|

Muslimah Reformis

Musdah Mulia: Menyentuh Rahim Perempuan Menjadikan Perempuan Aktor Perdamaian

Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) saat memaparkan materi tentang peran perempuan dan lembaga pendidikan dalam menghalau radikalisme dan terorisme serta penguatan moderasi beragama, dalam HUT 21 Tahun ICRP via zoom meeting, Rabu (21/07/2021) - Ai Siti Rahayu

Jakarta I kabardamai.id I Dalam semua ajaran agama, termasuk  kepercayaan lokal, peran perempuan seringkali dikesampingkan. Agama dianggap milik para lelaki dan bukan milik  perempuan, perempuan hanya dijadikan pekerja yang posisinya sebagi objek bukan subjek. Objek yang selalu diatur dalam agama. Agama manapun dan dalam kitab suci manapun, mengatur perempuan dengan cara yang rumit dan sangat terperinci. Bahkan kita tahu,  perihal tubuhpun, perempuan diatur sedemikian rupa.

Padahal apa yang bermasalah dengan tubuh perempuan? Mengapa tubuh laki-laki tidak pernah dipermasalahkan? Dalam agama, permasalahan perempuan adalah bagaimana, perempuan yang dianggap tidak memiliki kemerdekaan hakiki, perempuan yang bahkan dianggap bukan manusia dan perempuan subordinat.

Padahal pada intinya agama mengajarkan kesetaraan, lelaki dan perempuan yang setara. Tetapi pada kenyatannyan dalam interpretasi keagamaan  yang menyebar di seluruh dunia, bahkan merupakan interpretasi yang maenstrem dalam ajaran agama manapun, seperti itulah adanya ketidaksetaraan. Ini merupakan tantangan, yang tidak mudah bagi tokoh agama untuk menawarkan atau memberikan interpretasi baru  yang mengedepankan kesetaraan.

Menurut Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), yang tidak menyetujui interpretasi kesetaraan bukan hanya dari pihak laki-laki, tetapi bahkan perempuan juga tidak setuju, karena banyak diantara perempuan yang sudah merasa nyaman dengan kondisi subordinat tersebut.

“Tetapi, kita harus melakukan sesuatu, karena di Indonesia saja setengahnya adalah perempuan. Maka jika kita memiliki penduduk sebanyak 270 juta jiwa maka setengahnya yaitu 135 juta jiwa adalah perempuan. 135 juta jiwa itu sama dengan jumlah penduduk dari lima negara di ASEAN,” papar Musdah, saat mengisi acara dalam HUT 21 Tahun ICRP yang diselenggarkan via zoom, Rabu (21/07/2021).

Memberdayakan perempuan Indonesia

Jumlah perempuan di Indonesia sangat banyak, tetapi jika mereka tidak berdaya dan tidak diberdayakan, tidak dibukakan akses terhadap hak yang hakiki maka tak akan menjadi sumber daya yang unggul. Namun hanya akan menjadi beban bagi negara dalam pembangunan,

“Saya mengatakan kepada lelaki, Jika perempuan tidak berdaya maka yang akan memikul beban adalah lelaki. Jika perempuan menjadi subjek yang berdaya, beban laki-laki akan ringan. Karena perempuan bisa turut serta dalam mengelola bangsa dan menjadi subjek untuk pembangunan,” lanjut Musdah.

Karena itu, ini bukan perihal laki-laki dan perempuan, ini soal kemanusiaan. Karena itu siapapun yang memilki kesadaran tentang pentingnya membangun keseteraan dan keadilan, termasuk di dalamnya adalah kesetaraan dan keadilan gender maka itu merupakan bentuk kesadaran akan kemanusiaan yang paling hakiki.

Baca Juga: 21 Bait untuk ICRP

Dan itulah yang diajarkan oleh semua agama, hanya saja ajaran yang inti ini tidak muncul ke permukaan dan tertutupi oleh interpretasi-interpretasi yang tidak setara. Karena itu kita seharusnya  mulai menawarkan pandangan keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal menjadi hal yang penting.

Lebih lanjut Musdah memberikan masukan bahwa di ICRP, Women of Face harus dikembangkan, karena merupakan potensi yang besar. Di awal berdirinya ICRP, kami memiliki tokoh perempuan pemuka agama yang akan melakukan branding terhadap isu-isu seperti kekerasan, diskriminasi, eksploitasi dan lain sebagainya. Karena itu di ICRP dulu memiliki  jaringan perempuan pemuka agama yang melakukan kerja-kerja kesetaraan gender.

“Namun jaringan itu sekarang tidak lagi hidup, dan diperlukan sinergitas anak muda untuk menghidupkan kembali jaringan ini. Sehingga upaya kedepan dalam mewujudkan kesetaraan menjadi lebih konkret lagi,” tegasnya.

Membicarakan tentang radikalisme, bagi Musdah, radikalisme bukan hanya persoalan islam, tetapi persoalan semua agama. Karena pemicunya bukan hanya tentang agama, tetapi juga persoalan ketimpangan sosial ekonomi. Karena itu manusia tidak bisa menyelesaikan persoalan hanya dengan agama saja.

“Korupsi tidak bisa hanya diselesaikan dengan agama, tetapi dengan manajemen modern maka persoalan korupsi bisa diselesaikan. Kita bisa melihat contoh dari negara yang menerapakan manajemen modern itu tidak ada korupsi. Apakah mereka orang beragama? Jawabannya tidak.”

Maka dari itu perlu melakukan pendekatan lain, untuk membangun masyarakat yang damai Ketika membicarakan perdamaian.

Lebh lanjut  Musdah juga membicarakan tentang perempuan dan radikalisme, terkait dengan radikalisme ada empat hal yang perlu digaris bawahi:

Persoalan intoleransi

Intoleransi bukan hanya datang dari agama, namun juga dari sikap budaya, sikap yang dikembangkan dari Pendidikan. Pendidikan kita juga melahirkan pemikiran yang rasis bahkan xenophobia. Karena itu para guru dari tingkat PAUD itu harus dibenahi dalam system mengajar. Seharusnya Pendidikan tingkat PAUD mengajarkan nilai-nilai mencintai perbedaan.

Virus intoleransi hanya bisa disembuhkan dengan vaksin pembaruan, dan inilah yang dilakukan oleh ICRP, membaurkan banyak orang dari berbagai agama, dari berbagai budaya dan latar belakang.

Musdah juga membagikan pengalamannya tentang bagaimana sikap orang lain menanggapi keputusannya untuk bergabung dengan ICRP. Banyak pihak yang menyayangkan dan khawatir dirinya akan tepengaruh dengan kepercayaan agama lain.

“Setelah 35 tahun saya di ICRP, saya tidak pernah terpikir untuk pindah agama. Karena agama itu hanya jalan, siapa diantara kita yang terbaik hanya Allah yang menilai. Maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan biar Allah yang menilai siapa yang terbaik, dan jangan menghakimi sesama.”

Namun, dengan bergabung bersama ICRP, dirinya semakin lebih yakin dengan agamanya. Karen ICRP membuatnya mampu menginterpretasikan dan merefleksikan keyakinan dalam kehidupan nyata dan perilaku nyata. Menurutnya, Agama ada dalam perilaku bukan hanya sekedar berkeyakinan.

Ketimpangan sosial dan ekonomi

Narasi dimana umat muslim dianggap tertindas an tidak memiliki kemampuan ekonomi begitu menghipnotis. Terutama terhadap anak muda, yang menyerukan untuk mengubah ideologi negara demi menyelesaikan persoalan kebangsaan. Semua persoalan negara selalu berusaha  dijawab dengan jawaban negara islam atau  khilafah.

Berdasarkan pengamatan Musdah, permasalahan ini berakar dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada. Menciptakan narasi yang menyalahkan Pancasila dan ideologi negara.

 

Sistem politik yang tidak sepenuhnya demokratis

Selanjutnya Musdah juga membahas pentingnya membenahi bagaimana  sistem politik negara kedepan, itu mengacu pada nilai-nilai demokratis yang dikembangkan oleh the founding father and the founding mothers. Janagn dibiarkan seperti sekarang, dimana politik kita dicemari oleh kepentingan -kepentingan oligarki, kepentingan-kepentingan dinasti,

Yang masuk kedalam politik adalah elite yang memiliki uang tetapi tidak memiliki hati. Jadi negara kita digadaikan untuk kepentingan pribadi, sehingga akhirnya munculah politik identitas, dan politisasi agama. Menjadikan agama sebagai sesuatu yang paling mudah dijual. Dan jika sudah berbicara agama semua menjadi diam.

Literasi Agama yang rendah

Selanjutnya permasalahan radikalisme berakar dari tingkat pendidikan yang tidak setara dengan tingkat literasi, “Karena jika berbicara mengenai kemampuan literasi maka hal utamanya adalah kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir rasional. Karenanya anak muda saat mengimplementasikan ajaran agama, pastikan nalar sehat berjalan dengan baik. Agama itu sejalan dengan pikiran rasional, karena pemikiran nalar kritis datang dari tuhan.”

Ratusan ayat dalam al-qur’an yang selalu mempertanyakan kemampuan akal. Tentang tabayyun, penelitian mendalam dan kerja kerja akal sangat di apresiasi. Namun dalam Pendidikan agama nilai-nilai literasi ini tidak muncul.

Kebijakan ISIS dan pemberdayaan perempuan

“Perempuan dan  radikalisme menjadi signifikan, karena tahun 2015 kebijakan ISIS, secara global menguah approach merek abahwa akor-aktor radikal itu lebih diutamakan perempuan. Karena apa? Perempuan itu tidak perlu dibayar, cukup dikawini saja,” terang Musdah.

Karena dalam kelompok radikal yang dikembangkan adalah prinsip samina wa a’tona yang artinya ketaatan yang mutlak. Padahal prinsip  samina wa a’tona hanya digunakan untuk manusia dan sang pencipta bukan untuk sesama manusia. Tetapi ini yang dibangun, sehingga Ketika perempuan dikawini maka mereka akan lebih taat.

Perempuan juga memiliki loyalitas jauh lebih kuat, karena itu kebijakan ISIS menargetkan perempuan menjadi actor terorisme, dan ini menjadi hal yang harus diwaspadai.

“Perkawinan anak, poligami dan tigginya angak kelahiran itu merusak program kependudukan  dan jika kita biarkan ini terjadi maka semua upaya membangun sdm ke depan itu hancur. Seharusnya pemerintah membicararkan menganai kekerasan seksual, perlindungan terhadap pekerja perempuan dalam rangka mencegah terorisme,” lanjut Musdah.

Karenanya milenial perlu mengoptimalkan usaha untu menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian. Bagaiamana, melahirkan program perempuan sebagi influencer, dan menjadi pengaruh. Jika perempuan bisa menjadi aktor terorisme, maka bisa juga menjadi actor untuk gerakan perdamaian.

“Karena dalam diri perempuan ada intuisi yang membuat dirinya lebih Rahim, dan lebih rahmah. Karena perempuan sendiri memiliki Rahim dalam tubuhnya. Rahim dalam islam adalah cinta kasih yang sangat dalam. Maka kita sentuh rahimnya supaya dia menjadi aktor perdamaian bukan aktor radikalisme,” pungkas Musdah, mengakhiri pemaparannya.

 

Penulis: Ai Siti Rahayu