,

|

Muslimah Reformis

Lajang? It’s Oke No Problem

 

Seperti biasa, di bulan-bulan yang mendekati akhir tahun saya selalu kebanjiran surat undangan pernikahan dari mulai kerabat hingga kawan terdekat. Bahkan tidak sedikit undangan dari adik kelas yang usianya terlampau jauh dengan saya. Dan ini membuat saya sadar, ternyata usia saya tak lagi muda dan status saya belum berubah. Masih betah sendiri dan itu gak masalah kok !

Pertanyaan yang bertubi-tubi dari orang terdekat sampai orang terjauh selalu datang menghampiri. “Kamu kapan nikah ? Mau sampai kapan sendiri ?” Umurmu sudah kepala dua loh bahkan hampir kepala tiga.” Orang lain mudah saja melemparkan pertanyaan tanpa mau mengerti perasaan orang yang ditanyainya. Padahal menikah itu tidak semudah membalikan telapak tangan, banyak hal yang harus dipersiapkan. Sebagai anak yang terlahir di desa saya merasa tersudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Pernah seorang kerabat dekat nyeletuk bilang begini “Kamu tuh harus segera menikah, perempuan kalo terlalu tua nanti keburu kadaluarsa.” Ingin sekali saya jawab, emang sampean mau nyumbang apa kalau saya menikah ? geram rasanya, tapi saya harus tetap cool menghadapi manusia-manusia demikian. Tentu saja pertanyaan tersebut tidak sekedar pertanyaan biasa, tetapi ada makna tersirat. Yaitu stigma negatif yang melekat pada perempuan yang sudah berusia tetapi belum menikah. Yang sering  dilabeli perawan tua.

Stigma negatif tersebut sangat kuat di masyarakat pedesaan, karna budaya, kultur yang sudah melekat, serta dilegitimasi oleh tafsir agama yang tidak pas membuat stigma itu susah hilang. Kasus-kasus perkawinan anak masih sering terjadi khususnya di pedesaan yang jauh dari peradaban dengan cara berpikir yang masih kolot. Sebetulnya ada beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya kawin anak. Diantaranya karna kemiskinan, putus sekolah karna tidak adanya biaya, pergaulan bebas sehingga orang tua hawatir anaknya hamil di luar nikah, serta pemahaman agama yang konservatif.

Padahal dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) disebutkan “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.” Walaupun demikian, saat ini dipahami bahwa, usia ideal nikah adalah umur 21 bagi perempuan dan umur 25 bagi laki-laki. Sebagaimana dikatakan kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bengkulu Hilaludin Nasir Nasir bahwa “Usia nikah pertama bagi remaja putri 21 dan pria 25 tahun, usia dibawah itu belum matang bagi remaja dalam pengelolaan kesehatan reproduksi,” kondisi kesehatan reproduksi anak yang menikah di bawah umur sangat rentan, karena mereka akan mengalami kehamilan, kemudian melahirkan dan menyusui. Banyak hal yang harus dipersiapkan ketika akan melaksanakan suatu pernikahan. Kesiapan mental, fisik, biologis, kesehatan reproduksi, finansial dan lain sebagainya.

Di kampung memang tinggal saya sendiri yang belum menikah. Maka tidak heran jika pertanyaan kapan nikah terus-terusan ditujukan kepada saya. Padahalkan menikah bukan soal umur. Iya gak sih ? Saya teringat pesan yang disampaikan oleh Ning Imaz saat diwawancara di acara Sahur Bareng pada Bulan Ramadhan lalu. “Justru, perempuan itu jangan desperate (putus asa) orientasi hidupnya itu jangan menikah, karna menikah itu bagian dari kehidupan bukan tujuan kehidupan. Jadi, perbanyaklah investasi ke dalam diri sendiri dengan ilmu, perilaku yang baik dan menyibukan diri dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat nanti jodoh akan datang sendiri kok!

Menemukan pasangan yang satu frekuensi tentu saja tidak mudah, karna untuk membangun rumah tangga butuh kecocokan antar dua pasangan, tidak serta merta asal menemukan seseorang yang mau di ajak menikah tanpa adanya pendekatan untuk mengenali karakter, kepribadian serta latar belakang keluarga yang juga tak kalah penting untuk kita ketahui. Kalau kata Najwa Shihab yang biasa kita sapa Mbak Nana “Milih scine care aja kita pilih-pilih mana yang cocok dengan kulit kita, masa pilih pasangan hidup asal-asalan.”

Dan yang selalu saya yakini sampai hari ini adalah, selama kita tidak merugikan orang lain kemudian mengisi waktu luang dengan banyak menuntun ilmu pengetahuan dan bisa melakukan banyak hal bermanfaat untuk orang banyak, belum menikah ya it’s oke no problem, karna hidup ini hanya sekali, maka kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk melakukan kebaikan yang kita bisa sebanyak-banyaknya.

 

editor: wiwit musaadah