Androsentrisme (sebuah pemahaman yang menjadikan laki-laki sebagai pusat dan patokan) dalam sebuah penafsiran teks-teks agama (Al-Qur’an dan hadis) tidak jarang menimbulkan interpretasi dan pelanggengan budaya patriarki. Tidak jarang pula penafsiran yang dihasilkan bersifat seksis, artinya pemahaman agama memberikan keistimewaan terhadap laki-laki, mengutamakan pengalaman laki-laki, menempatkan laki-laki sebagai superior dan pada saat yang sama perempuan ditempatkan pada posisi inferior (Inayah, 2019:42).
Berbagai bentuk andosentrisme atau ketidakadilan gender dalam penafsiran teks-teks agama, dewasa ini sudah cukup banyak dibahas. Misalnya, persoalan kepemimpinan perempuan, khitan perempuan, persoalan hijab dan jilbab dan lain sebagainya. Namun ternyata tidak hanya pada ayat atau hadis ahkam, pada ayat-ayat tentang eskatologi pun tidak jarang ditemukan penafsiran-penafsiran yang seksis, contohnya dalam penafsiran bidadari surga.
Kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan pendamping di surga atau bidadari sangat beragam, di antaranya hūr’īn, qāsirātu tarf, kawāiba atrāba, khairātun hisān, lu’lu al-maknūn, abkāra, baidū maknūn, ‘uruban atrāba, dan azwājun muthaharatun. Lafad tersebut tersebar dalam beberapa surat di antaranya Q.S Shad : 52, al-Waqiah : 22, as-Shaffat : 48-49, ad-Dukhan : 54, at-Thur: 20, an-Naba : 33, al-Baqarah : 25, ali-Imran : 15, an-Nisa : 57, dan ar-Rahman : 56.
Saya mengerjakan tugas akhir perkuliahan dua kali dengan mengambil tema bidadari surga. Penelitian saya yang kedua berbicara mengenai genealogi penafsiran bidadari. Penelitian ini menuntut saya membuka kitab-kitab tafsir, dari klasik hingga modern kontemporer. Tentunya saya dapati beragam penafsiran yang berbeda sesuai metode atau pendekatan yang digunakan mufassir. Namun jika kita coba telaah lagi dengan kacamata keadilan gender, penafsiran lafad-lafad tentang bidadari banyak yang mengandung marginalisasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan.
Contohnya, bidadari surga adakalanya dihubungkan dengan fitrah perempuan sebagai pelayan laki-laki. Lafad qāṣirātu ṭarf (membatasi pandangan) dimaknai Aṭ-Ṭabari sebagai bidadari yang hanya mencintai suaminya saja dan belum tersentuh oleh siapa pun, pendapat ini didukung oleh sekitar sembilan riwayat di antaranya riwayat dari Ibnu Zaid: “Bidadari-bidadari itu tidak memandang selain kepada suami mereka, bidadari itu berkata: ‘Demi kemuliaan Tuhan ku, kebesaran serta keelokan-Nya, aku tidak melihat sesuatu di surga yang lebih indah dari padamu, maka Alhamdulillah yang telah menjadikanmu sebagai suamiku, dan menjadikanku sebagai istrimu”. (aṭ-Ṭabari, Jāmi’ al-Bayān, 41).
Ahli tafsir lain seperti Hamka menambahkan, ketika laki-laki merasakan nikmat bergaul dengan bidadari, ia tidak merasakan waswas karena takut bidadari itu berpaling. Menurutnya, bidadari disediakan Allah sebagai bentuk ganjaran atas amal saleh di dunia, dan tidak didapat apabila di dunia laki-laki terjatuh di bawah telapak kaki perempuan dunia.
Ungkapan ‘tidak pernah disentuh’ dimaknai bahwa bidadari-bidadari tersebut tidak pernah diraba, digauli sebelumnya oleh manusia mau pun jin. (aṭ-Ṭabari, Jāmi’al–Bayān Juz 24,189). Bahkan, sebagian mufassir membicarakan siapa yang lebih cantik dan lebih baik antara perempuan dunia dan bidadari surga. Hamka menyebutkan dalam tafsirnya bahwa gadis-gadis yang cantik dan baik budi pekerti (bidadari) tersebut bernyanyi: “Kami perempuan-perempuan baik-baik, kami diciptakan Tuhan untuk suami yang mulia”
Qurṭubī dalam tafsirnya menyimpulkan, para bidadari khusus diciptakan untuk kaum laki-laki karena pada kenyataannya penghuni surga dari kaum perempuan itu sedikit. Pendapatnya didasarkan pada sebuah hadis dari Muslim: “Sesungguhnya penghuni surga yang paling sedikit adalah dari kaum perempuan” (al-Qurṭubī, Jami‟ Ahkam Juz 17, 18).
Kemudian lafad muṭaharatun dalam [Q.S al-Baqarāh [2]: 25 yang kebanyakan dimaknai dengan kesucian bidadari surga dari hal-hal yang dianggap ‘ketidaksucian’ perempuan dunia seperti haid, nifas, ludah, ingus, air mani, dan segala sesuatu yang tidak disukai termasuk noda dan dosa. Bahkan sampai ada statement bahwa istri-istri di surga lebih suci dari hal-hal tersebut karena setiap istri di dunia walaupun cantik parasnya, baik budinya, pasti memiliki cacat. Sedangkan istri-istri di surga tidak ada cacatnya.
Ketika Al-Qur’an berbicara mengenai bidadari, perlu dimengerti tingkat pemikiran yang diajak bicara, yaitu masyarakat Makkah yang mementingkan harta juga perempuan. Adapun pada periode Madinah, Al-Qur’an tidak memakai lagi lafad-lafad ketika di Makkah, bahkan Al-Qur’an telah berbicara mengenai ganjaran surga yang jauh lebih penting daripada hasrat yang diimajinasikan, yaitu kedekatan dengan Allah.
Penggambaran kenikmatan surga tidak berhenti pada bidadari, akhir penjelasan surga bersifat spiritual. Penggambarkan surga yang bersifat materiil hanyalah perumpamaan, karena Al-Qur’an (saat ayat bidadari diturunkan) sedang berbicara kepada masyarakat yang belum mempunyai kesadaran spiritual yang memadai.
Dari sana kita bisa memahami bahwa interpretasi agama bisa saja melahirkan ketidakadilan gender. Namun, bukan berarti penafsiran bias gender, atau tidak menerapkan kacamata gender seperti kitab-kitab klasik harus dihilangkan atau dibenci.
Setiap penafsiran adalah anak zamannya, ia akan berkaitan dengan latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis mufassir. Selain itu, perlu dipahami bahwa pada dasarnya tafsir adalah produk, dan sekaligus juga proses yang panjang manusia dalam upaya memahami kalam Ilahi.
Sebagai produk manusia, setiap penafsiran tentu tidak mutlak kebenarannya, bisa dikritik, ditolak, dan direkonstruksi. Oleh sebab itu, penafsiran terhadap teks-teks agama akan selalu mengalami perkembangan. Karena itu, penting menafsirkan ulang ayat-ayat yang bercerita tentang bidadari surga. Wallahu’alam.
Mida Hadianti adalah alumni pelatihan Muslimah Milenial Reformis Wilayah Yogyakarta.