|

Muslimah Reformis

Manusia sebagai Khalifah fil Ardh

Di dalam Alquran menjelaskan visi penciptaan manusia sebagai khalifah fil ardh.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

 Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai khalifah di bumi.”  Malaikat berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal mereka nantinya hanya akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih, memuji dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 30).

Ayat tersebut menjelaskan, tujuan utama penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) adalah menjadi khalifah (pemimpin, pengelola, menejer) di bumi. Dalam tata bahasa Arab, kata khalîfah tidak merujuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Dengan demikian, semua manusia, apa pun jenis kelamin biologis maupun gendernya mempunyai fungsi sebagai khalifah dan akan mempertanggung-jawabkan tugas kekhalifahan itu kelak di hadapan Allah swt.

Islam memandang manusia sebagai makhluk terhormat dan bermartabat. Manusia adalah makhluk Tuhan yang  diberi tanggung-jawab untuk mengelola kehidupan di muka bumi atau dalam istilah Al-Qur’an disebut khalifah fil ardh. Sebagai khalîfah, tugas utama manusia adalah mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk di alam semesta (rahmatan lil‘âlamîn).

Makna khalifah fil ardh adalah menjadi agen perbaikan moral. Bukankah, kehadiran para Rasul di dunia ini semata-mata untuk melakukan perbaikan moral? Rasulullah Muhammad saw bersabda: inni buistu liutammima makarimal akhlaq (sesungguhnya kedatanganku semata-mata untuk memperbaiki moral manusia). Dalam upaya perbaikan moral manusia, Islam sangat vokal menekankan pentingnya penghormatan kepada manusia dan kemanusiaan, dan itu terlihat dari ajarannya yang sangat akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

Tugas suci untuk perbaikan moral hendaknya dimulai dari diri sendiri, yaitu dengan menata pikiran, hati dan seksualitas (syahwat) sehingga semua terkontrol dengan baik. Tujuannya, menjadi manusia yang berguna, bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi keluarga dan masyarakat luas. Kemudian, menata kehidupan keluarga, dan selanjutnya menata kehidupan masyarakat dan bangsa sehingga pada gilirannya tercipta masyarakat yang adil, makmur dan berkeadaban yang dalam Al-Qur’an disebut بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ   (Q.S. Saba’,  34:15).

Dalam konteks individual, tugas khalifah, antara lain mampu mengelola pikiran agar selalu berfikir positif, tidak berfikir negatif dan terjauhkan dari semua perbuatan zalim yang mencederai sesama. Mengelola hati atau qalbu agar selalu berprasangka baik kepada sesama manusia, selalu peduli dan punya rasa empati kemanusiaan sehingga ringan tangan menolong, terutama terhadap kelompok yang teraniaya, tertindas dan marjinal. Mengelola syahwat dan organ-organ seksual agar mampu menghindarkan diri dari perbuatan keji dan tercela, seperti zina, perkosaan, pelacuran, incest, pedofili, pelecehan seksual, serta semua bentuk hubungan seksual yang tidak terpuji. Bahkan, demi menjaga kesehatan reproduksi, remaja perempuan harus dilindungi dari perkawinan anak, praktek sunat dan kehamilan yang tak diinginkan.

Dalam konteks sosial, tugas khalifah adalah amar ma’ruf nahi munkar (melakukan perbaikan moral masyarakat dengan upaya-upaya transformasi dan humanisasi). Upaya transformasi maksudnya adalah upaya-upaya perbaikan dan peningkatan kualitas diri manusia ke arah yang lebih baik, lebih positif dan konstruktif. Sementara upaya humanisasi mencakup semua upaya untuk memanusiakan manusia, misalnya kegiatan-kegiatan edukasi (pendidikan dan pelatihan) dan memberikan layanan informasi yang memadai. Selain itu, penting juga publikasi dalam bentuk mencetak buku-buku, brosur dan kartu petunjuk.

Demikian juga perlu memberikan advokasi dalam bentuk upaya pembelaan dan pemihakan terhadap kelompok-kelompok yang mengalami penindasan dan perlakukan tidak adil, seperti kelompok miskin, minoritas tertindas, perempuan dan anak, disabilitas (kelompok cacat) dan Odha (penderita HIV/Aids) dan sebagainya.

 

Musdah Mulia