|

Muslimah Reformis

Memupuk Kesehatan Mental, Mengikis Stigma

Memahami gangguan jiwa

World Health Organization (WHO) melaporkan, satu dari lima anak-anak dan remaja di dunia memiliki gangguan mental. Sementara pada orang dewasa lebih parah lagi, terdapat satu dari empat orang di dunia menderita gangguan mental. Sekitar setengahnya dimulai pada remaja di bawah usia 14 tahun, dan usia itu rawan munculnya gangguan mental yang kerap terjadi.

Mental illness (mental disorder) disebut juga dengan gangguan mental atau jiwa adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi di antaranya. Kondisi ini dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama (kronis). Gangguan ini bisa ringan hingga sangat parah, dan memengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-hari dalam kegiatan sosial, pekerjaan, hingga menjalani hubungan dengan keluarga.

Perlu dicatat, gangguan kesehatan mental termasuk penyakit yang dapat diobati. Bahkan, sebagian besar penderita mental disorder masih dapat menjalani kehidupan sehari-hari seperti orang normal. Namun, pada kondisi yang lebih buruk, seseorang perlu mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Sebab, dalam kondisi demikian dapat memicu hasrat penderita untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan bunuh diri.

Umumnya orang menghindari disebut menderita sakit mental (mental illness). Mengapa? Mayoritas masyarakat masih memberikan stigma buruk terhadap penderita gangguan jiwa atau penyakit mental. Mereka distigma sebagai orang yang kurang beriman, menderita karma akibat perbuatan jahatnya, bahkan tidak sedikit yang distigma sebagai orang gila atau kerasukan setan, padahal mental illness adalah kondisi yang umum dan bisa terjadi pada siapapun. Banyak juga yang menganggap orang dengan masalah kejiwaan adalah orang yang kurang pengetahuan agama dan tidak dekat dengan Tuhan. Padahal gangguan kejiwaan adalah kondisi medis di otak, tak ada hubungannya dengan kesalehan dan ketakwaan.

Faktanya, penyakit bisa memapar siapa pun, tak peduli orang baik dan jahat, orang beragama maupun tidak. Tua dan muda, kaya dan miskin, pokoknya siapa pun bisa dihinggapi penyakit.  Karena itu, penting melakukan sesuatu untuk mengakhiri semua stigma negatif terhadap penderita gangguan jiwa. Stop stigma sekarang dan mulai dari diri sendiri!

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Selain itu berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Stop stigma dan diskriminasi!

Penderita gangguan mental bukan hanya menderita akibat penyakitnya, melainkan stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap jauh lebih menyakitkan. Bukan hanya menyakitkan bagi para penderita, melainkan juga para keluarga yang mendampingi mereka.

Penting sekali mengedukasi masyarakat dan tenaga profesional lainnya agar dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa. Selain itu, penting mendorong pemerintah untuk pemenuhan hak asasi manusia kelompok penderita gangguan jiwa dengan memastikan bahwa kesehatan mental dapat lebih diprioritaskan dari sebelumnya. Pemerintah baik di pusat maupun daerah harus menjadikan program dan pelayanan kesehatan jiwa menjadi fokus perhatian, tentunya dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang memadai. Mereka harus mendapatkan pelayanan dan perhatian yang setara dengan warga negara lainnya.

Keterbatasan sarana dan prasarana

Selain masalah kultural berupa stigma dan diskriminasi, kita juga masih menghadapi problem terbatasnya sarana prasarana dan tingginya beban akibat masalah gangguan jiwa. Kurangnya sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa. Bayangkan, jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa hanya sekitar 1.053 orang. Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Tentu ini suatu beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Lebih parah lagi, sampai saat ini belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tidak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang seharusnya.

Bagaimana menjaga kesehatan mental

Saya percaya upaya pembenahan dan pembangunan kesehatan, termasuk kesehatan mental bukan semata tanggung jawab pemerintah atau negara, melainkan perlu partisipasi dari seluruh masyarakat. Karena itu, mengedukasi masyarakat dan memperkuat literasi kesehatan mereka merupakan sebuah keniscayaan.

Untuk itu, perlu ada kampanye publik secara masif mengajak masyarakat untuk sadar tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Perlu dijelaskan dengan bahasa yang sederhana dan lebih baik dengan menggunakan bahasa lokal tentang kesehatan mental dan bagaiaman meningkatkannya.

Secara umum, kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana setiap individu menyadari potensi yang dimilikinya dengan mampu menanggulangi tekanan hidup, bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi bagi lingkungan. Kesehatan mental harus dijaga sejak dini karena remaja termasuk golongan yang sangat rentan mengalami gangungan mental atau depresi. Banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, seperti faktor genetik, perubahan hormon, hingga pengalaman traumatis, percintaan, pertemanan, keluarga maupun tekanan hidup. Gejala yang timbul yaitu mudah marah, merasa putus asa, rendah diri, merasa cemas dan khawatir yang berlebihan. Kesadaran akan kesehatan mental perlu disadari setiap individu demi mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin terjadi.

Peran orang tua ataupun masyarakat, bahkan instansi kesehatan sangat diperlukan dalam mendukung serta mendampingi masyarakat yang memiliki gangguan kesehatan. Sosialisasi akan kesehatan mental perlu diterapkan baik di desa, sekolah dan tempat layanan publik. Pendampingan terhadap masyarakat yang membutuhkan harus dilakukan dengan maksimal untuk menekan angka penderita ganguan kesehatan. Dengan berbagai peran tersebut diharapkan masyarakat dewasa serta remaja dapat mengeahui pentingnya menjaga kesehatan mental.

Jika semakin banyak individu yang mengerti dengan benar apa itu kesehatan mental diharapkan ke depan upaya-upaya penanganan penderita menjadi lebih mudah. Masyarakat akan sadar bahwa gangguan jiwa atau penyakit mental dapat disembuhkan. Gangguan jiwa bisa mengenai siapa pun, penyakit ini tak mengenal orang baik dan jahat, tak mengenal orang beriman dan tak beriman, tua dan muda, laki dan perempuan semuanya bisa terkena gangguan jiwa.

Dengan pemahaman ini akan hilanglah stigma dan diskriminasi yang menyakitkan itu. Akhirnya, masyarakat akan membantu dan berkolaborasi secara aktif, melakukan semua upaya pengobatan terhadap penderita dan sekaligus melakukan upaya preventif yang diperlukan agar mereka tidak terpapar mental illness.