Ucapan paling populer terdengar saat `Idul Fitri dan hari-hari berikutnya adalah minal `aidin wa al-faizin kemudian disambung dengan ucapan mohon maaf lahir batin. Banyak yang mengira itu arti dari kalimat minal `aidin wa al-faizin, padahal bukan. Ungkapan itu sesungguhnya penggalan dari sebuah do`a yang selengkapnya berbunyi: ja`alanallahu wa iyyakum minal `aidin wa al-faizin artinya: semoga Allah menjadikan kita semua tergolong orang-orang yang kembali (ke fitrah manusia yang suci) dan memperoleh kemenangan. Do`a tersebut mengandung dua konsep yang perlu dijelaskan, yakni konsep al-`aidin (orang-orang yang kembali kepada fitrah) dan konsep al-faizin (orang-orang yang memperoleh kemenangan).
Pertama, konsep al-`aidin. Puasa Ramadhan diakhiri dengan `Idul Fitri. Kata `id terambil dari akar kata yang bermakna “kembali” sedangkan fithr dapat berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian. Dengan demikian, `Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah. Al-`aidin artinya orang-orang yang kembali ke fitrah. Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrahnya atau selalu diingatkan pada asal kejadiannya yang suci itu? Islam mengajarkan bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam hati tiap manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran dan kebaikan sehingga manusia disebut makhluk hanif (lurus). Kesucian asal itu bersemayam dalam nurani yang merupakan pusat kedirian manusia. Karena pertimbangan fitrah kehanifan dan nuraninya itulah manusia dianggap paling pantas menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Sejak awal, manusia memiliki komitmen mengakui keesaan Tuhan melalui suatu perjanjian primordial sebagaimana dipaparkan dalam Al-Qur`an:‘Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan (untuk membela diri): “Kami tidak mengetahui hal itu”, atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedang kami hanya mengikuti perbuatan mereka”. Apakah Engkau akau menyiksa kami lantaran perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (al-A`raf, 7:172-173).
Ditemukan cukup banyak ayat menegaskan bahwa dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen suci tersebut. Tugas para Nabi dan Rasul sesungguhnya adalah mengingatkan kembali akan komitmen suci tadi. Oleh karena itu, agar selamat dan tidak melenceng dari komitmen tersebut, seharusnya setiap individu selalu mendengarkan hati nurani masing-masing. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen ini adala dosa. Untuk itulah manusia perlu bertobat. Bertobat artinya kembali, yakni kembali kepada asal kesucian. Manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah menyimpang dari komitmen sucinya dengan Tuhan. Sebab, ini mustahil. Tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat dosa. Akan tetapi, Manusia yang baik adalah manusia yang setiap kali menyimpang, dia lalu sadar dan segera bertobat sambil bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut (QS. Ali Imran, 3:135).
Kedua, konsep al-fa`izin. Kata ini merupakan bentuk plural dari al-faiz, artinya: orang-orang yang memperoleh kemenangan. Kata ini dalam Al-Qur`an terulang sebanyak 29 kali dan pada umumnya menunjuk kepada pengertian pengampunan ilahi dan kenikmatan surgawi (QS. al-Hasyr, 59:20, dan Ali-Imran, 3:185). Jadi, orang-orang yang mwmperoleh keberuntungan dan kemenangan adalah mereka yang memperoleh pengampunan ilahi dan kenikmatan surgawi.
Boleh jadi, figur manusia yang pantas disebut al-`aidin wa al-faizin itu seperti dilukiskan Ibnu Sina, filosof Islam terkemuka (w. 1037 di Iran) dalam bukunya Al-Isyarat wa al-Tanbihat sebagai berikut. “Orang yang sangat arif, bebas dari semua ikatan raganya. Dalam dirinya tersimpan sesuatu yang tersembunyi dan hanya dia yang tahu. Dia selalu gembira dan penuh senyum karena hatinya penuh diliputi cinta kepada Alah. Semua makhluk dilihatnya sama karena yakin hanya Allah yang Mahasuci. Semua makhluk, baik taat maupun bergelimang dosa tetap pantas mendapatkan rahmat-Nya. Dia tidak akan pernah mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain. Dia tidak pernah marah atau tersinggung,meskipun menghadapi kemungkaran karena jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang. Dia melihat rahasia Allah terbentang di dalam qudrat-Nya. Jika mengajak kepada kebaikan, ia melakukannya dengan penuh kelembutan, jauh dari kekerasan. Dia sangat dermawan karena hatinya tidak terpaut lagi pada materi dan kebendaan. Dia sangat pemaaf karena hatinya penuh diliputi cinta sehingga tiada tersisa ruang untuk menaruh kebencian. Dia pun tidak pendendam karena seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci dan Maha Agung”.
Menyongsong 1 Syawal 1442 H besok, mari saling memaafkan, minal `aidin wa al-faizin.
Musdah Mulia