|

Muslimah Reformis

Penguatan Spiritual Melalui Ibadah Haji

Pernahkah anda menginginkan sesuatu yang tampaknya amat mustahil, tapi hal yang diinginkan itu tiba-tiba terwujud begitu saja tanpa usaha!

Saya bersyukur telah menunaikan ibadah haji berulang kali, meski yang wajib hanya sekali. Setelah haji yang pertama, saya berulang kali kembali ke tanah suci, beberapa kali untuk haji dan beberapa kali lainnya hanya ibadah umrah, jumlahnya tak perlu ditulis di sini. Namun, tak satu pun perjalanan haji dan umrah itu menggunakan biaya sendiri, alhamdulillah.

Saya tetap meyakini bahwa cukup sekali saja ibadah haji yang wajib, berikutnya hanyalah sunah. Jika seseorang punya rezeki banyak dan uangnya berlebih, saya menyarankan agar uang itu lebih manfaat digunakan untuk kepentingan sosial, ketimbang memuaskan hasrat berhaji berkali-kali. Saya berhaji berulang-kali karena juga ada tugas penelitian, menerima hadiah sahabat dan memenuhi janji mengantarkan orang tua.

Berikut ini, saya akan menjelaskan tiga macam bentuk perjalanan haji yang saya alami, yaitu haji reguler, haji terjun sendiri dan haji eksklusif yang biayanya selangit. Namun, yang terakhir ini bukan karena saya punya banyak uang melainkan hadiah dari sebuah travel haji dimana suami saya bertugas puluhan tahun sebagai pembimbing ibadah.

Pertama, haji reguler, yaitu perjalanan haji yang sepenuhnya dikelola pemerintah, tak ada campur tangan swasta. Pengalaman banyak orang menunjukkan, haji reguler ini lebih banyak kesulitan ketimbang kenyamanannya. Tapi, semua itu tergantung pribadi yang menjalaninya, jika ia berlapang dada tentu menjalaninya dengan bahagia, begitu sebaliknya. Ini bukan berarti ketika berhaji tidak boleh komplain dan kritik. Bagi saya, kritik membangun itu penting agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.

Kedua, haji “terjun sendiri” adalah bentuk perjalanan haji dimana semua urusan keberangkatan, seperti pasport dan visa,  transportasi, akomodasi dan konsumsi selama berhaji diurus sendiri, sama sekali tak terikat dengan pelayanan pemerintah.

Ketiga adalah haji eksklusif dengan biaya selangit. Ini pengalaman saya berhaji bersama perusahaan travel yang sungguh memanjakan jemaahnya dengan pelayanan yang eksklusif sehingga saya merasakan perjalanan ini lebih tepat disebut wisata kemewahan ketimbang perjalanan religius.

Berikut adalah kisah-kisah perjalanan haji saya, juga renungan saya tentang ibadah haji.

  1. Mendapat Undian Haji, 1992

Betul juga kata orang, pergi haji itu tidak selamanya karena punya uang, beberapa karena sepenuhnya takdir Tuhan.

Setidaknya itulah yang terjadi pada saya. Saat itu saya adalah mahasiswi program S2 UIN Jakarta, satu-satunya perempuan dari 14 orang seangkatan. Salah satu dosen, Prof. Dr. Munawir Syadzali (Menteri Agama ketika itu) mengajar materi Pemikiran Politik Islam. Beliau punya tradisi mengadakan undian jatah petugas haji untuk mahasiswanya pada akhir perkuliahan. Inilah momen yang ditunggu mahasiswa. Agar adil, beliau memberikan jatah itu melalui undian.

Siapa nyana, pada undian kali ini, nama saya muncul! Waktu diumumkan, saya seperti terbang ke langit saking gembiranya. Ya Allah, mimpi saya pergi haji segera terwujud!

Sejak tiga bulan sebelumnya, suami saya, Ahmad Thib Raya— saya memanggilnya Kak Thib– bersama adik dan tiga iparnya telah mempersiapkan keberangkatannya pergi haji secara reguler. Mereka telah sibuk mengurus berbagai keperluan haji dan saya cuma bisa menonton dengan rasa sedih karena tidak cukup dana untuk ikut. Namun, Tuhan berkata lain, tanpa diduga, saya pun mendapat kesempatan pergi haji!

Hm.., tapi jatah undian itu kan sebetulnya untuk petugas haji? Dan saat itu semua petugas haji harus lelaki! Belum dikenal petugas haji perempuan!

Keesokan harinya, kami berdua pemenang undian haji pergi melaporkan diri ke kantor Kemenag bertemu Dirjen Haji. Pak Dirjen terkejut mengetahui saya salah satu penerima undian. Beliau langsung menelpon Menteri dan terdengar jawaban singkat, “Usahakan Musdah berangkat, mungkin bukan sebagai petugas.”

Jawaban itu amat melegakan hati saya.  Sebulan kemudian, saya mendapat konfirmasi berangkat haji sebagai undangan VIP beserta beberapa undangan Menteri yang jumlahnya tak lebih dari 12 orang.  Maha Suci Allah, jika Dia berkehendak, tidak ada yang mustahil.

Masalahnya, apakah etis saya pergi haji dengan fasilitas VIP, sementara Kak Thib  dan keluarga hanya  menggunakan fasilitas haji reguler. Masa sih saya dan suami pergi haji  secara terpisah, padahal ini haji yang pertama buat kami berdua? Demikian sejumlah pertanyaan serasa menghakimi diriku. Suami dan saya memikirkan cara terbaik memecahkan masalah ini. Pelaksanaan haji VIP hanya berlangsung selama 12 hari, sedangkan haji reguler 41 hari. Mustahil suami bisa gabung dengan saya karena fasilitas haji VIP sangat terbatas dan sudah penuh kuotanya. Jalan yang mungkin adalah saya pindah ke haji reguler.

Saya dan suami menghadap Pak Dirjen meminta kepindahan tersebut. Pak Dirjen dengan mata membelalak mengatakan: “Musdah apa kamu ngerti, fasilitas haji VIP ini sangat istimewa.

“Pak Dirjen saya mengerti, tapi bagi saya, gabung bersama suami menjalankan ibadah haji rasanya jauh lebih mulia,” sahut saya berkeras. Beliau pun luluh dan membuatkan nota khusus untuk saya.

Tibalah hari pemberangkatan, suami, saya dan rombongan keluarga masuk Asrama Haji dan di karantina di sana selama tiga hari sebelum berangkat.

Selama di asrama haji, kegiatan kami hanyalah beribadah, shalat berjamaah lima waktu dan selebihnya mendengarkan ceramah dan dakwah. Rasanya kami dicekoki ceramah beruntun, pagi, siang dan malam. Umumnya, konten ceramah lebih banyak berupa dakwah agar jemaah lebih taat, lebih sabar, lebih solidaritas, tidak komplain, tidak berdebat apalagi sampai bertengkar, harus pasrah dengan berbagai kesulitan yang nanti dijumpai, utamanya ketika di tanah suci. Sebab, semua yang akan kita temukan di sana merupakan potret dari kehidupan kita di tanah air. Jika kecopetan, artinya kamu kurang sedekah atau kurang zakat. Jika perempuan mengalami pelecehan itu indikasi perempuan nakal. Wah, seramnya!

Menurut saya, ceramah yang disampaikan selama karantina itu seharusnya fokus pada upaya pembekalan calon jemaah haji. Jadi selain dibekali pemahaman keagamaan yang benar untuk peningkatan kualitas takwa, sebaiknya juga menyinggung hal-hal teknis dan praktis, seperti bagaimana etika dan menjaga kebersihan selama di pesawat, di pondokan dan selama berada di tanah suci.

Menjaga kesehatan dengan pola makan yang sehat dan bergizi, tidur yang cukup, minum air putih yang banyak, jangan banyak terpapar matahari karena musim panas yang sangat menyengat akan menyebabkan dehidrasi, cara mendapatkan pertolongan medis dalam kondisi darurat dan seterusnya. Membekali trik mencari tempat yang nyaman di dalam mesjid yang luas itu serta apa yang harus dilakukan jika nyasar atau terpisah dari rombongan. Penjelasan singkat tentang kota Mekkah dan Madinah serta hal-hal terkait budaya dan tradisi masyarakat Arab.

Sedihnya di tahun 1992, pelayanan haji Indonesia masih sangat buruk!  Betul kata orang bijak, mudah sekali mengeksploitasi manusia dengan topeng agama.

 

  1. Pergi Haji Mandiri, 1993

Tahun 1993 saya menikmati perjalanan haji kedua dengan cara ini.  Sungguh ini terasa lebih nikmat karena lebih bebas memilih dan lebih fleksibel dalam hal apa pun. Ceritanya, suami dan saya mendapatkan izin dan dana penelitian disertasi ke Mesir dan itu terjadi persis di musim haji. Kami pikir, sekalian saja mampir berhaji lalu ke Mesir.

Namun ternyata tidak semua rencana kami berjalan mulus, setibanya di Mekah ternyata semua gedung sudah full disewa jemaah haji, tidak ada lagi yang tersisa. Hari sudah menjelang malam dan kami belum juga menemukan tempat yang pasti untuk berteduh dan menginap.

Dalam keputusasaan tersebut, tiba-tiba teman yang bertemu di jalan berkata: “kamu berasal dari suku Bugis? Tidak jauh dari sini ada gedung milik Syekh Gani Bugis. Dia pengusaha sukses, memiliki sejumlah gedung untuk jemaah haji, pastilah punya ruangan cadangan untuk kalian berdua, kata teman tadi.

Saya ingat nenek saya pernah menyebut kerabatnya bernama Syekh Hasan Bugis bermukim di Mekkah sejak kecil, semoga itu keturunan beliau.

Dengan penuh kegembiraan kami berjalan menuju tempat syekh dimaksud, pucuk dicinta ulam tiba, Syekh itu sendiri menyambut kami. Seperti sudah mengenali kami, dia langsung menyapa dengan bahasa Bugis dan suasana pun mencair. Dia putera Syekh Hasan Bugis, kerabat nenek saya. Sangat aneh, saya baru saja mengenalnya tapi rasanya seperti sudah lama bertemu. Beliau menanyakan hal ihwal keadaan keluarga kami di kampung. Beliau tak bisa berbahasa Indonesia, tapi lancar bahasa Bugis.

Kami langsung diberikan kunci ruangan yang sangat besar untuk ukuran kami berdua, Alhamdulillah. Inilah haji terindah saya rasakan karena terbebas dari semua ikatan dan aturan seperti dalam haji reguler. Bukan hanya itu, setiap malam usai shalat Isya, mobil dan supir Syekh Gani sudah menunggu di depan gedung untuk mengantar kami menikmati makan malam yang sudah disiapkan di restoran terkenal di luar kota Mekkah, dan itu sudah dibayar oleh Syekh Gani.

Kami juga dibawa berkeliling kota dengan menumpang mobil Syekh sehingga bisa melintas batas daerah terlarang bagi jemaah haji reguler. Kami menikmati pemandangan kota-kota di sekitar Mekah, melihat glamornya istana para pangeran Arab, menyaksikan taman-taman kota yang indah serta perkebunan kurma yang rimbun. Setelah enam hari di tanah suci, setelah semua kewajiban haji ditunaikan, kami terbang ke Kairo untuk tugas penelitian.

  1. Perjalanan Haji Termahal 2013

Tahun 2013 saya diajak suami melakukan haji dengan fasilitas eksklusif oleh sebuah perusahaan travel haji dimana suami bertugas. Perjalanan haji kali ini bergelimang kemewahan.

Mulai dari Jakarta, kami ditempatkan di lounge mewah bandara. Sampai di Jedah kami tak mengalami kesulitan antri dan sebagainya seperti jemaah reguler, langsung berangkat ke Mekah dan menginap di hotel termewah persis di depan ka’bah. Lantai dua hotel ini sengaja dibuat sebagai tempat shalat berjamaah dengan seluruh dinding terbuat dari kaca tembus pandang sehingga jemaah dapat melihat jelas imam shalat di Masjid Haram, seolah menyatu dengan jemaah di depan baitullah.

Makanan pun berlimpah. Meski hotel berbintang lima ini sudah menyiapkan segalanya, namun pihak travel masih menyediakan makanan tradisional seperti nasi uduk, pecal  Madiun, gado-gado Boplo, soto Madura dan sebagainya. Terkadang saya merasa miris melihat orang-orang mengambil makanan begitu banyak, tapi nanti tersisa dan tidak habis. Hal itu sangat kontradiksi dengan ajaran Rasul agar makan sekadarnya, jangan berlebihan dan jangan mubazir.

Berangkat ke Arafah dengan mobil khusus, dikawal polisi lalu lintas yang mengaung-ngaung sehingga bebas hambatan.  Seorang teman sampai  berkomentar, “Hebat kali travel ini! Semua dapat dibelinya, polisi Arab pun dibeli, hanya Tuhan yang tidak mampu dibelinya.”

Namun sepanjang perjalanan ke Arafah, hati saya seperti tercabik-cabik perih, betapa tidak, di kiri-kanan jalan, saya melihat jemaah haji terseok-seok berjalan berdesakan, sementara mobil kami dengan pengawalan polisi dapat melintasi jalan padat itu dengan mudah. Ini tidak adil, saya membatin!

Tiba di Arafah, kami ditempatkan di tenda khusus yang penuh dengan kemewahan. Seluruh dinding tenda dipenuhi lemari pendingin yang berisikan buah, makanan dan minuman. Setiap saat jemaah dapat menikmati makanan tersebut. Lantai tenda kami berupa permadani yang sangat tebal dan begitu lembut terasa di telapak kaki, kursi dan meja untuk makan diatur persis seperti di hotel bintang lima, persedian air sangat berlimpah.

Saya menyibak ujung tenda melihat keluar, Ya Allah dari kejauhan saya melihat jemaah haji reguler sedang antri makanan dalam panas yang terik. Saya kemudian mendengar setelah kembali ke tanah air bahwa ketika itu terjadi keterlambatan pengiriman makanan sehingga jemaah kelaparan.

Saya merasa ada yang hilang dari perjalanan haji ini, yaitu ketenangan batin dan kepuasan kontemplasi.

Tujuan hakiki ibadah haji

Umumnya umat Islam meyakini haji adalah rukun Islam kelima, setelah syahadat, shalat, zakat, dan puasa. Idealnya, ibadah haji dilaksanakan setelah ibadah lainnya sudah mantap. Artinya, sudah mengimplementasikan tuntunan syahadat, yaitu menghayati makna tauhid dalam seluruh aspek kehidupan, konsisten menegakkan shalat, tidak alpa mengeluarkan zakat dan berpuasa Ramadan. Idealnya demikian.

Berbeda dengan ibadah lain, kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, itupun bagi yang mampu, baik fisik dan finansial. Jadi, jika seseorang sudah menunaikan haji dan punya kelebihan harta, sebaiknya digunakan untuk kepentingan sosial. Ibadah sosial seperti membuka lapangan kerja bagi penganggur, memfasilitasi pendidikan gratis bagi anak-anak tidak mampu, pengobatan gratis buat fakir-miskin, melepaskan anak-anak jalanan dari cengkeraman mafia kekerasan, menyediakan fasilitas layanan bagi lansia dan kelompok difabel, serta menolong kelompok tertindas hukumnya wajib, sementara berhaji untuk yang kedua dan seterusnya hanya sunat. Jutaan umat Islam di Indonesia didera kemiskinan, buta huruf, busung lapar, malnutrisi buruk, mengalami eksploitasi dan ketiadaan proteksi.

Namun, karena kenaifan, kebanyakan kita lebih memilih amalan sunat, bukan wajib. Buktinya, tidak sedikit pergi haji berulang kali, bahkan dengan biaya sangat mahal. Mengherankan sekali bahwa jumlah haji meningkat signifikan, sementara tingkat kemiskinan dan kriminalitas tidak berkurang, bahkan semakin merajalela.

Pandangan sebagian masyarakat yang melihat tanah suci sebagai tempat peleburan dosa adalah sangat keliru. Pandangan demikian dapat menyesatkan karena orang lalu mudah terjerumus berbuat jahat, toh nanti ada tempat cuci dosa. Tuhan tak ubahnya dianggap sebagai mesin cuci yang dapat disetel untuk mencuci dosa.

Tuhan memang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun, namun sifat Tuhan yang demikian itu jangan dimanfaatkan untuk melakukan dosa dan kesalahan. Malah sebaliknya, karena Tuhan begitu pemaaf, maka manusia harus lebih mengedepankan perilaku lebih taat dan menjauhi semua perbuatan yang menyeret kepada dosa. Yang harus dibangun, kesadaran religius bahwa setiap ibadah individual harus diimbangi ibadah sosial sehingga terwujud dalam masyarakat, bukan hanya kesalehan individual, melainkan  juga kesalehan sosial dan yang terakhir itu lebih diharapkan dalam agama.

Apa sih tujuan haji? Sebagaimana ibadah lain, tujuan akhir haji adalah memanusiakan manusia. Indikasinya, tekun beribadah, berempati kepada sesama, terutama kelompok tertindas, miskin, marginal dan minoritas yang dalam terma Islam disebut mustadh’afin, serta selalu peduli pada kelestarian alam. Itulah haji mabrur. Mabrur dapat diraih manakala seluruh ritual haji dihayati maknanya dengan seksama untuk  kemudian diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat. Haji mabrur sangat tergantung pada niat.

Ibnu Jauzy meriwayatkan bahwa Rasul pernah mengingatkan soal niat haji. Rasul SAW menyebut ada banyak motivasi manusia dalam berhaji, tidak semua murni untuk ibadah. Sebagian orang pergi haji demi kepentingan bisnis, sebagian lain demi meningkatkan status sosial. Tidak sedikit pula yang bertujuan untuk promosi jabatan dan pangkat. Disinyalir ada orang pergi haji karena narsis dan ingin dipuji. Ada juga berhaji sekedar wisata, dan bahkan dijumpai orang berhaji untuk mengemis. Tidak heran, perilaku jemaah haji sangat beragam sesuai motivasinya.

Thawaf simbol egalitarian, pluralisme, dan demokrasi sejati

Ibadah paling penting di Masjid al-Haram adalah thawaf mengitari baitullah. Ada beragam jenis: thawaf qudum, thawaf umrah, thawaf haji, thawaf wada’, thawaf sunat. Ritual ini menyimbolkan makna hidup sesungguhnya. Hidup tak ubahnya suatu putaran, memiliki awal dan akhir. Tidak ada hidup selamanya, semua yang hidup pasti berakhir dengan kematian. Hidup ini berputar mengitari pusaran takdir Tuhan. Semua manusia lebur pada takdir-Nya, dan hanya Dia yang berkehendak.

Hakikat thawaf mengajarkan prinsip persamaan sejati di antara sesama manusia. Semua orang, tanpa melihat usia, jenis kelamin, jenis gender, status sosial, orientasi seksual, kebangsaan, ras dan warna kulit, bahkan aliran apa pun dapat berjalan seiring tanpa sekat sedikit pun, tidak ada posisi imam dan makmum, tidak ada pimpinan dan bawahan. Semuanya menyatu dalam pusaran tunggal mengharapkan keridhaan Tuhan. Thawaf esensinya adalah ajaran toleransi, pluralisme, dan demokrasi sejati.

Aturannya, thawaf dilakukan dengan penuh kasih sayang dan rasa cinta pada sesama sehingga tidak mengganggu, apalagi menyakiti. Berjalan dengan teratur dan tertib diliputi rasa damai, penuh persaudaraan. Indah sekali. Tetapi, dalam prakteknya banyak orang dirasuki perilaku iblis. Akibatnya, tidak jarang terlihat pemandangan saling sikut, saling desak, dan saling dorong dengan penuh kemarahan. Bahkan, ditemukan juga kekerasan seksual dan korbannya terutama perempuan. Bukan hanya itu, sejumlah orang melapor kecurian dompet, uang, dan barang berharga  ketika thawaf. Itulah kebiadaban manusia, meski berada di “rumah Tuhan” masih saja tergoda berbuat maksiat.

Selain thawaf, pelaksanaan ibadah shalat di depan Baitullah sangat mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, persamaan, dan pluralisme. Semua orang -tanpa melihat usia, jenis kelamin, jenis gender, orientasi seksual, warna kulit, status sosial, ras dan suku, bahkan juga pemahaman agamanya- dapat berdiri berdampingan tanpa sekat apa pun. Kecuali posisi imam, tidak ada aturan siapa di depan dan di belakang. Laki dan perempuan bercampur baur sedemikian rupa tanpa sekat apa pun. Keduanya dapat berdiri sejajar di mana saja: depan atau belakang, kanan atau kiri.

Ritual sa’i mengabadikan perjuangan perempuan

Ibadah wajib lainnya adalah sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Sa’i merupakan napak tilas mengenang perjuangan seorang perempuan perkasa dan sangat tegar bernama Siti Hajar, ibu Nabi Ismail, isteri Nabi Ibrahim.

Di mata manusia, Hajar hanyalah perempuan biasa, berkulit tidak putih dan dari kalangan budak. Sebaliknya di mata Tuhan, dia adalah pahlawan, pelestari kehidupan yang dari rahimnya mengalir darah suci para Nabi, termasuk Nabi agung Muhammad saw. Ritual sa’i mengabadikan perjuangan Hajar ketika mondar-mandir di padang gersang mencari setetes air demi kelangsungan hidup Ismail yang masih bayi. Sayangnya, dalam sejarah agama, nama Hajar tenggelam dibalik kebesaran figur Ibrahim dan Ismail. Begitulah karena penulis sejarah yang nota bene kebanyakan laki-laki sering memandang kecil kiprah perempuan. Perjuangan dan aktivitas perempuan seringkali hanya dilihat sebagai komplementer, bukan arus utama.

Ritual sa’i mengingatkan umat Islam bahwa perempuan adalah subyek penting dan sumber kehidupan. Sa’i menolak tuntas pandangan stereotip bahwa perempuan lemah dan tidak mandiri. Sangat disayangkan, pesan kemanusiaan universal ini tidak banyak dihayati umat Islam. Pantaslah, jika posisi perempuan di berbagai wilayah Islam masih sangat marginal dan sangat tidak menggembirakan. Di hadapan Tuhan nilai kemanusiaan perempuan dan laki adalah setara. Sebaliknya, di hadapan manusia, perempuan masih dianggap sekadar obyek seksual. Sangat ironis!

Wukuf sebagai puncak penghayatan jati diri manusia

Tahapan haji paling inti adalah wukuf di Arafah. Arafah artinya pengakuan jati diri. Di sini semua orang berkumpul, lebur menjadi satu untuk mengakui secara sadar jati diri sebagai hamba dan makhluk yang sangat kerdil, lemah dan rapuh. Pengakuan ini diharapkan mampu mengikis semua sikap dan perilaku manusia yang egois, narsis, dan arogan.

Wukuf juga mengandung pesan solidaritas, manusia harus membangun solidaritas di antara sesama demi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan universal  berupa perdamaian, persaudaraan, keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Umat Islam harus mengedepankan solidaritas, bersinergi membangun net-working, saling menolong dan bekerjasama mewujudkan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah insaniyah demi kemajuan dan kesejahteraan seluruh manusia dan alam semesta. Mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.

Makna wukuf yang demikian indah sering luput dari penghayatan. Mengapa? Wukuf mestinya dilakukan dalam suasana hening sehingga kita dapat berkontemplasi menghayati eksistensi kita sebagai hamba Tuhan yang kerdil.

Faktanya, pada saat-saat wukuf justru terjadi lomba pidato dan ceramah. Setiap tenda berlomba menggunakan pengeras suara sebesar-besarnya sehingga terdengar suara hingar-bingar di tengah gurun sahara. Kritik terhadap penggunaan alat pengeras suara secara berlebihan di tempat-tempat ibadah sudah sering dilontarkan. Idealnya, setiap tenda cukup memasang seperlunya, sebatas terdengar oleh penghuni tenda itu saja sehingga tidak mengganggu penghuni tenda lain.

Tambahan lagi, materi ceramah umumnya tidak fokus, melainkan sangat luas dan pesannya menjadi kabur. Mestinya, topik dakwah yang dipilih menyangkut persoalan sosial kontemporer yang riil dihadapi umat Islam, baik di level nasional maupun internasional, misalnya isu kemiskinan, eksploitasi buruh migran, krisis pangan, pemanasan global, dan kekerasan berbasis agama serta terorisme. Adapaun di tingkat nasional, antara lain isu korupsi, kemiskinan dan pengangguran, kejahatan perdagangan manusia, kejahatan politisasi agama,  dan kekerasan terhadap perempuan.

Agama harus memberikan solusi terhadap persoalan sosial kontemporer yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, kalau tidak, lalu untuk apa kita beragama?

Akhir dari ritual haji adalah melakukan tahallul, yaitu memotong rambut, bisa sedikit saja, bisa pula seluruhnya (gundul) sebagai pernyataan ritual telah usai. Memotong rambut merupakan simbol pemutusan diri dengan segala dosa dan kesalahan di masa lalu. Harapannya, jangan lagi terulang di masa depan.

Nabi menjanjikan bahwa para haji yang mabrur akan kembali suci seperti ketika ia dilahirkan. Bagi saya, kesucian dan mabrurnya haji seseorang terlihat setelah selesai haji, yaitu sejauh mana ia mampu merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan universal dalam kehidupan nyata, baik di keluarga maupun dalam masyarakat luas.

Kasus kriminal dan kekerasan menodai kesucian haji

Meskipun ritual haji terkait erat dengan ajaran pemuliaan terhadap perempuan, tapi kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan tetap saja terjadi. Beberapa kasus kekerasan dilaporkan terjadi ketika thawaf. Ada dua  ibu menceritakan bagaimana anak gadis mereka menjadi sangat shock karena diraba-raba dari belakang ketika sedang melaksanakan thawaf. Bahkan, beberapa ibu menjelaskan dengan penuh kemarahan tentang perilaku menjijikkan yang mereka alami di depan baitullah.

Mengapa kasus-kasus pencurian, kriminalitas dan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kegiatan haji tidak banyak terungkap? Problem utama adalah doktrin dan mitos yang selalu didoktrinkan kepada jamaah haji bahwa semua hal yang dialami di tanah suci merupakan gambaran dari karma manusia. Karenanya, jamaah biasanya menerima saja perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi tersebut sebagai sebuah karma, dipercaya sebagai balasan dari perilaku jahat kita sebelumnya.

Akibatnya, tidak ada keinginan mengusut dan menghukum pelaku kriminal. Sebab, jika seseorang melapor dicopet atau uangnya dicuri di pondokan, alih-alih ditolong, malah sebaliknya dia dinasehati agar tidak protes, diminta sabar dan jangan mengeluh, nanti hajinya batal. Anda dicopet karena pelit, kurang sedekah, kurang zakat dan sebagainya. Korban malah mendapatkan stigma dan bullying.

Kalau seorang perempuan melapor mengalami pelecehan seksual, maka kepadanya dikatakan: wahh.. itu balasan atas dosa kamu sebelumnya, jadi syukurlah sudah terbalas!

Akibat mitos tentang karma yang ditanamkan sedemikian rupa dari masa ke masa menyebabkan tidak banyak orang mau bercerita tentang kekerasan dan berbagai perlakuan tidak adil yang dialami ketika berhaji, takut dicap sebagai pendosa atau kurang beragama.

Ibarat pepatah, sudah jatuh ketimpa tangga pula. Para korban biasanya diminta banyak istigfar dan berdoa karena semua penderitaan ada hikmahnya. Mereka lupa bahwa semua ketidakadilan, penderitaan dan tindak kekerasan bukan datang dari Tuhan, melainkan ulah iblis berwujud manusia.

Ketidakadilan terhadap perempuan dapat diakhiri jika semua korban bersedia dan berani bersuara lantang melawan kekerasan. Jangan pernah diam atau membisu melihat kekerasan dan kezaliman. Barangsiapa diam terhadap ketidakadilan yang menimpa diri sendiri atau  orang lain, maka ketidakadilan itu kelak meluas dan boleh jadi bentuknya lebih dahsyat.

Ummu Salamah, isteri Nabi yang kritis mengingatkan sebuah hadis Nabi: “orang zalim akan disiksa karena kezaliman mereka, sementara orang saleh juga akan disiksa karena bersikap diam atau membiarkan kezaliman itu terjadi.” Wallahu a’lam bi as shawab. ***