|

Muslimah Reformis

Flexing: Pura-Pura Kaya atau Pura-Pura Bahagia?

Beberapa waktu lalu publik dihebohkan dengan foto salah satu pejabat sedang duduk santai ditemani sebotol whisky, yang menjadi sorotan warganet adalah harga dari whisky tersebut disebut netizen bisa untuk DP Kredit Pembelian Rumah(KPR). Tidak lama berselang kehebohan lain pun di bagikan oleh anak dan menantu orang nomor satu di negara ini, Kaesang dan istrinya Erina Gudono membagikan foto roti yang dibelinya seharga Rp400ribu saat mereka berlibur ke Amerika yang juga diduga saat liburan tersebut Kaesang dan sang istri berangkat ke Amerika dengan menumpangi pesawat jet pribadi di waktu bersamaan Erina juga memamerkan pembelian stroller bayi dengan harga berkisar puluhan juta.

Sebenarnya memang tidak ada yang aneh dari postingan flexing (pamer) yang dilakukan Kaesang dan Erina namun yang disayangkan mereka melakukannya bersamaan saat masyarakat sedang melakukan aksi demonstrasi peringatan darurat dalam rangka mengkritisi pelanggaran aturan Pilkada Jakarta.

Flexing dan Kesadaran Untuk Berempati

Maraknya anak-istri para pejabat maupun pejabat itu sendiri, tokoh dan public figure, hingga kalangan pengusaha yang memamerkan hartanya yang berlimpah di media sosial membuka mata bahwa flexing menjadi budaya di negeri ini. Mereka pamer baju-baju, tas branded, makanan mahal, kendaraan mewah, perjalanan mahal ke luar negeri, hingga rumahnya yang bergelimangan harta.

Ironisnya, ini terjadi di tengah masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi yang makin menyengsarakan akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis, badai PHK dan jumlah pengangguran yang masih tinggi, bahkan masih banyak angka batita dan balita yang mengalami stunting di negeri ini. Faktor penyebab fenomena flexing adalah karena masyarakat saat ini cenderung serba materialistis (mengukur segala sesuatu dengan uang/barang mewah/harta) dan individualis (yang ditunjukan dengan mementingkan diri sendiri berakibat pada kurangnya rasa empati pada orang lain).

Flexing dalam Pandangan Islam

Flexing dalam konteks media sosial, adalah perilaku menunjukkan prestasi, kebahagiaan, dan gaya hidup mewah secara berlebihan tanpa rasa empati pada sekitarnya. Ini bisa berupa memamerkan pencapaian, harta kekayaan, atau aspek-aspek lain yang mencerminkan keberhasilan seseorang. Flexing bukan hanya sekadar berbagi momen, tetapi lebih menonjolkan pencapaian dengan tujuan mendapatkan perhatian, pengakuan dan mencari bahagia yang sifatnya semu pada diri sendiri jika yang dipamerkan dilihat orang lain, terlebih ini dilakukan oleh pejabat atau tokoh yang sejatinya bisa menjadi teladan masyarakat.

Jika Flexing adalah sumber bahagia bagi yang melakukannya, maka itu bukan kebahagiaan sejati melainkan kebahagiaan fana.  Agama hanya mendatangkan bahagia bagi pemeluknya manakala nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan, kesetaraan dan solidaritas mendominasi relasi sosial diantara pemeluknya. Sebaliknya jika yang dikembangkan adalah nilai-nilai intoleransi, kekerasan, pemaksaan, ketimpangan yang menimbulkan kecemburuan sosial (flexing atau pamer termasuk didalamnya), pemaksaan, dogma, konflik dan teror maka dapat dipastikan warganya tidak bahagia.

Lebih jauh lagi bukan hanya pemeluk agama itu tidak bahagia melainkan juga mengidap penyakit kejiwaan yang parah untuk waktu yang lama. Dalam buku Ensiklopedia Reformis disebutkan bahwa berbagai perilaku yang dapat membuat seseorang bahagia diantaranya selalu berbuat baik, banyak bersyukur, bersedekah, mudah memaafkan, ringan tangan memberi pertolongan dan tidak dendam. Perilaku flexing adalah bagian dari gaya hidup berfoya-foya dan merupakan bentuk kesombongan. Islam pun memerintahkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan karena ini bagian dari adab seorang muslim.

Belajar dari Kesederhanaan Paus Frasiskus

Beberapa hari yang lalu Paus Fransiskus hadir di Jakarta untuk kunjungan Apostolik, kehadirannya yang sederhana menuai decak kagum banyak orang. Seorang Paus Fransiskus yang merupakan pemimpin tertinggi Agama Katolik dan Pemimpin Negara, dapat berperilaku sedemikian sederhananya menggunakan jam tangan yang tidak mahal, selama di Jakarta memilih untuk tidak menginap di Hotel mewah melainkan di Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, saat berkeliling di Jakarta menemui jemaatnya dengan menggunakan mobil biasa Innova Zenix putih (bukan termasuk mobil mewah) seperti yang biasa tokoh, pejabat gunakan untuk menunjukkan identitas kekuasaannya dan masih banyak lagi hal-hal sederhana yang ditunjukkan Paus Fransiskus. Nilai-nilai Kesederhanaan dan kerendahan hati Paus Fransiskus yang ditunjukkan menularkan rasa bahagia bagi masyarakat melihatnya, bahagia tanpa harus menunjukkan diri dengan harta benda, kemewahan dan kekuasaan yang dimilikinya.

Perilaku sederhana dan rendah hati Paus Fransiskus bisa diteladani oleh siapa pun termasuk menjadi teladan bagi tokoh, pejabat, masyarakat umum dan generasi muda untuk mengurangi perilaku flexing atau pamer yang kini seakan menjadi sebuah keharusan. Bukankah menjadi teladan adalah salah satu ciri-ciri pemimpin yang baik, yang saat ini sulit ditemui negeri ini

Menghindari Flexing

  1. Meningkatkan Rasa Percaya Diri

Meningkatkan rasa percaya diri. Fokus pada kekuatan dan pencapaian pribadi tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain. Mengakui nilai-nilai dan kelebihan yang dimiliki

  1. Berlatih Bersyukur (berpikir lagi sebelum melakukan flexing)

Memahami dan mensyukuri setiap pencapaian dan kebahagiaan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan emosional dan mengurangi keinginan untuk mencari validasi melalui flexing.

  1. Fokus pada Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Alihkan perhatian dari kehidupan orang lain dan fokus pada pengembangan diri sendiri. Setiap individu memiliki perjalanan unik, dan tidak perlu terlibat dalam perbandingan yang tidak sehat. Fokus pada tujuan pribadi dan pertumbuhan diri.

  1. Berhenti Mencari Pengakuan Orang Lain

Hentikan kebutuhan akan terus mencari pengakuan dari orang lain. Kenyamanan dan kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari persetujuan orang lain.

Penting untuk diingat bahwa menghindari flexing bukan hanya untuk kebahagiaan pribadi, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan media sosial yang lebih positif dan mendukung. Dengan mengubah pola pikir dan perilaku terkait flexing, individu dapat mencapai pertumbuhan pribadi yang lebih baik dan membangun hubungan yang sehat dengan lingkungan sosial.