap lestari manakala semua individu merasakan keadilan dan perlakuan setara, tanpa diskriminasi apa pun. Karena itu, negara penting mengimplementasikan nilai inklusivitas, keterbukaan yang penuh toleransi dan keharmonisan agar seluruh warga merasakan satu perasaan yang sama, yaitu bangsa Indonesia. Perilaku dan kebijakan publik yang eksklusif, intoleran dan diskriminatif terhadap perempuan dapat melahirkan konflik yang memecah-belah persatuan bangsa. Dengan demikian, sistem patriarkis yang merendahkan perempuan dan perannya harus dihapuskan.
Sila keempat adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila ini mengandung nilai demokrasi yang sangat konkret, yakni unsur permusyawaratan dan perwakilan. Sila ini jelas mendorong kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan Indonesia. Sila tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara demokratis dan kekuasaan dalam pemerintah Indonesia harus diraih melalui musyawarah dan merupakan wujud perwakilan seluruh kelompok dari rakyat Indonesia. Di sinilah pentingnya memastikan keterwakilan atau representasi perempuan dalam semua aspek pembangunan.
Terakhir, Sila Kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila terakhir tersebut secara eksplisit mendorong hadirnya masyarakat yang adil tanpa diskriminasi berbasis apa pun terhadap suatu kelompok tertentu, termasuk kepada perempuan. Seluruh warga negara harus mendapatkan hak yang sama dalam akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat pembangunan. Tentu tidak mudah membangun masyarakat yang adil, tetapi inilah tujuan kita berbangsa dan bernegara. Karenanya, seluruh elemen masyarakat penting terlibat secara proaktif membantu pemerintah mewujudkan cita-cita luhur tersebut.
Upaya mewujudkan sila kelima yang merupakan inti Pancasila dan cita-cita luhur bangsa masih jauh dari harapan, meski kita sudah merdeka hampir 80 tahun. Penyebabnya, antara lain masih dijumpai aturan dan kebijakan bias gender, dan anggaran program yang tidak responsif gender. Selain itu, masih tingginya kasus-kasus korupsi, nepotisme dan oligarki serta menguatnya politik dinasti sehingga kekayaan negara hanya dinikmati segelintir orang. Mereka umumnya adalah para penguasa, keluarga dan kroninya yang menerapkan pola hidup hedonistik, individualistik dan materialistik! Mereka inilah musuh sejati Pancasila. Mereka bukan hanya menyakiti rasa keadilan dan kemanusiaan, melainkan juga mencemari serta merusak lingkungan dan sumber daya alam yang dampak negatifnya paling banyak dirasakan kaum perempuan dan anak-anak.
Kajian filosofis terhadap Pancasila memperlihatkan bahwa kelima sila Pancasila mendukung keadilan dan kesetaraan bagi semua warga negara, termasuk perempuan Indonesia. Prinsip ke-Tuhan-an, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial secara ideal mendorong penciptaan bangsa Indonesia yang adil, setara dan sejahtera. Hanya dengan adanya kesetaraan dan keadilan, dapat diwujudkan masyarakat Indonesia yang maju, sejahtera, berkeadilan dan berkeadaban. Kondisi ini telah dibuktikan oleh negara-negara maju di dunia, seperti negara-negara di Skandinavia (Eropa Utara).
Dampak implementasi gender mainstreaming
Tekad pemerintah mengimplementasikan gender mainstreaming di semua bidang pembangunan membuahkan hasil yang cukup signifikan. Kehidupan perempuan Indonesia pasca Reformasi 1998 mengalami sejumlah kemajuan, antara lain terlihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik. Dijumpai satu bab khusus membahas tentang hak asasi manusia (HAM), yaitu Bab XA, Pasal 28A hingga Pasal 28J. Pasal-pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang berhak menikmati HAM-nya masing-masing. Penggunaan frasa setiap orang, jelas menunjukkan bahwa negara memandang posisi semua warga negara setara. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap perempuan untuk alasan apa pun.
Negara memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk menikmati semua hak dan kesempatan yang ada. Sebagai contoh, Pasal 28C, Ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri, mendapatkan pendidikan, dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya. Artinya, negara melihat posisi perempuan sederajat dengan lelaki dalam posisi sebagai warga negara.
Selain itu, negara juga sadar bahwa terdapat hambatan sistematis pada beberapa kelompok, termasuk perempuan sehingga pemerintah perlu melakukan amandemen terhadap Pasal 28H, ayat 2, yang memperbolehkan kebijakan afirmasi. Kebijakan afirmasi diperlukan bagi perempuan untuk mengejar ketertinggalan mereka akibat pengaruh budaya patriarkhi yang merendahkan perempuan selama ini. Adalah fakta bahwa sepanjang sejarah manusia, perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan oleh sistem dan budaya patriarkhi yang berlaku dalam masyarakat.
Kebijakan afirmasi untuk mendorong representasi perempuan dalam politik Indonesia terlihat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang mengatur tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Ketiga undang-undang tersebut mendorong peningkatan representasi perempuan dalam bidang politik.
Kemajuan perempuan Indonesia semakin terlihat dengan berdirinya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada Oktober 1998. Pasca reformasi pun, mulai muncul berbagai gerakan sosial yang berbasis pada Lembaga Swadaya Masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sipil dalam proses pembangunan, termasuk perempuan itu sendiri.
Dengan semakin terbukanya ruang publik dalam proses demokratisasi Indonesia, kini gerakan perempuan memiliki kesempatan lebih luas untuk saling bertukar pikiran dan menentukan substansi gerakan mereka. Mereka kini menjadi aktor utama bagi gerakannya sendiri, bukan hanya bagian dari afiliasi agenda politik atau gerakan politik lainnya.
Meskipun sejumlah kemajuan telah dicapai, dan sistem patriarki mulai tergerus, tetapi dampak yang dihasilkan terus hadir sepanjang generasi dalam beragam bentuk. Hal itu masih terlihat dalam bentuk peraturan dan kebijakan publik yang bias gender, tafsir agama yang misoginis, norma-norma hukum dan nilai-nilai tradisi yang masih merendahkan perempuan.
Kesimpulan
Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu isu penting yang dihadapi oleh dunia, termasuk Indonesia. Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, mengandung nilai-nilai spiritualitas, kemanusiaan, keadilan, demokrasi dan keberadaban yang mendorong pengakuan dan perlakuan setara dan adil bagi semua warga negara, termasuk laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila menjadi landasan kuat untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia karena mengandung nilai-nilai luhur yang mendukung prinsip kesetaraan dan keadilan bagi semua warga negara tanpa membedakan jenis kelamin dan jenis gender. Nilai-nilai dimaksud antara lain: persamaan hak dan kewajiban, persamaan akses dan kesempatan, serta persamaan perlakuan bagi semua warga negara tanpa kecuali. Nilai-nilai tersebut seharusnya dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dengan ungkapan lain, Pancasila merupakan landasan pijak bagi upaya gender mainstreaming di Indonesia. Tentu upaya implementasinya sangatlah tidak mudah, mengingat sejumlah kendala menghadang di depan mata, antara lain berupa budaya patriarkhi, tafsir agama yang misoginis, norma-norma hukum yang masih bias gender dan adat tradisi yang masih merendahkan perempuan. Akibatnya, masih dijumpai sejumlah diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Karena itu, upaya gender mainstreaming perlu semakin diperkuat. Penting bagi semua pihak, bukan hanya perempuan, untuk ikut berjuang dalam menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Strategi gender mainstreaming harus diimplementasikan, bukan hanya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, melainkan juga semua kementerian dan lembaga di negeri ini. Bahkan, juga oleh seluruh NGO, korporasi dan organisasi yang ada.
Unduh materi presentasi Pancasila dan Gender Mainstreaming klik -> disini